Oleh: Rizal Tanjung
Tulisan Jacob Ereste berusaha menekankan bahwa budaya dan agama tidak bisa dipisahkan karena budaya memiliki pengaruh dalam ekspresi keagamaan manusia. Namun, terdapat beberapa kekeliruan dalam logika dan argumentasi yang perlu dikritisi:
“Yang sudah lurus tidak perlu diluruskan”
Jacob Ereste menyatakan bahwa “yang sudah lurus tidak perlu diluruskan,” seolah-olah kebenaran adalah sesuatu yang mutlak dan tidak dapat disalahpahami. Namun, sejarah menunjukkan bahwa pemahaman manusia terhadap kebenaran sering kali mengalami distorsi, baik karena pengaruh budaya, kepentingan politik, maupun perubahan zaman. Jika tidak ada upaya meluruskan kesalahpahaman, maka kebenaran dapat tergeser atau ditutupi oleh tafsir yang keliru. Oleh karena itu, kritik terhadap pemahaman budaya dalam agama justru diperlukan agar tidak terjadi penyimpangan dari ajaran agama yang asli.
“Agama tidak membutuhkan budaya, tapi pengaruh budaya dalam agama tidak terhindarkan”
Pernyataan ini ambigu dan mengandung kontradiksi. Jika agama tidak membutuhkan budaya, lalu mengapa pengaruh budaya dalam agama dianggap sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari? Agama diturunkan oleh Tuhan dengan aturan yang sudah sempurna, sedangkan budaya adalah hasil kreasi manusia yang terus berkembang. Memang benar bahwa ekspresi keagamaan dapat terpengaruh oleh budaya, seperti perbedaan nada azan atau pakaian Muslim di berbagai negara. Namun, hal ini tidak berarti bahwa budaya adalah bagian dari agama.
Dalam Islam, ada batasan yang jelas antara budaya dan ajaran agama. Budaya boleh ada selama tidak bertentangan dengan syariat. Namun, jika budaya bertentangan dengan prinsip Islam, maka budaya tersebut harus ditinggalkan. Oleh karena itu, bukan budaya yang membentuk agama, melainkan agama yang menjadi standar untuk menilai apakah suatu budaya dapat diterima atau tidak.
“Peran budaya dalam agama dan agama dalam budaya tidak lagi perlu diluruskan”
Pernyataan ini mengabaikan realitas bahwa banyak praktik budaya yang bertentangan dengan ajaran Islam masih bercampur dalam kehidupan masyarakat. Contohnya, praktik-praktik adat yang bertentangan dengan syariat, seperti sesajen, ritual mistik, atau kepercayaan pada benda keramat. Jika agama dan budaya dianggap selalu berkelindan tanpa perlu diluruskan, maka praktik-praktik yang bertentangan dengan Islam bisa terus dilestarikan tanpa kritik.
“Islam memang sempurna, tapi sejarah menunjukkan adanya penyesuaian budaya dalam ekspresi keagamaan”
Memang benar bahwa Islam adalah agama yang sempurna dan tidak membutuhkan tambahan dari budaya. Namun, menyesuaikan cara penyampaian ajaran Islam dengan budaya setempat bukan berarti budaya menjadi bagian dari agama. Dalam dakwah Islam, metode penyampaian bisa beradaptasi dengan budaya, tetapi substansi ajarannya tidak boleh berubah.
Misalnya, dalam berpakaian, seorang Muslim di Indonesia mungkin memakai baju koko dan sarung, sedangkan di Arab mengenakan jubah. Perbedaannya hanya dalam bentuk pakaian, tetapi standar syariatnya tetap sama: menutup aurat dan berpakaian sopan. Ini menunjukkan bahwa budaya bisa digunakan sebagai sarana dalam beragama, tetapi bukan bagian dari agama itu sendiri.
‘Kekeliruan memahami bahwa Islam itu sempurna terjadi ketika ada yang tidak mengakui agama Samawi lain”
Pernyataan ini tidak relevan dengan inti pembahasan. Islam memang agama yang sempurna, tetapi hal itu tidak berarti menafikan keberadaan agama lain. Justru Islam mengakui adanya agama Samawi sebelumnya seperti Yahudi dan Nasrani, tetapi dengan keyakinan bahwa syariat Islam adalah penyempurna dari ajaran sebelumnya. Maka, membahas pengakuan terhadap agama Samawi dalam konteks hubungan agama dan budaya tidak relevan dan terkesan mengalihkan fokus.
6 “Identitas Muslim bukan sekadar budaya, tetapi juga amal dan perbuatan.”
Pernyataan ini benar, tetapi tidak cukup untuk mendukung argumen Jacob Ereste. Justru karena identitas Muslim tidak sekadar budaya, maka agama tidak boleh dicampuradukkan dengan budaya yang bertentangan dengan syariat. Islam tidak melarang budaya, tetapi Islam juga tidak bergantung pada budaya dalam menjalankan ajarannya.
Jacob Ereste cenderung mencampuradukkan antara budaya sebagai ekspresi keagamaan dengan budaya sebagai bagian dari agama. Islam sebagai agama yang sempurna tidak membutuhkan budaya, meskipun dalam penyebarannya dapat menyesuaikan dengan budaya setempat. Namun, bukan berarti budaya menjadi bagian dari ajaran Islam.
Pernyataan bahwa agama dan budaya tidak perlu diluruskan adalah keliru karena dalam realitasnya masih banyak praktik budaya yang bertentangan dengan Islam. Oleh karena itu, kritik terhadap pemahaman ini bukanlah upaya membengkokkan sesuatu yang sudah lurus, tetapi justru untuk memastikan bahwa budaya tidak mengaburkan ajaran Islam yang murni.(*)
Posting Komentar