Cinta dan Benci Sekedarnya Saja


Elza Peldi Taher

Di panggung kehidupan dunia, apakah itu politik, olahraga ataupun perkawanan , tidak ada kawan atau lawan abadi. Semua bergerak seperti ombak di laut: pasang surut, datang dan pergi. Hari ini berseteru, besok bersanding. Hari ini mengecam, besok merangkul. 

Ada pepatah kuno, konon dari Ali bin Abi Thalib berbunyi, "Cintailah orang yang kau cintai sekedarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan berbalik menjadi orang yang kau benci. Dan bencilah orang yang kau benci sekadarnya saja; siapa tahu – pada suatu hari kelak – ia akan menjadi orang yang kau cintai." Sebuah nasihat sederhana, tapi terbukti berkali-kali dalam kehidupan.

Lihatlah Prabowo Subianto. Beberapa tahun lalu, ia adalah simbol oposisi yang digempur habis-habisan oleh para pendukung Jokowi. Prabowo dicap sebagai "raja hoaks" oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI). Partai anak muda itu memberikan award kebohongan pada Prabowo. Setiap langkahnya dikritisi, setiap pernyataannya dipersoalkan. 

Namun, waktu bergulir, keadaan berubah. Kini, orang-orang yang dulu menghunus pedang ke arahnya justru menjadi pelindung setianya. PSI yang dulu garang mengkritik, kini menjelma jadi pembela Prabowo. 

Orang yang dulu rajin memimpin kritik, kini ada yang diangkat jadi menteri atau wakil menteri. Beberapa nama yang kini melingkari Prabowo seperti Fahri Hamzah,  Budiman Sudjatmiko, yang dulu sering melontarkan kritik tajam, kini berada di sisinya, berbagi panggung, berbagi cita-cita.

Buzzer terkenal,  Rudi Sutanto baru diangkat jadi staf ahli Komdigi. Ia dikenal sebagai pembenci Prabowo tapi kemudian melamar kerja kepada menteri yang anak buah Prabowo. 

Orang-orang yang kini vokal mengkritik Jokowi sebagian besar dulu adalah orang yang memuja Jokowi. Dulu mereka anti terhadap segala kritik pada Jokowi. Kini apapun soal Jokowi jelek di mata mereka. 

Perubahan sikap ini bukan monopoli politik. Dalam dunia olahraga, kisah serupa terulang. Ingat Luis Figo? Ia dulu anak emas Barcelona, dielu-elukan di Camp Nou. Tapi segalanya berubah saat ia menyeberang ke Real Madrid. Dari pujaan, ia menjelma musuh. Dari dielukan, ia dihujat. Setiap kali kembali ke Camp Nou, hujan caci maki menyambutnya. Bahkan, kepala babi pernah dilempar ke arahnya. Cinta memang bisa berubah jadi benci secepat kilat menyambar.

Hidup memang seperti roda pedati yang terus berputar. Hari ini di atas, besok di bawah. Hari ini lawan, besok kawan. Itu sebabnya, mencintai atau membenci sesuatu dengan berlebihan adalah jebakan. Kita sering terbuai dalam fanatisme, lupa bahwa dunia ini cair, penuh kejutan. Jika sejarah mengajarkan sesuatu, itu adalah bahwa tidak ada yang abadi, kecuali perubahan itu sendiri.

Maka, bijaklah dalam mencintai, bijak pula dalam membenci. Jangan menabur kebencian yang terlalu dalam, karena bisa jadi kita akan memakan buahnya di kemudian hari. Jangan pula terlalu larut dalam cinta buta, karena bisa jadi yang kita puja hari ini akan mengecewakan esok lusa. Politik, sepak bola, bahkan kehidupan pribadi, semuanya adalah panggung sandiwara dengan alur yang tak terduga. 

Orang bijak mengatakan ‘Tak ada persahabatan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi’. Hubungan manusia sering kali dibentuk oleh situasi dan kebutuhan. Orang bisa bersekutu saat kepentingan mereka sejalan, dan berpisah ketika jalan mulai bercabang. Bukan berarti semua hubungan itu palsu, tetapi kepentingan adalah perekat yang lebih kuat dari sekadar emosi sesaat. Maka, memahami dinamika ini adalah bagian dari kebijaksanaan hidup, agar kita tidak mudah terperangkap dalam cinta atau benci yang membutakan. 

Di tengah ketidakpastian itu, pepatah Ali bin Abi Thalib adalah kompas yang tak lekang oleh waktu.

Pondo Cabe Udik 31 

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama