September Kelabu




Pipiet Senja 

Anno, 2012

Memasuki bulan kedua sejak mendengar diagnosa dokter, mengenai kondisi kesehatanku; kelainan darah bawaan, hepatitis, kardiomegali dan DM alias diabetes melitus.

Sejak itulah aku memutuskan untuk menjaga ketat asupan ma
kanan dan minuman. Saking ketatnya, dan kepingin sekali menurunkan kadar gula dalam darah, aku tak pernah lagi sarapan lengkap, selain semangkuk kecil havermut dan segelas susu diabetes.

Sementara itu, sejak memutuskan gugat cerai, aku harus pergi dari rumah yang selama ini kami, aku dan putriku tempati. Terhitung sejak Agustus 2012, aku numpang di rumah anak-anak, hanya dua anak.

Anak sulung sudah punya rumah cicilan di Citayam. Adiknya, perempuan baru menikah dan masih numpang di rumah dinas mertua di Halim. Karena harus bolak-balik ke RSCM, untuk menghemat enerji dan dana, kuputuskan numpang di rumah dinas besan.

Apabila ingin nyaman menulis dan beribadah, biasanya aku akan pergi ke Mesjid At-Tin, di sanalah bersama para nomaden lainnya; aku menulis, menulis sambil bermunajat. Memohon kesembuhan langsung dari Sang Khalik.

Acapkali ada seseoang yang menyodorkan nasi bungkus kepadaku dengan tatapan iba dan simpati. Barangkali dia mengira diriku pun tak lebih sebagai perempuan tua tunawisma, wajib dikasihani dan dibagi nasi bungkus. 

Karena tak enak hati jika menolak tawarannya, maka aku pun mengambilnya dengan penuh rasa syukur. Aku menyuap nasi pemberiannya itu dengan airmata bercucuran, hmmm, ternyata nikmat sekali nasi bungsu lauk tempe tahu alakadarnya campur rasa asin air mataku sendiri.

Tak jarang putriku Butet mengira emaknya ini sedang berada di Citayam, di tengah keluarga abangnya dan cucu-cucu. Demikian pula sebaliknya, sulungku mengira aku baik-baik saja berada di di Halim.

Namun, satu hal yang jelas dari serangkaian terapi, tiada kata lain kecuali; harus menebus obat. Jika selama ini masih bisa memanfaatkan Askes, maka sejak menjadi janda, fasilitas Askes pun dicabut. 

Demi Kartu Sehat, terpaksa aku harus memilih pindah menjadi warga DKI Jakarta. Selamat tinggal Depok, selamat tinggal Jawa Barat dengan segala keindahannya, kampung halaman tercinta.

Ternyata mengurus Kartu Sehat pun belum bisa kulaksanakan. Begitu banyak waktu tersita, mengobati lever dan jantung, berseberangan dengan diabetes. 

Dokter sudah menggambarkan prognosa, kemungkinan terburuk di kemudian hari dengan mengkonsumsi semua obat-obatan yang segambrengan. Ginjal bisa kena, pancreas bisa saja tidak berfungsi dan itu berarti menghilangkan produksi albumin.

“Dokter, sudah, ya, jangan dibahas lagi. Semuanya sudah saya tahu, saya baca dari browsingan,” tukasku satu kali, rasanya bikin sakit kepala dan bisa struk mendadak mendengar kemungkinan terburuk.

Inilah obat-obatan yang harus aku telan setiap harinya; Xjade, 6 butir gede-gede diminum sekaligus, dicairkan, ini khusus untuk menormalisasi zat besi ferritin pasca ditransfusi. Isorbide Dinitrate, Scantipid, Captropil, Metformin, Lansoprazole, Merzasol, Vitamin E, B12, Asam Folat dan transfusi darah yang semakin sering.

Padahal sebelumnya, selama berpuluh tahun, dokter hanya memberiku Asam Folat dan Xjade atau Desferal saja. Obat yang satu ini jika harus beli harganya satu kotak mini berisi 30 butir; 1 juta 367 ribu. Aku membutuhkan 180 butir per bulannya. Ya Allah, aku ingin sembuh, tetapi begitu mahal kesehatan itu, ya Robb!

“Jual sajalah, Ma, rumah kontrakan yang dihibahkan Papa ke Butet itu,” usul putriku satu kali. Dia tentu bisa merasakan bagaimana ibunya ini semakin sering wara-wiri ke rumah sakit, artinya semakin banyak saja dana yang harus dikeluarkan.

“Serius? Itu kan rumah kenangan, banyak peristiwa terjadi selama 25 tahun kita menempatinya.”

“Kebanyakannya juga peristiwa menyakitkan, Mama. Lihat Mama dijadikan samsak, dipukuli, ditendangi, mata Mama bocor dan berdarah-darah. Tulang lutut Mama retak, jalan pincang sampai berbulan-bulan….”

“Pssst, lupakan semuanya, Nak,” tukasku mendadak ngeri lagi jika mengingat semua kekerasan yang pernah kami peroleh dari lelaki itu.

“Makanya, jual sajalah! Lagian kita memang membutuhkannya. Terutama buat berobat Mama. Katanya kan Mama mau berobat ke Melaka?”

“Iya sih, eh, kalau ada dananya. Bagaimana dengan rumah yang harus kita miliki juga?”

Butet tercenung. Tentu saja kami harus menyadari bahwa saat ini yang terpenting adalah rumah tinggal sendiri. Ini rumah dinas, besan dalam masa persiapan pensiun.  Kabarnya, mereka hanya diberi waktu sampai September, dan itu tinggal beberapa saat lagi!

“Begini saja, fokuskan dulu untuk cari rumah yang bisa dicicil dengan KPR. Ingat, jangan yang mahal, ya, yang penting kita bisa tinggal nyaman dan rumah sendiri,” pesanku memutuskan matarantai kegamangan.

“Hmm, DP-nya dari mana, Ma? Tabungan kami gak seberapa banyak.” Butet tertunduk di samping suaminya yang tak berkata-kata.

”Mama akan berusaha cari solusi untuk DP-nya. Selanjutnya kalianlah yang mencicil. Kelak, kalau kalian sudah ada, DP-nya harap dikembalikan ke Mama. Bagaimana setuju?” cerocosku menyemangati pasustri yang belum lama menikah ini.

“Waaah, seriuuus, Ma? Kita boleh pinjam? Eh, memang Mama sudah ada duitnya?”

“Tenanglah, nanti Mama minta bantuan para sahabat yang bisa diandalkan.”

Dalam dua bulan itu, aku bergerak terus antara rumah sakit dengan beberapa pertemuan. Sedikit demi sedikit dana terkumpul. 

Ada sumbangan dari jamaahnya Ustad Bobby Herwibowo dan Ratih Sang, pinjaman dari Kang Abik dan Pak Remon, bos penerbit Zikrul Hakim, sebelum aku memutuskan untuk resign.

“Buat DP rumah apa sudah ada, Mama? Pengajuan pinjaman ke Bank sudah disetujui,” lapor Butet, memperlihatkan dokumen KPR.

“Iya, siang ini ada yang transfer.”

Setelah diperoleh sebuah rumah tinggal di kawasan Kota Wisata, Cibubur, barulah aku menyadari kembali; tak ada lagi uang untuk dana pengobatan. Jangankan untuk menebus obat atau bayar laboratorium, bahkan untuk sekadar ongkos ke rumah sakit pun kosong!

“Sudah dipasang iklan gratis di  bahkan iklan gratis di medsos. Tapi belum ada yang berjodoh beli rumah kontrakan kita,” laporku pula kepada putriku.

“Sabar terus, ya Mama sayang. Semoga Mama disehatkan dan dikuatkan,” putriku memelukku erat-erat.

Acapkali begitu pulang kerja malam-malam, dia langsung menengokku ke kamar. Dipeluk, dikecupnya pipi-pipiku, sambil memeriksa tangan dan kaki-kakiku.

“Mama, aduuuh, rasanya badan Mama jadi mengecil begini ya. Lihat, kaki-kaki Mama mengerucut seperti kakinya Omah,” komentarnya sambil memijiti kaki-kakiku, tak jarang kurasakan air bening menetes dari sudut-sudut matanya.

“Pssst, Mama masih kuat, ah!” elakku seraya balik mengusap-usap permukaan perutnya.”Nah, bagaimana kabarnya si Utun Inji hari ini?”

“Makin lincah gerakannya, Manini. Semoga si Dede ini menjadi perempuan tangguh, perempuan hebat seperti Manini,” celotehnya pula dengan mata berbinar-binar penuh semangat dan harapan calon ibu muda

Bersambung

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama