Pipiet Senja
Cerpen
Demi Tuhan, aku telah membersihkannya sebelum tidur, gumamnya.
Begitu terbangun dinihari, lihatlah, rumahnya tetap berantakan. Sungguh menjengkelkan sekali. Suami hobi catur, memelihara burung, semalamam sibuk dengan teman-temannya.
Tangannya yang kasar dan jari-jarinya yang sama sekali tak lentik, kini merajang bawang merah.
Mana minyak goreng? Ia menunduk ke kolong rak, botol minyak gorengnya sudah menggelinding.
Si Tukang Siul dengan tiga anak itu mendadak teriak-teriak.
“Mana kopiku?”
“Buku biologiku mana, Ma?”
“Uang sakuku mana, Ma?”
“Mama, mau Mama!”
“Mengapa semuanya jadi teriak-teriak begini? Apa mereka pikir tanganku, kakiku ini ada seribu? Apa mereka kira aku ini tak punya hati? Tak punya otak? Macam babu saja. Iya, babu gratis!” omelnya sendiri.
Perempuan 40-an itu meloncat dari sudut dapurnya. Di ruang tengah nyaris bertabrakan dengan anak sulungnya.
"Jaga adik-adikmu, ya!” dengusnya.
“Mama mau ke mana?”
“Pergi jauh!”
Ia berhenti di teras rumahnya, berpikir sesaat. Warung Haji Dani belum dibuka pukul tengah enam begini. Harus ke warung Si Emas di mulut gang sana.
Ia menyeret sandal jepitnya yang jelek dengan langkah lebar. Ia lupa masih mengenakan daster lusuh. Selain air wudhu yang sempat membasahi wajahnya, ia tak sempat gosok gigi. Minyak goreng, itu saja yang ada di otaknya.
Ia menyusuri jalan kampung dengan perasaan sebal, kecewa, sejuta rasa.
Mendadak sebuah mobil mewah nyaris menabraknya. Seorang lelaki berpakaian perlente bergegas turun.
Dengan mimik khawatir, penuh penyesalan lelaki macho itu mendatanginya.
Lilis masih membelalakkan matanya. Ingin marah, memaki-maki orang ceroboh itu. Aneh, mulutnya kelu bagai terkunci rapat.
Tiba-tiba pula lelaki itu berseru.
“Ya ampun! Kau rupanya, Dik Lilis! Bagaimana bisa kau berada di sini? Ini sungguh mukjizat!” serunya takjub dan memperhatikannya lebih cermat.
”Kau tahu, aku sudah mencarimu ke mana-mana. Ingin aku jungkir balikkan saja dunia ini. Agar aku bisa menemukan dirimu.”
Mendengar lelaki asing menceracau tentang dirinya seperti itu, Lilis tersentak membalikkan tubuhnya. Ia merasa harus segera menghindari lelaki perlente itu. Namun, lelaki itu dengan sigap berhasil menahan langkahnya.
“Kumohon, maafkan aku, Cintaku,” terdengar memelas sambil mencekal pergelangan tangannya.
“Ih, lepaskan!” Lilis merasa harus berontak, ditepiskannya cekalan lelaki itu.
“Jangan pergi lagi, Cintaku,” kata Pram kian memelas. “Aku sudah bertobat.”
Lelaki itu sampai menyembah-nyembah di hadapannya. Tentu saja Lilis jadi bingung sekali. “Maaf, Tuan…”
“Aduh, jangan begitulah, Sayangku. Aku ini Pram, suamimu tercinta. Jangan siksa aku lagi, ya Sayang,” bagai anak kecil memohon sesuatu kepada ibunya.
“Semuanya jadi kacau sejak kau pergi. Bisnis kita nyaris bangkrut. Anak-anak terpaksa kutitipkan di asrama. Marilah kita pulang. Berilah aku kesempatan untuk menebus segala kesalahanku kepadamu.”
Lilis ingin melarikan diri dari cengkeraman lelaki asing itu. Setiap kali langkahnya bergerak, lelaki itu cepat menghadangnya. Lelaki itu berhasil menutup seluruh jalannya, menyeretnya paksa dan memasukkannya ke dalam BMW keluaran mutakhir.
Sia-sia Lilis berusaha meyakinkannya, ini adalah kekeliruan besar. Omongan lelaki itu membuat Lilis bingung. Kepala Lilis pening, pening dan semakin pening. Lilis tak sadarkan diri.
Hari demi hari kemudian berlalu secara mengherankan. Kehidupan yang dijalani Lilis sesungguhnya diliputi dengan kemewahan. Hal-hal baru dan musykil, bahkan mimpi pun ia tak pernah. Semuanya berlangsung begitu saja.
Lilis ingin membebaskan dirinya dari dunia barunya. Semakin ia berusaha, terasa dirinya semakin tak sanggup keluar dari dunia Cinderella ini.
Seorang pelayan membawakan nampan sarapan pagi untuknya. Nampan yang bagus, gelas kristal berisi jus lemon, secangkir capucino, roti bakar lengkap dengan selai, vla, bahkan daging asap dan entah apalagi.
“Selamat sarapan, Nyonya,” kata pelayan dengan hormat.
Ia menikmati sarapan di atas tempat tidur. Sementara suaminya sudah rapi, mengenakan stelan jas bermerek.
“Jangan tunggu Mas pulang, ya Sayang. Mungkin tiga hari baru bisa kembali,” katanya saat mengecup ciuman perpisahan pagi itu.
Bagai linglung Lilis mencoba berkeliling rumahnya yang mewah. Semuanya sudah ada yang mengurus. Ada sepuluh orang pelayan di sini yang siap melayaninya.
Anehnya, rumah selalu tampak lengang. Seperti tak berpenghuni. Para penghuninya lebih suka mengurung diri di kamarnya masing-masing.
Bahkan ruang kebugaran, kolam renang dan lapangan tenis ada di kavling rumahnya. Semua fasilitas itu tak membuat para penghuninya kerasan lama-lama tinggal di rumah. Semua punya kesibukan sendiri-sendiri.
Lelaki yang mengaku sebagai suaminya Pram hampir tak punya waktu untuk keluarganya. Ia selalu sibuk dengan bisnisnya. Sekalinya ada kesempatan bertemu, bisnis dan bisnis jua yang dibicarakannya.
“Kau harus punya kesibukan juga, Sayang,” ujar suaminya ketika ia mengeluh kesepian. “Jangan di rumah melulu. Pergilah ke salon, shopping. Boleh juga mengikuti les-les, workshop atau seminar.”
Berhari-hari, berminggu-minggu Lilis keluar masuk salon atau pertokoan mewah. Hasilnya malah bikin mumet kepalanya. Barang belanjaan jadi mubazir. Perawakannya bukannya menjadi langsing, bagus, elok dan indah. Sebaliknya malah menjadi gembrot tak karuan.
Sepulang dari sanggar body language, salon atau spa, ia akan menghabiskan sisa waktunya di restoran dan kafe-kafe. Bahkan masih juga ngiler untuk singgah di bufet siap saji.
“Ibu, hari ini ada les Inggris pukul sembilan pagi,” sekretarisnya yang cantik dan seksi selalu mengingatkan jadwal hariannya. “Ada seminar sehari di Aryaduta.”
“Apa topiknya, ya?”
“Wanita Menangkis Era Digital.”
“Haaah, apa tak salah itu temanya?”
Seminar ini seminar itu, workshop ini-itu. Semuanya tentu saja harus pakai uang yang tak sedikit. Ia melihat peserta sibuk ngerumpi. Menggunjingkan berlian, mobil, properti baru milik orang lain. Tak jarang hanya duduk terkantuk-kantuk.
“Kita harus menyesuaikan diri dengan kaum lelaki. Kita harus jadi mitra sejajar mereka. Kita jangan mau dilecehkan!” Nora, nyonya dewan bersemangat sekali memprovokasi.
“Kita juga harus sering-sering mengikuti seminar ini dan itu. Kalau perlu, kita sendiri yang menyelenggarakan seminar ini dan itu,” tambah Nina, istri simpanan Ketua Umum Parpol.
“Lantas siapa pesertanya?” tanya Lilis.
“Kita sendiri, beres kan. Hihi!”
Mereka tampak menggebu-gebu. Seperti barisan unjuk rasa buruh yang sedang menuntut kenaikan upah. Kalau para buruh memang menuntut yang menjadi haknya. Sebaliknya teman-temannya cuma mencari-cari urusan saja.
Ia melihat wajah-wajah yang stres. Wajah-wajah frustasi. Bingung, tak punya pegangan hidup. Tak punya arah tujuan. Mata-mata yang hampa. Bagai daun kering yang tertiup angin. Ada saja yang mereka keluhkan, risaukan. Suami yang sibuk, selingkuh sampai tak pernah pulang ke rumah.
Kalau mau ketemu mesti janjian dulu. Anak yang keranjingan ekstasi, putaw, shabu-shabu. Rumah mewah, tetapi senyap sebab ditinggal para penghuninya kecuali babu.
Lilis memutuskan untuk tidak bepergian ke mana-mana. Sesungguhnya sudah lama ingin menghabiskan waktunya di rumah, menemani anak-anak. Ia merasa mereka sedang dalam kesulitan. Ia mencoba mendekati putri sulungnya.
"Aku bukan anak kecil lagi! Mama tak perlu mengurusi kehidupanku,” komentarnya begitu ia muncul. Sikapnya yang acuh tak acuh, ucapannya yang sinis, ketus dan dingin. Serasa bagaikan jarum beracun menusuk-nusuk hatinya.
Lilis terhenyak. Serentak ia membalikkan tubuhnya, saat memaklumi apa yang terjadi atas remaja putri itu.
Oh, sulungnya yang imut-imut itu sudah hamil, entah oleh siapa!
“Apa yang harus aku lakukan, Ma?”
Lilis tak menghiraukannya. Ia berlari menuruni tangga. Ia berpapasan dengan anak laki-lakinya. Umurnya hanya bertaut setahun dengan kakaknya. Ia tampak berjalan oleng. Tangannya memegang botol minuman keras. Bau alkohol segera meruap. Dengan gayanya yang kurang ajar anak itu menyemburkan napas ke wajah Lilis.
Tiba-tiba Lilis telah berada di dapur mewah, perabotan serba elektrik. Ia tak bisa memanfaatkan peralatan canggih. Ia melihat botol besar berisi minyak goreng. Tangannya gemetar kala menyentuh botol itu.
Perlahan ia berhasil mengalirkan isinya. Cairan berminyak dan licin itu segera membasahi jari-jarinya. Telapak tangannya, kakinya dan membasahi lantai. Banjir minyak goreng di dapurnya yang mewah.
Lilis berlari meninggalkan dapur, melintasi ruang makan, ruang tengah, ruang tamu, ruangan demi ruangan. Begitu otaknya memerintahkan untuk meninggalkan rumah mewah itu.
Napasnya tersengal-sengal, saat menerobos masuk ke sebuah rumah mungil di sudut perkampungan. Matanya dipejamkan, ingin merasa-rasakan aroma khas di sekitarnya. Aroma yang tidak asing lagi untuk hidungnya. Wangi daun bambu, rumput ilalang, apak rumah yang belum dibersihkan.
Inilah dunianya yang sejati, dunia jelata, tetapi ternyata ia merindukannya. Nun di rumahnya yang mewah, mepet sawah, tampaklah suami dan ketiga buah hatinya.
@@@
Posting Komentar