Pipiet Senja
Catatan; Melihat postingan seorang emak penyintas Thallasemia, Feni Linda Wati kuingin merepost pengalamanku dua tahun silam. Sebagai penyintas Thallasemia yang terpapar Covid-19, dikarantina di Wisma Atlet.
Sekeluarga sulungku, kami berlima positif terpapar virus China. Emak Alin, neng Feni, menjawab seorang emak yang anaknya baru dinyatakan Thallasemia. Ia, emak si anak bertanya; sampai kapan umur anak Thallasemia?
Heloooow, Nak, aku seorang Lansia, 67 tahun. Nah, kageeeet, ya kan? Makanya jangan keburu pesimislah. Mari, kubagi saja sekilas rekam jejakku pasca dikarantina. Berharap tidak perlu lagi mempertanyakan berapa lama anak Thallasemia bisa bertahan? Umur hanya Sang Pemilik Semesta yang paling Maha Tahu.
Jakarta, 5 Maret 2021
Memasuki pekan ke-4 sejak dinyatakan terpapar Covid-19. Takaran darahku anjlok. Penyintas Thallasemia jika mengkonsumsi antibiotik dan berbagai obat, berdampak terhadap takaran darah. HB anjlok sampai 5.
Dinihari Rabu itu, ketika baru masuk kamar mandi seketika lututku goyah alias nyorodcod tuur. Gubraaaaak!
Kepala kejedot ke tembok kamar mandi. Beberapa saat keleyengan rasanya dan lungkrah luar biasa. Bisa jadi sempat semaput. Pelan-pelan kuraih kembali kesadaran. Istighfar terus berzikir. Hingga bisa kembali ke kamar dengan merangkak perlahan.
Anak mantu dan cucu tidur di lantai atas. Aku di bawah dekat kamar mandi. Kami masih Isoman di rumah dalam pemulihan. Pasca 2 pekan dikarantina di Wisma Atlet.
Akhirnya tidak jadi ambil wudhu. Tayamum saja dan berusaha sholat lail. Lama aku menafakuri diri. Sambil melatih napas dengan sujud berulang kali. Demikian diajari dokter saat di ICU selama 10 hari.
Alhamdulillah tidak sesak. Saturasi 94 95. Kekuatan perlahan kembali dan mulai bisa berdiri, melangkah perlahan. Menuju dapur dan kubikin telor dadar serta minuman hangat.
“Manini harus transfusi, Neng. Gak bisa ditunda lagi,” laporku kepada mantu saat kulihat dia turun, menyiapkan sarapan.
Lina Pertiwi, mantuku ini termasuk perempuan perkasa. Meskipun tentara, setiap hari harus pergi pagi dan pulang petang. Ia masih bisa menyiapkan sarapan untuk orang serumah. Hasil masakannya pun bukan kaleng-kaleng. Kue-kue, brownies dan mie ayam buatannya tak kalah dengan kuliner di kawasan Cibubur.
Bahkan ia pun punya bisnis di luar tugasnya sebagai prajurit Kowal. Kutahu ia banyak berkontribusi dalam urusan keuangan dan menabung. Sehingga pencapaian ekonomi sulungku sejak menikahinya termasuk luar biasa. Memang benar jika ada pepatah mengatakan; bahwa di balik suami hebat ada istri luar biasa.
Kuceritakan sekilas bahwa tadi subuh aku sempat ambruk di kamar mandi.
“Apa Mama mau ke tumah sakit?” tanyanya cemas. “Mama mau ke rumah sakit mana? Kalau ke rumah sakit dengan hasil PCR terakhir….”
“Janganlah, Neng. Oya, memang PCR ulang kita kapan, Neng?” tukasku mendadak ngeri, andaikan harus dimasukkan ke bagian pasien Covid-19.
“Pihak Puskesmas bilang antri. Bisa kebagian 2 minggu lagi.”
“Waduh, gak bisa ditunggu selama itu. Manini mau minta tolong dokter Prita sajalah. Moga bisa numpang transfusi di kliniknya.”
“Saya harus lapor ke kantor. Abang ada meeting pagi ini. Bagaimana, ya?”
“Mama masih bisa jalan sendiri, Neng. Tenang saja,” tukasku menenangkannya.
Dia setuju dan segera kirim buat Gopay. Sempat menghubungi Maharani Mart Peduli. Minta bantuan dikirim ambulans. Namun, karena harus mencari sopirnya lebih dulu, terasa kelamaan. Aku memutuskan memanggil kendaraan online saja.
Alhamdulillah dengan senang hati dokter Prita, menyilakanku segera datang ke rumah sakit Al Fauzan, Jakarta Islamic Hospital.
Aku tak berani ke RS. Polri, karena dipastikan akan dimasukkan ke bagian Covid-19. Sedangkan kondisiku sudah pemulihan. Tak terbayang jika harus digabungkan kembali dengan pasien Covid-19. Bisa-bisa malah kembali terpapar.
Duh, tidaklah yaouw. Sia-sia saja dikarantina selama 10 hari di HCU Wisma Atlet, dua hari di ruang rawat biasa.
Dengan Gocar aku menuju jalan Pedati. Sendirian. Tak mengapa sudah terbiasa mandiri sejak SMP baheula. Adikku, Rosi, janji akan menemaniku siang nanti. Mau minta izin bosnya yang baik hati. Bosnya itu, Remon Agus, owner penerbit yang telah banyak menerbitkan karyaku sejak 2002.
Pukul 11.00 sampailah di tempat sahabatku praktek. Kamar HCU sementara tempatku sambil menunggu adikku Rosi. Segera disibukkan dengan urusan mencari donor darah.
Aku menghubungi sahabat yang bisa siaga mendonorkan darahnya untukku. Darah dari PMI hanya dapat 1 kantong. Dibutuhkan 3 kantong darah. Segera kontak Ustad Abdul Ghofur. Dia janji bada Maghrib bisa ke PMI.
Alhamdulillah, ada suami perawat bersedia donor. Artinya sudah ada dua kantong, dipastikan bisa ditransfusikan malam nanti. Meskipun harus bayar darahnya karena leuckodepleted, ternyata rezeki berdatangan dari para sahabat.
Maharani Peduli yang selalu siap. Demikian pula Askar Kauny segera transfer dana kesehatan. Agung Pibadi dari KBM dan teman-teman membeli buku-buku karyaku. Alhamdulillah. Barakallah.
“Pak Rus terima kasih sudah bantu saya urus darah ke PMI, ya,” kataku kepada pegawai RS Al Fauzan. Sejak siang sampai pukul sepuluh malam ia berada di PMI Pusat.
Akhirnya jumpa langsung dengan dokter Prita. Sudah sering borong buku saya dan berdonasi sejak 2016, Aksi Bela Islam. Beliau relawan kemanusiaan BSMI. Kami berkomunikasi selama ini melalui Instagram.
Petang, setelah Maghrib, darah pertama mulai menetes satu demi satu. Suster Yanti piawai nian menusuk jarum infusnya sekali; jebreeed, eh!
Jika dicermati urat-uratku masih bengkak dan menonjol. Bekas ditusuk-tusuk, termasuk berkali-kali gagal selama di ICU, Wisma Atlet.
Saat menerima transfusi begini, kupenuhi dada dengan zikrullah. Menyetel ruqiyyah. Menikmati kesendirian. Suasana di ruangan rawat terasa hening, senyap.
Malamnya aku dipindahkan ke kamar rawat bukan di HCU lagi. Terasa nyaman dan kekeluargaan. Dokter dan perawat sungguh baik dan ramah. Serasa di rumah sendiri.
Menu makannya serba hangat. Ya Allah, terima kasih, tak henti aku bersyukur. Satu dan dua kantong darah pun memasuki tubuhku. Acapkali terasa lelah jua melototin selang transfusi. Kepingin kutenggak langsung sekalian kalau boleh. Ngedrakuli beneran. Hehe.
Agar tetap segar dan bahagia aku pun menulis. Tangan kanan bebas dari infus, jadi masih bisa menulis dengan jari-jemariku. Meskipun lambat, tak apalah, yang penting masih bisa kuluahkan jejak langkahku melalui pena. Eh, note di ponsel, maksudku.
Posting ulang lakon di rumah sakit saat pertama transfusi. Saat melihat dua sahabat berpulang. Saat di kanan kiriku ada jenazah. Saat disangka mayat didorong ke Kamar Jenazah.
Kupikir dengan mengenang lakon lama maka rasa berdamai, bersyukur dalam dadaku tetap terpelihara. Saat-saat begini memang harus diusahakan; jangan sampai setres!
Demikianlah pertahananku. Banyak yang heran dan menganggap sebagai keajaiban jika lihat aku masih lolos. Keluar masuk ICU bahkan masih menulis dengan satu dua jari, tangan terpasung di selang infus transfusi.
Saudaraku sesama penyintas Thallasemia, yakinlah dengan KemahaKasihan Gusti Allah. Teruslah ikhtiar jangan pernah menyerah. Hasil akhir biarlah kita kembalikan kepada Sang Pencipta jua. Salam sehat dan tetaplah tawakal.
Tak lupa saya ucapkan terima kasih tak terhingga, kepada para donor darah yang telah menyambung hidupku sampai Lansia. Hanya Allah Swt yang akan membalas budi baik Anda semua.
Semesta doa untuk sahabat Thaller dan para donator berhati mulua, dokter yang tak pernah lelah sebagai; para penyambung nyawa kami. Al Fatihah.
@@@
Posting Komentar