Sosok yang Harus Kupanggil Papa



Cerpen: Butet Siregar

Sejak kecil aku sudah tahu, Mama punya masalah dengan kesehatan. Pernah aku mengira, Mama itu punya penyakit kuning. Sebab sering kulihat Mama menguning. Kulitnya, matanya sampai ke kuku-kukunya. Untunglah, giginya tidak ikutan kuning. Kasihan Mama, ya? Ops, jangan kasihani Mama. Meskipun masih banyak yang bermasalah dalam hidupnya. Mama pantang dikasihani.

Jika Mama ditransfusi sebulan sekali, kukira semua anak juga ikutan nyokapnya ke rumah sakit. Melihat dia diperiksa di laborat, terus antri darah di PMI. Besoknya baru ditransfusi, sama ngantri dan belibetnya macam kemarinnya. Aku kira, semua anak juga nontonin ibunya dilemparin kaca oleh bapaknya. Sampai berdarah-darah. Lengkap dengan tiap serpihannya yang menempel (sepertinya sih!) sampai sekarang di sudut matanya.

Aku kira, anak lain juga macam aku, meringkuk ketakutan setengah mati di belakang lemari. Kadang sambil mencekik leher dengan sebuah selendang, berharap mati. Terus bergumam sendiri: “Mati, mati, mati…” Biar semua orang bisa bahagia tanpa perlu bertengkar lagi karena aku. Aku sering merasa, keributan besar terjadi karena kenakalanku.

 Aku kira, semua anak juga pernah merasa macam gini: terbuang. Tidak disayang. Semua orang hidup dengan dunianya sendiri. Meninggalkanku yang sibuk mengejar mereka dengan kaki-kaki kecil ini. Pertama kali aku kepingin sekali mati, menghilang dari muka bumi ini. Aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mamaku berjongkok melindungi dirinya, sementara Papa dengan liarnya menendangi tubuh Mama. Kala itu Mama dengan susah payah merangkak keluar rumah.

 “Pergi sana Bang, pergilah…jangan jadi jagoan… Nanti kita ketemu di mesjid, ya Nak, pergilah,” usir Mama kepada abangku yang sempat memasang badan, menerima setiap pukulan yang akan menimpa tubuh Mama. Akibatnya yang terjadi semakin parah.

Aku tidak terlalu ingat penyebab amuknya ketika itu. Aku menyangka karena kenakalanku. Aku akan selalu ingat darahnya. Tiap tetesnya. Tiap rintihan mohon ampun yang keluar dari bibir Mama di sela-sela kata: “Allahu Akbar… Allahu Akbar!”   Sejak itu aku membenci diriku sendiri. Karena aku tidak bisa berbuat apapun. Bahkan sekadar membela Mama yang kusayang, aduh, aku benci

Papa tidak menyentuhku. Tidak sesering dia memukul Abang atau Mama. Kecuali ketika dia memaksaku untuk makan. Kadang dia membawa ranting bambu untuk menyabetku. Namun, pernah dia menyabetku sambil membentakku kalau aku mengucapkan kata-kata yang buat dia pantang diucapkan. Seperti; ayam, burung, onta, gajah, jerapah, unyil. Aku tidak mengerti, kenapa tidak boleh diucapkan?

Mama bilang, Papa sakit, ya, tapi sakit apa? Kenapa Papa begitu gampang curiga? Gampang mengamuk? Sepertinya, semua orang yang mengajak Mama bicara, langsung dicurigai. Pernah, sekali waktu Mama melakukan satu kesalahan. Gara-gara mengomeliku dengan kalimat; “Iiih, nih anak, dasar kucriiit!”

Tiba-tiba Papa membanting sebuah kaca besar ke kepala Mama. Aku masih SD dan berbadan kecil. Abang selalu berpesan sebelum pergi sekolah. “Butet harus lindungi Mama. Apapun yang terjadi, oke Tet?” Seketika dengan tubuh cekingku merangsek maju, menghadang Papa dengan satu cara: aku menggigit kakinya yang besar. Seketika tubuhku melayang ke udara; puuuung, serius terbang!

Yeah, tidak benar-benar terbang. Dia cuma menendangku jauh-jauh, sampai aku menghantam ujung tembok. Seluruh tubuhku (kalau rambut bisa patah, aku yakin, dia bakal ikutan) serasa patah.  Gigitanku membuahkan hasil. Papa sibuk selama beberapa detik. Saat itulah Abang pulang sekolah, tanpa babibu lagi langsung mengambil alih. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat wajah Abang yang jahil, lucu dan baik itu berubah. Geram, marah dan penuh benci.“Jangan pernah sentuh Mama, kriminaaal!” Abang pun menggunakan jurus taekwondonya; hiaaaaat!

Sampai sekarang aku masih belum mengerti, kenapa Abang bisa sekeren itu, ya? Terus, Abang ‘mengunci’ Papa. Sampai Papa tidak bisa bergerak. Sebagai catatan; badan Papa tuh gede banget dan kuat. Lalu satu hal superkeren yang bikin aku langsung bertekad untuk memuja Abang selamanya: Dia melempar Papa hingga terbang. Papa terbang dengan sekali lempar ke ruangan lain. Pokoknya jauh banget!       

Abang mengangkut Mama yang bersimbah darah. Sumpah, Gan, ini bukan buku silat. Fakta yang sama sekali tidak dihiperbola. Sementara aku buru-buru mengintil di belakang Abang dan Mama dengan kaki pincang-pincang. Tahu tidak, apa yang Mama katakan beberapa jam kemudian di kamarnya?

“Ini salah Mama barangkali, ya anak-anak. Papa kalian bermasalah, lagi sakit parah, semacam depresi, paranoid. Mungkin skizoprenia? Tolong ya, anak-anak yang saleh dan salehah. Kita harus memaklumi kelakuan Papa kalian.” Duhai Mama, ibuku tercinta; aaargggghhh!

Suatu kali dalam kehidupanku. Aku merasa, itulah terakhir kalinya bisa menatap rumah kami. Aku berada di atas motor yang Abang kendarai. Inilah rumah yang sudah aku tinggali seumur hidupku, enam belas tahun.

 “Butet harus sering-sering ke sini, ya?” Itu kata-kata Papa setelah semua barang-barang selesai diangkut. Aku cuma mengangguk. Meski kami berdua sama-sama tahu. Aku tidak akan ke sana lagi sesering yang Papa mau.“Papa sayang Butet.”   

Saat itu  aku menatap Papa terpana. Mungkin bagi anak-anak lain, itu kata-kata yang sudah basi banget. Bakal bikin mereka malu kalau diucapkan oleh ayahnya. Seumur hidupku, ini pertama kalinya aku dengar dari mulut ayah kandungku.      

"Papa sayang Mama. Papa sayang abangmu,” ujar Papa sambil menunduk.      

Aku menatapmu, Pa. Lama sekali. Sesaat aku berpikir aneh. Inilah Raja di atas singgasananya. Raja yang selalu berkuasa di rumah ini. Kini kerajaanmu telah kami tinggalkan. Seorang penguasa yang kehilangan dayang-dayangnya. Tidak bakalan lagi ada pion-pion yang bisa dilukai. Tidak bakalan lagi ada yang menyediakan makanan.

Aduh, sebetulnya Papa sudah banyak dimudahkan dalam hidupnya. Apalagi sih yang Papa mau? Baru pulang haji, kenapa malah menjadi-jadi; kasarnya, tidak pedulinya dan amuknya.             

“Kenapa…” Suaraku mendadak tercekat. Semua kata-kata yang mau berhamburan keluar kembali tertelan. Seribu kata; kenapa? Kurasa, membentuk tetesan air mata di sudut-sudut mataku. Kenapa baru sekarang, Pa? Setelah sekian lama sering Papa tumpahkan darah dan cacian pada Mama? Kenapa baru sekarang? Setelah Papa mencari gara-gara dengan abangku dan bilang; “Papa tidak mengakui kamu sebagai anakku. Tanyakan sama Mama kamu, siapa bapak kamu itu!”

Setelah aku hidup dalam enam belas tahun, dihantui obsesi, mampukah aku memenuhi harapanmu? Cukup layakkah aku menjadi anakmu?  Setelah bertahun-tahun otakku dipenuhi satu tanya, apakah arti ayah dalam seorang anak hanya untuk simbol belaka. Pertanyaan terbesarku adalah: “Kenapa menyakiti orang-orang yang Papa sayangi?”        

Saat itu aku lihat Papa menangis, aku kasihan padamu, Pa. Tubuh yang dulu terlihat tegap dan gagah, kini membungkuk. Wajah khas Batak yang selalu terlihat garang, dan membuatku selalu takut, kini penuh dengan kerut-merut usia. Detik itulah aku baru sadar satu hal: Papa juga manusia. Aku mencium tanganmu, berpikir mungkin ini terakhir kalinya. Rasa sayang (sampai saat itu!) tidak muncul di hatiku untukmu, Pa. Aku tidak sayang Papa. Aku hanya merasa kasihan.

“Hati-hati, ya?” ujarmu saat itu dengan mata memerah. Mataku kian memanas. Aku berpaling, menatap sisa pohon jambu yang dulu pernah jadi tempat kita bermain. Papa ingat? Dulu, Papa sering menaikkanku ke salah satu cabangnya. Supaya aku bisa cari jambu klutuk yang enak untuk buka puasa.

Aku menutup mata dan bukan hanya mata ini yang perih. Tapi hatiku juga. Lapangan kecil di depan rumahku, yang dulu tempat Papa mengajariku naik sepeda. Papa ingat? Sepeda bekas hasil nego alot antara Mama dengan tukang rongsok. Sepeda yang Papa pakai untuk memboncengku keliling lapangan. Papa dulu sering bilang, aku harus pakai sendal. Aku tidak pernah nurut, karena rasanya enak bersentuhan dengan tanah yang dingin.

Aku memeluk erat kamus Bahasa Inggris yang dulu Papa belikan ketika aku peringkat satu kelas 3 SD. Mengertikah engkau, kenapa selama ini aku menggebu-gebu belajar Bahasa Inggris? Kenapa nilaiku tidak pernah kurang dari sembilan meski lesnya cuma waktu kelas tiga SD? Karena kamus itu berharga bagiku. Aku ingin unggul di satu hal yang dulu pernah kita buat sebagai kenangan.      

Pa, sejak kapan jadi begini? Apa yang salah? Kenapa Papa tidak mau sadar-sadar juga sih? Kalau Papa memang sakit, kenapa tidak berobat ke psikolog atau psikiater? Bisakah kita cukup perbaiki saja? Aku cuma ingin, ketika duniaku perlahan hancur, engkau ada di sisiku. Aku ingin engkau memelukku dan berkata, semua baik-baik saja. Aku ingin, ketika Papa lihat aku menangis karena sadar cita-cita kuliah ke Jerman tidak realistis.

Aku ingin Papa jangan pergi, jangan pura-pura tidak melihat. Aku ingin Papa menghampiriku, bertanya ada apa, memelukku erat dan berkata; “Papa akan mendukungmu, Butet…”

Pa, mengertikah dirimu? Aku butuh pelukan hangat. Bukan tatapan curiga. Aku butuh dorongan darimu. Bukan kata-kata pesimis yang merendahkanku. Aku butuh senyummu. Bukan nasehat-nasehat yang bahkan Papa sendiri tidak mampu menerapkannya. Tahukah Papa? Aku butuh seorang ayah. Bukan orang yang selalu berseberangan.

Malam itu, kutinggalkan kawasan kampung Cikumpa dengan sejuta rasa yang tidak sanggup kudiskripsikan. Cuma Allah yang tahu kenapa Mama sanggup hidup disiksa selama bertahun-tahun ini. Mending kalau cuma disiksa. Ini masih banyak plusnya, suka selingkuh, tidak menafkahi keluarga, tidak pernah muncul waktu dibutuhkan. Tidak mau peduli kalau Mama atau anak-anak sakit. Pokoknya, selaksa minus lainnya berjejalan di satu sosok itu!

Mama sering bilang, aku tidak boleh benci dia yang wajib kupanggil Papa itu. Biasanya kalau diceramahi begini, aku cuma manggut-manggut saja macam burung pelatuk. Intinya tidak peduli. Ya iyalah! Siapa yang tidak benci sama orang yang sudah milyaran kali bikin semuanya terluka. Lahir dan batin.

Selepas Mama dari hidup Papa. Meski baru pisah rumah, cerainya dalam proses, keberuntungan berturut-turut menghujani Mama. Abang bilang, sepertinya memang selalu begitu. Tiap kali Mama dizalimi rezeki mengucur dari langit. Mendadak diberi  tumpangan rumah bagus di kawasan pesantren. Abang yang baru diwisuda langsung dapat kerja. Abang jadi sering ke Mesjid. Yah, sebenarnya gara-gara mesjidnya di samping rumah.       

Beberapa bulan itu hidupku paling indah. Mama sering ketawa bahagia, bisa berbicara apa pun tanpa rasa takut. Ya, ya, yaaa: Aku bahagia banget. Dapat kamar luas, bagus, dan cahayanya banyak. Mama, Abang dan aku jadi sering makan bareng. Sesuatu yang langka dilakukan ketika masih serumah dengan Papa. Sebab Mama khawatir, kalau kami lagi jalan bareng bisa menyinggung perasaan Papa. Sementara kalau mengajak Papa, jika bukan ditolak, pasti bakal terjadi keributan saat melakukannya.

Terakhir aku merasakan jalan bareng ke Ragunan saat kelas tiga SD. Entah apa pasalnya, kulihat Papa amuk-amuk dengan bahasa kasar. Mama berusaha keras menyembunyikan tangisnya. Aku dan Abang bengong macam orang bego!

Beberapa waktu hidupku serasa sempurna. Terlalu sempurna. Tidak layak dinikmati olehku, mungkin. Yup! Harusnya aku tahu, dalam hidupku, tidak mungkin ada kata sempurna.

“Hiks… Hiks…” Aku sempat mengira itu suara kuntilanak yang lagi beranak pinak. Mindik-mindik aku menuju kamar mandi. Debar-debur jantungku gedebukan tidak karuan. Wah, ini bakalan jadi horor buat ceritaku kelak. Begitu kuintip dari celah pintu kamar mandi ternyata bukan. Itu sosok Mama yang nangis (lagi-lagi!) sembunyi-sembunyi. Aku jadi tahu semua kesempurnaan ini, bukan tujuan Mama.

"Ceritanya Mama akan balik lagi ke rumah itu?” suara Abang terdengar bergetar. 

Mama tidak menyahut. Rasanya, aku sudah kehabisan kata-kata. Aku tak bisa terima, mengapa Mama begitu naifnya? Begitu mudahnya memaafkan orang yang telah banyak mengacaukan hari-hari kami? Terutama merancu ketenangan lahir dan batin kami. Sementara kami  masih berdiskusi, kulihat Mama tak berkata-kata lagi, masuk ke kamar dan mulai berkemas-kemas. 

Aku mendatanginya, masih penasaran, kepingin tahu persis keputusan Mama.

“Butet pernah ketemu Papa di Mesjid Baiturrahman?” cetusnya sebelum kuletupkan kepenasaranku.

“Beberapa kali. Butet sama teman-teman numpang sholat ashar di situ. Memangnya kenapa?”

“Nah itu! Kira-kira sejak kapan dia suka sholat di Mesjid, ya?”

“Sepertinya sih sejak kita ttinggalan.”

“Mmm, ada berkahnya juga, alhamdulillah,” gumam Mama.

“Maksud Mama, maunya bagaimana sih?”

“Sekarang bapakmu sudah menjadi ahli Mesjid. Berdosa kalau kita tidak beri kesempatan….”

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama