Semalam di Macau Bersama Sastri Bakry







Anno, 2010

Menyebar Virus Menulis di Shelter Matim.

Kami menginap di Vila de Costa, sebuah apartemen berlantai 12, tetapi sama sekali tak ada lift-nya. Sebelum masuk ke penginapan yang check in tengah malam itu (ajaib, ya!) kami rehat dulu di shelter Matim. Tepatnya di kawasan Rua de Silva Mendes, 6 B, Edif, Pak Tak 4,3.

Di sini aku dan Sastri Bakry masih bisa menularkan virus menulis. Meskipun pesertanya terdiri dari para penghuni shelter, ditambah beberapa orang lagi yang datang dari luar, bergabung bersama kami. Mereka tampak antusias dan semangat sekali menyimak, mencatat dan aktif saat sesi dalog interaktif.

Ruang tengah yang dipakai sebagai aula itupun penuh sesak, semuanya lesehan. Acaranya cukup meriah, karena antusias mereka dan semangat ingin mengetahui; apa dan bagaimana caranya agar menjadi seorang penulis terkenal itu?

Sastri Bakry giliran mengompori para Nakerwan yang ditampung di shelter Matim, agar suka membaca dan menulis. Ia mengambil contoh dari dirinya sendiri, betapa nikmatnya menjadi seorang penulis. Memiliki karya, kisah inspirasi Kekuatan Cinta (Penerbit Jendela) yang sudah cetak ulang.

Aku menambahkan bahwa betapa pentingnya arti sebuah karya tulis, sebuah buku. Apabila para pembicara, para penceramah mampu menghimpun massa sedemikian banyak di suatu tempat. Apatah pula hebat dan dampaknya, jika ia, sang penceramah itu menuliskan materi ceramahnya kemudian membukukannya,”

“Kemudian karyanya akan menyebar ke pelosok dunia. Bahkan meskipun penulisnya telah tiada, sebuah karya akan tetap dikenang pembacanya.”

Sesi dialog interaktif digelar, para peserta bertambah dengan BMI Macau yang tinggal di shelter Matim baru pulang kerja pukul sebelas malam, Ya, semuanya ikut bergabung. Mereka antusias sekali menyerbu kami berdua dengan berbagai pertanyaan.

Mulai dari yang ringan seperti, bagaimana memulai sebuah tulisan? Sampai meminta diajari, bagaimana menulis artikel; protes, agar suara BMI terdengar dan dipedulikan oleh para Birokrat? Luar biasa!

Kami berdua merasa terharu dibuatnya!

Tengah malam, setelah makan bersama, barulah kami berangkat menuju penginapan Vila de Costa. Turun-naik ke dan dari lantai tiga, bagiku yang kadar darahnya (HB) hanya sekitar sembilan, lumayanlah bikin napas ngakngikngok!

“Besok kita tidak perlu ke sini lagi, Teteh, makanan pagi dan siangnya akan diatur Mbak Dewi, diantar ke penginapan,” jelas Ustaz Ghofur, membuatku bisa bernapas lega.

Karena kelelahan, begitu mencium kasur langsung tidur lelap sampai terbangun sekitar pukul empat waktu Macau.

Tak ada kompas, tak ada pula yang bisa kutanyai ke mana kiblatnya, jadi kuputuskan untuk solat tahajud menghadap arah (entah selatan, timur, barat, utara!) yang kuyakini adalah kiblat.

Biarlah, Allah Maha Pengasih, pikirku. Beberapa saat tenggelam dalam sujud syukur dan tasbih menyebut asma-Nya. Ya Rahman Ya Rahim…

Karena sudah menjadi kebiasaan, usai bermuhasabah dan berdialog dengan Sang Pencipta. Mengucapkan rasa syukur yang tiada terjabarkan dengan semesta kata, aku pun segera sibuk dengan laptop.

Aku menata tulisan demi tulisan, bakal buku, sebuah karya hasil perjalananku sekali ini. Sebuah catatan kehidupan di dunia keras, mengintip peri kehidupan para perwmpuan berhati beton.

Tak terasa saatnya sholat subuh. Nah, baru saja usai solat, aku tergerak untuk mengetuk pintu kamar Sastri di seberang kamarku. Aku lupa, meninggalkan kamar dalam keadaan terkuak, sementara AC belum kumatikan.

Ketika putrinya Sastri, yaitu Ranti, mengikutiku ke kamar untuk membuatkan mamanya secangkir kopi instan. Tiba-tiba ada suara keras, bernada penuh kemarahan, meledak-ledak!

“Nah loh, Tante, kenapa tuh si Encim ngamuk-ngamuk?” bisik Ranti.

Encim itu, perempuan sebayaku yang menggantikan petugas semalam, memang tampak marah berat. Tangannya menuding-nuding ke arahku, bahkan kemudian langsung memasuki kamarku. Tanpa permisi lagi dan memaki-maki dalam bahasa Kanton.

 “Ya, dia memaki-maki kita kayaknya, Neng,” gumamku, garuk-garuk kepala, tak paham.

Ranti mencoba menyambung komunikasi dengan si Encim yang semakin nyolot bin sewot saja. Bukannya reda, eeeh, ndilalah, malah semakin hebih!

Yeh, beneran Cina merepet jengkol, gerutuku jadi terusik juga. Bikin rusak imaji yang sedang kubangun dengan indahnya dalam tulisanku. Huhuhu!

Mbak Dewi dari Matim akhirnya datang bersama dua rekannya, mengangkut makanan untuk kami dan rombongan Woman Creative dari Bandung.

Ketika mendengar si Encim masih heboh saja, memaki-maki diriku, Mbak Dewi tak tahan juga agaknya. Dia melawannya dengan kata-kata pedas, bahkan mengancam si Encim.

“Dengar, ya, Cim. Kami kenal baik dengan pemilik penginapan ini. Kalau kamu tidak mau diam, awas, ya! Kami akan adukan kamu, ya! Nanti kami takkan sudi datang lagi ke sini!”

Demikian, konon, terjemahan Kantonis ala Dewi. Sepertinya mujarab juga ancamannya.Terbukti, si Encim kemudian mingkem seribu bahasa. Nah, loh, rasaiiiin deh!

Jangan main-main dengan Dewi, ya, aktivis Matim yang tangguh. Dia paling berani melabrak staf KJRI. Mereka yang dinilainya sangat lamban merespon berbagai kasus yang menimpa rekan-rekannya sesama BMI. (Turbojet Macau-Hong Kong, 14 Juli 2010)

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama