Mengapa Semua Teriak: Uang?





Butet Siregar

September 2009

Hidupku sungguh menarik. Ini hal pertama yang terlontar dari pikiranku pagi itu.

Ya, pagi yang biasa-biasa saja. Aku pun bersiap-siap menjalani hari perkuliahan yang biasa-biasa saja. Semuanya biasa saja, dan sungguh terprediksi sekali akan berjalan seperti apa.

Menarik. Seperti roller-coaster pada satu detik, hal yang paling aku khawatirkan adalah apakah aku dapat mempertahankan nilai A di satu mata kuliah? Namun detik berikutnya, aku mengkhawatirkan hal yang jauh berbeda: apakah aku dapat mempertahankan nyawa Mama pagi ini?

Sepertinya baru saja beberapa jam yang lalu aku sibuk memikirkan warna sepatuku matching dengan gaya berpakaianku. 

Sekarang, detik ini, aku justru menjinjing-jinjing ice box untuk darah bergambar bebek yang sudah terkelupas menuju PMI Pusat.

Ya, menjinjingnya sambil berjalan menyusuri pasar Kramat Jati yang hiruk-pikuk. Menaiki busway yang penuh sesak setiap pagi-siang-sore (jadi kapan kosongnya sih?!) itu. Mencoba menghiraukan pandangan orang-orang.

Aku nyaris bisa melihat apa yang tengah mereka lihat: cewek dengan mata berkantung, wajah berminyak dengan bibir pucat yang pastinya sekujur tubuh bau obat karena tidak sempat mandi.

Ah, jangan lupa aksesoris favoritku sepanjang lorong-lorong rumah sakit, boks es krim berukuran sedang. Sekarang benda ajaib ini sudah berisi darah, siap kujinjing ke mana-mana.

Angkutan umum bernama busway ini benar-benar murah-meriah sampai ke akar-akarnya. Coba lihat saja, hampir tak ada ruang buat bernapas apalagi buang gas. Huh!

Oke, di situlah aku nyempil-nyempil macam ikan pindang siap digoreng!

Sesosok cowok tegap tiba-tiba menghampiriku. Samar-samar aku bisa mencium aroma Bvlgari-nya. Sambil tersenyum ia berkata, “Duduk di sini saja, dari tadi berdiri saja. Kasian emboknya tuh!”

Tawaran yang sangat langka di tengah ketakpedulian orang Jakarta begini. Tentu saja aku segera menyambutnya dengan senyum senang. Aku pun duduk manis di bangku bekas cowok gentle itu, dan masih tersenyum senang. 

Demikian beberapa saat, sampai kusadari kalau cowok itu memandangiku dengan senyuman kasihan, seperti menyelidik?

Seketika otakku berjalan dan…, cliiiing!

Aku tidak lagi merasa senang.

Kemudian tidak lagi tersenyum.

Omygod… Orang ini baru saja memanggil gw Mbok!

Dan prioritas nomer satu hidup gw pun seketika itu berganti: mandi!

Here’s the thing: petugas menyebalkan itu ternyata ada di mana-mana. 

Di loket ASKES, di samping tempat dudukmu ketika menunggu panggilan, di Apotik, di halte busway, di loket PMI, semua adalah tempat bercokol makhluk-makhluk menyebalkan yang misi hidupnya adalah memperumit hidup orang. Dan butuh beberapa jurus untuk orang-orang yang berbeda pula.

Misalnya seperti sekarang. Aku mengisi formulir dengan perlahan sementara di belakangku, ada puluhan orang tengah mengantri. 

Aku luar biasa yakin hal yang sangat simple seperti sekedar meminta tanda tangan, meminta cap, (apapun yang berbau meminta-menta) membutuhkan waktu yang sangat lama di sini.

Dan inilah cara aku bertahan hidup.

Jurus no. 1

Ciri-ciri lawan: petugas pria berusia 30-an. Sepertinya belum menikah, dilihat dari mata genitnya yang jelalatan. Berperut buncit. Berkumis. Mereka entah mengapa selalu berkumis, mungkin trend kumis merajalela lagi di kalangan petugas rumah sakit, entahlah.

Cara menghadapi:

Pastikan muka kita dalam keadaan paling fresh dan penuh senyum. Menulis perlahan. Memandang malu-malu ke arah lawan. Lalu bertanyalah pelan-pelan tentang hal-hal kecil untuk memancing lawan untuk bertanya. 

Dengan tahapan seperti ini:

1. “Ini ditulisnya lengkap ya, Pak?”

2. “Eh, maaf, maksud saya Mas, bukan Pak…”

2. “Oh, ibu saya koq yang sakit, bukan saya.”

3. “Ngg…. Iya…. saya sendiri saja ngurusnya.”

4. “Iya, saya belum makan.”

5. “Makan bareng Bapak, eh Mas?”

Nah, di tahap ini. Diamlah sejenak. Pura-pura berpikir lalu bilang; “Tapi saya belum selesai ngurus berkas ini dan itu, kan bisa seharian, Pak.” Lalu menunduklah dengan wajah putus asa dan tanpa harapan.

6. “Hah serius mau diurusin?! Makasih banget ya.”

Dan setelah semua sudah selesai, berterimakasihlah sebanyak-banyaknya. Lalu bilang “Suami saya juga pasti bakal berterimakasih sama Bapak.” Sambil tersenyum lebar.

Mission Completed!

Jurus no.2

Ciri-ciri lawan: Nenek-nenek nyinyir. Suka mengkritik sekecil apapun kesalahan kita, bahkan kadang menciptakan kesalahan bayangan hanya agar punya alasan untuk memarahi.

Cara menghadapi:

Pastikan wajah kita dalam kondisi terhancur. Berminyak, bau, ingusan, apapunlah segala aksesori muka, pasang saja. Tersenyumlah. Jangan tersenyum menggoda tentunya. Tersenyumlah seolah-olah kita anak terpolos di dunia. Tataplah ia dengan mata berkaca-kaca.

Dan bertanyalah:

“Ibu, maaf. Kalau mau ke Mushola lewat mana ya?”

“Iya, saya belum sholat.” Lalu tampakkan muka menyesal.

“Habisnya dari tadi malam saya sendirian urus Mama.”

“Apa? Oh, ini… saya disuruh ngurus berkas rawat-inap. Harus cari kamar dulu ke gedung lain terus ke sini lagi.”

Tampilkan wajah capek tapi tegar. Beri sedikit sentuhan air mata, kerjapkan mata sedikit. Lalu berpura-puralah malu karena tadi nyaris menangis.

“Oh, kebetulan sekali! Ngurusnya ternyata sama Ibu, ya?”

“Ga apa-apa Bu, saya bisa urus sendiri kok.” Katakan ini bila lawan telah menawarkan diri untuk mengurus.

“Tapiii, kalau Ibu maksa sih. Maaf ya Bu, jadi ngerepotin nih.” Tampilkan wajah lega. “Alhamdulillah Bu… Makasih ya, Bu.”

Mission Completed.

Jurus No.3

Lawan: Petugas yang meremehkan orang miskin. Percaya atau tidak yang seperti ini ada lho!

Cara mengalahkannya:

Entahlah.

Hanya orang kaya yang bisa mengalahkan lawan seperti ini.

Aku menatap lekat-lekat wajah petugas di depanku. Berusaha mengidentifikasikan orang ini golongan petugas ke berapa dan harus bagaimana bersikap. Tapi otakku beku. Badanku kaku. Napasku memburu.

Bayangan di luar sana, Mama tengah menungguku sambil memegangi perutnya dan mengaduh kesakitan merusak konsentrasiku. Berbeda dari segala urusan perumahsakitan lainnya, kali ini aku harus mendapatkan kamar untuk Mama. 

Jantungku kembali teriris ketika teringat kemarin Mama sempat ditolak dan kami harus pulang tanpa hasil. Dan itu semua salahku. Salah ketidakbecusanku.

“Tolonglah, Pak. Ibu saya ini thallasemia pula. Sudah harus dioperasi dua minggu lagi, Pak.”

Aku bisa merasakan sesuatu suaraku bergetar. Pandanganku mengabur dengan mata yang memanas. Aku memaki diri sendiri dalam hati. Biasanya aku tidak begini. Biasanya aku kuat.

Biasanya aku memikirkan hal lain untuk mengalihkan fokusku. Tapi kali ini aku tahu semuanya bergantung pada dapat ruangan tidaknya.

“Yaaaa… Penuh ini tempat tidur biasanya. Balik sajalah minggu depan. Kalau mau sekarang, ya yang kelas I. Atau VIP. Ada tidak duitnya? Uang muka tujuh juta tuh!” Tanpa mengalihkan pandangan dari computer yang tak lain dan tak bukan tengah dipakai untuk GAME FACEBOOK, si petugas berbicara.

Aku menahan diri untuk tidak terjatuh lemas. Bila Mama tidak mendapat ruangan hari ini, aku sungguh tidak mau membawanya pulang lagi dengan sia-sia seperti kemarin. Andai orang di hadapanku ini tahu, betapa butuh perjuangannya perjalanan Depok-Jakarta. 

Betapa butuh keberanian dari Mama, susah payah untuk bangkit dari tempat tidurnya menahan sakit.

“Tapi Pak. Saya tidak punya uang sebanyak itu sekarang. Apa kira-kira tidak bisa di cek dulu, ada yang kosong atau tidak di lantai bedahnya?” 

Aku mengindahkan tatapan semua orang di ruang tunggu itu. Aku tidak peduli mereka berpikir apa. Anak aneh membawa-bawa tas ransel besaaaaar, memaksa untuk dapat ruangan? Terserah.

“Ya ampun Dek! Kamu tuh budek apa bagaimana sih? Tadi sudah dibilang! Penuh! Banyak orang sakitnya! Kalau tidak bisa bayar ya sudah balik sana!” Bentakan petugas itu membuat jantungku berdegup luar biasa.

Aku bisa menghadapi tamparan. Aku bisa menghadapi tendangan. Makanan sehari-hari untuk orang yang pernah ikut taekwondo, kendo dan merpati putih sepertiku. Tapi bentakan, aku manusia paling lemah terhadap bentakan.

Mengingatkanku akan Papa ketika aku kecil. Ospek yang kejam ketika SMA, public humilihation oleh pada senior.

Tubuhku otomatis merekam reaksi yang sama terhadap bentakan jenis apapun.

Dan untuk bentakan tipe seisi-ruangan-mendengarkan-dan-menengok seperti ini, aku menahan diri mati-matian untuk menyembunyikan gemetarku.

“Pak, saya mohon, Pak.”

Asinnya air mata terasa di bibirku yang gemetar. Yang keluar dari mulutku hanya gumaman, tertutup oleh isakan. Aku benci terisak-isak setelah dibentak. Tapi ini reaksi tubuhku secara otomatis. Seperti orang asma. Aku tidak bisa mengendalikannya sama sekali. Aku menarik napas panjang dan menatap Bapak itu lekat-lekat.

Ia menunjuk satu-satunya pilihan. Ruang VVIP. Berapa uang mukanya? 37 juta. 37 juta. 37 juta. Angka yang terus terngiang-ngiang di kepalaku.

Sesaat, tiba-tiba aku teringat kembali salah satu novel Sidney Sheldon. Di dalamnya, ada satu tokoh yang meninggalkan kesan sangat mendalam untukku. 

Pemeran utama wanitanya menjual diri ke seorang rentenir demi bisa membeli sebuah tanah. Sebuah tanah yang kemudian akan menjadi batu pijakannya untuk menjadi wanita tersukses di dunia.

Untuk pertama kalinya, seumur hidupku, aku memasuki titik tergelap. Aku berharap ada di dalam novel itu. 

Dalam beberapa detik, sempat terpikir apa aku harus menjual diriku dulu? Apa yang bisa aku berikan agar Mama bisa mendapatkan segala hal yang layak?

Aku menggeleng. Aku tidak bisa membayar itu sekarang. Petugas itu melambaikan tangannya menyuruhku pergi. 

Namun aku bergeming dari tempat duduk. Kini seisi ruangan benar-benar melihatku.

“Saya. Tidak. Akan. Pergi. Sampai. Ibu. Saya. Dapat. Ruangan.” 

Aku memberi penekanan pada setiap katanya. Dengan mengangkat kepala menantang, dan air mata menetes jatuh, aku menatapnya lagi. Ia harus menyeretku bila memang ingin mengusirku. Tapi aku takkan meninggalkan ruangan ini hingga Mama mendapatkan apa yang seharusnya ia dapatkan.


Untuk pertama kalinya, petugas itu mengalihkan pandangan dari komputernya. Ia menatapku dengan mulut setengah terbuka, kehilangan kata-kata. Atau mungkin berpikir aku gila. Terserah yang mana.

Petugas itu memberiku isyarat untuk mendekat. Aku menurutinya nyaris berharap.

“Tidak punya tujuh belas juta?” tanyanya berbisik.

Aku menggeleng kehilangan harapan.

“Tapi punya uang rokok sekedar seratus dua ratus ada kan?”

Aku buru-buru mengangguk.

Ia lalu menjauh sedikit, menyenderkan diri ke tempat duduknya dan kembali bermain game Facebook.

“Ya sudah ini fotokopi sendiri ya. Urus ini ke gedung A, itu yang di ujung rumah sakit ini, terus naik sendiri ke lantai 8-nya, terus ke administrasinya, baru ke sini lagi. Nanti dari sini baru ke gedung A lagi. Jangan lupa jaminan askesnya.”

Aku tersenyum lebar. Alhamdulillah ya Allah.

Jangan pernah bicara tentang KKN padaku. Jangan pernah, sebelum benar-benar berhadapan dengan sebuah sistem perumahsakitan yang berantakan dan dipenuhi pegawai bergaji rendah.

Aku benci olahraga. Aku benci berkeringat. Tapi satu bulan di rumah sakit benar-benar membuat berat badanku sempat turun tujuh kilo. Dan itu diet terbaikku sepanjang sejarah.

Bagaimana tidak, loket tutup jam tiga. Berkas ada yang belum difotokopi, jaminan askes kurang cap, ini belum dibayar, itu belum diambil, bla bla bla… dan semua tidak menoleransi waktu perjalanan.

Butuh waktu lima belas menit menelusuri lorong demi lorong, dari ujung satu ke ujung lainnya. Lalu lima belas menit lagi untuk menunggu petugas memberikan perhatian untuk kita. Butuh lima menit untuk menarik napas. Dan butuh waktu selamanya untuk mencegah diri sendiri agar tidak pingsan kelelahan.

Aku menatap Mama yang kini duduk nyaman di ranjangnya. Ia baru saja disuntik OMZ untuk menghilangkan rasa sakit di perutnya. Aku menggeser dudukku sedikit menjauh. 

Malu dengan tubuhku yang berlumur keringat dari pagi. Pasti baunya tidak karuan. Muka berminyakku. Semuanya, bukti bahwa kehidupan di rumah sakit itu kejam.

“Tidak lapar, Nak?” tanya Mama lirih dengan nada mengantuk.

Aku menggeleng. Rasa perih menusuk lambungku. Dalam hati aku bersyukur perutku sudah dalam tahap parah sekali hingga tidak berbunyi. Mama tidak perlu tahu rasa laparku di saat rasa sakitnya justru jauh jauh lebih parah.

“Mama tidur dulu ya?” gumamnya dengan nada meminta maaf.

Aku mengangguk dan merosok ke lantai yang dingin. Untuk pertama kalinya sepanjang hari, akhirnya aku duduk juga.

Tiba-tiba suster membuka tirai dan memberitahuku untuk menghubungi bagian keuangan. Ah, ternyata OMZ harus disuntikkan tiga kali sehari. Selama sebulan. Satu paketnya tiga ratus sembilan puluh lima rupiah!

Aku mengangguk ke arah suster dan ia menutup tirainya kembali.

Aku kembali terduduk di lantai. Menutup mata.

Aku merasa lemah. Merasa begitu tidak berdaya. Tidak berguna. Aku belum bisa menghasilkan uang. Aku tidak bisa memberikan apa yang ibuku butuhkan. Dan itu salahku. 

Aku merasakan lagi-lagi mataku memanas. Terlalu banyak pengurasan emosional di sana sini, aku seperti karung beras yang bocor. Tidak lagi sekuat dulu ketika dipukul.

Tuhan, mengapa aku begitu miskin? Aku ingin besar. Aku ingin kuat. 

Aku ingin Kaya. Lebih dari apapun, aku ingin mempunyai begitu banyak uang, agar ibuku tidak perlu meringkuk di pojok rumah sakit, menunggu aku selesai memohon-mohon ruangan pada petugas yang tidak melirik orang miskin.

Aku ingin menjejalkan uang ke mulut petugas itu. Aku ingin begitu kaya sehingga tidak perlu melihat kernyitan rasa sakit setiap kali ibuku susah payah berjalan menyusuri lorong saat petugas-petugas itu mempingpong kami.

Bayanganku kembali terpotong isakanku sendiri. Aku memeluk kakiku sendiri, berusaha menekan sakit di dadaku.

Tuhan, bila Engkau saja memperlakukan semua orang sama, mengapa makhluk-Mu memperlakukan sesamanya dengan berbeda?

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama