Pipiet Senja
Sastri Bakry saya kenal pertama kali melalui naskah inspiratif karyanya: Kekuatan Cinta. Saya sebagai Editor di Penerbit Zikrul Hakim saat itu, 2006. Belum kenal langsung pun saya sudah merasa akrab dengan tokoh aku di Kekuatan Cinta.
Pemilihan diksi, kosakata dan segala penunjang sebuah naskah miliknya, serasa langsung merasuk di kalbu.
Sempat mengira, ia adalah perempuan lembut, jujur dan mudah berdamai dengan kondisi apapun.
Begitu jumpa dan bercakap-cakap langsung, terperangah saya dengan sosoknya.
Ternyata ia sosok yang kharismatik, mandiri dan berani, tangguh dengan prinsip.
Sejak itulah kami bersahabat. Sering jalan bareng untuk menjadi pembicara, bahkan mentor para perantau TKI Hongkong, Taiwan, mahasiswa Al Azhar Mesir.
Sastri Bakry di mata saya, selain sebagai ibu yang berhati lembut, birokrat, artis multi talenta, penyair, pun sahabat karib yang perhatian dan hatinya mudah trenyuh tiap kali lihat mereka yang terpinggirkan.
Bersama Sastri Bakry saya pernah jalan bareng ke Macau. Dari Hongkong kami diajak oleh Ustad Abdul Ghofur dan istri, Meilani.
Rantri, putri Sastri ikut pula. Sering orang mengira Rantri adalah putriku. Sedangkan Butet kerap dikira putrinya Sastri Bakry.
Mungkin karena Rantri terkesan bersahaja, pendiam mirip Manini, hehe.
Sebaliknya Butet lincah, mudah gaul dan modis mirip Sastri. Entahlah, aya-aya wae.
Saat itu Butet masih mahasiswa FHUI, persiapan skripsi jadi belum kerja penuh.
Sastri mengajaknya aktif di Talenta. Kerap diajak serta untuk beberapa evennya. Butet sudah banyak juga melahirkan karya, terutama buku cerita anak-anak.
Nah, di Macau kami jalan ke pusat perjudian nan gemerlap.
"Sayang kalau gak lihat-lihat, survey untuk bahan novel," kata saya kepada Ustad Abdul Ghafur.
Oya, sebelumnya di atas Jumbojet, kapal yang menyeberangkan kami dari Hongkong ke Macau; melihat rombongan anggota dewan.
"Mereka dari Sumbar," gumam Sastri.
"Mungkin dalam rangka studi banding."
Di tengah gemerlap lampu, kulihat dari kejauhan rombongan dari Sumbar sedang asyik bermain di depan mesin rolet.
"Uni, lihat itu teman Uni," ujarku polos.
"Bukan, mana ada temanku macam itu," sanggahnya seraya cepat menjauhiku.
Naluri seniman Literasi tetap menggelitik hati dan otak saya. Malam itu saya tuliskan sekilas pengalaman sepanjang jalan antara Hongkong dengan Macau.
Termasuk jumpa rombongan Sumbar. Saya mempostingnya di Kompasiana. Maka, tak pelak lagi menyebarlah postingan tersebut di jagat media sosial.
Belakangan saya baru tahu, ternyata Sastri tidak membaca postingan tentang "rombongan studi banding Sumbar di Macau."
Untunglah postingan yang viral tersebut tak nyerempet nama Sastri Bakry.
Kemudian saya ajak pula Sastri ke Mesir, 2013. Saat itu saya menjadi pengasuh Bilik Sastra, Voice Of Indonesia RRI.
Begitu tiba di Bandara Maktour, Kairo, rombongan kami sempat tertahan beberapa saat. Ternyata bertepatan dengan kudeta Jenderal Asisi kepada Presiden Mursyi.
Selama berada di Kairo, tak pelak banyak kejadian seru, heboh dan menggetarkan. Hingga kami, saya, Sastri Bakry dan Irwan Kelana menerbitkan sebuah antologi. Kolaborasi karya inspiratif, beberapa mahasiswa Al Azhar Kairo dan kami berempat; Sastri Bakry, Irwan Kelana, Kabul Budiono dan Pipiet Senja.
Serius, panjang kali lebar pengalaman kami, bisa satu buku minimal.
Selamat milad ke 65, Sahabatku, Sastri Bakry. Semoga tetap semangat dalam berkarya bermanfaat untuk bangsa. Semesta doa untuk Uni Sastri Bakry.
(Pipiet Senja, Novelis Indonesia)
Posting Komentar