Selamat Jalan, Cintaku



Pipiet Senja

#JejakCintaSevilla

Memasuki pekan terakhir kontraknya dengan perusahaan Ibra.

Pagi-pagi ketika Garsini sedang menikmati sarapan di apartemen, Ibra dan beberapa rekannya datang untuk menjemputnya. Awalnya ia ingin mengajak Garsini makan pagi bersama.

”Wah, baik sekali kalian, tapi aku sudah sarapan, baru saja selesai,” berkata Garsini dengan tersipu. Tak ada istilah diet selain rajin melakukan shaum Senin-Kamis belaka.

”Ya, sudah, kami ikut sarapan di sini saja. Boleh?” usul Ibra.

”Tentu! Sebentar aku siapkan makanan untuk kalian.” Ia akan bergerak menuju dapur.

”Jangan repot-repot, sebentar lagi pesanan akan tiba,” tukas Rizal, salah seorang kaki tangannya yang paling handal.

”Wow, sungguh cekatan!” puji Garsini.

Meskipun hampir tiga bulan mereka bergaul, sehingga ia bisa mengenali karakter pemuda ini dengan baik. Garsini masih saja terkesan dengan segala kepraktisan bos mudanya ini. Di tengah keriangan makan pagi sambil bertukar ide dan gagasan itulah, Ibra seketika menyodorkan sebuah tabloid Indonesia.

Garsini tertarik dan mengambilnya. ”Dari mana Anda mendapatkan tabloid macam ini?”

”Seorang keponakan baru pulang dari Bali, ini oleh-oleh ceritanya.”

Beberapa jenak Garsini mencermati lembar demi lembar yang kebanyakan memuat artikel tentang selebriti. Hingga sampailah pada lembar yang memuat huruf-huruf besar: Carolina resmi menikah dengan seorang dokter spesialis jantung!

Bagaikan tersengat aliran listrik, meskipun ia sudah menduga sebelumnya, jari jemarinya gemetar hingga tabloid itu terlepas dari tangannya. Tubuhnya serasa terpacak di kursi makan, dan untuk beberapa saat gadis itu hanya tertegun-tegun tak ubahnya orang linglung.

”Apa yang terjadi?” Ibra memungut tabloid di lantai dan mencoba mencermati berita yang kira-kira menarik perhatian.

”Tak ada apa-apanyalah, hanya berita selebritis Indonesia, biasa sudah basi…. kawin-cerai!” komentar Rizal bak pengamat gosip artis negeri tetangganya.

”Hentikan!” sergah Garsini mendadak berang.

”He, ada apa dengan dirimu? Tak mau curhatan dengan dirikukah?” Ibra menatapnya ingin tahu.

Garsini berusaha keras mengendalikan dirinya, selang kemudian bibirnya berbisik pelan tatkala mengatakan: ”Apakah aku sudah boleh berangkat ke Perancis, Brur?”

Ibra tertegun. Kontrak perjanjian gadis ini dengan perusahaannya hanya tiga bulan. Artinya, tinggal beberapa hari lagi, tak ada yang bisa menggoyahkan niat Garsini untuk melanjutkan kuliah di Perancis. Selama ini, meskipun tipis sekali, Ibra masih berpengharapan bisa menawan hati Garsini.

”Apa yang membuatmu ingin berangkat lebih awal?”

Garsini membisu, tapi matanya kembali menghunjam di atas huruf-huruf  yang terasa semakin melukai itu. Mata Ibra pun latah mengikuti jejaknya.

Pahamlah ia bagaimana kacau-balaunya perasaan gadis di hadapannya.

”Terbukti sudah pradugamu selama ini, ya?” gumamnya prihatin.

Sepasang mata gadis itu mengelam. Ia berusaha sedemikian rupa agar tidak menumpahkan air matanya. Andaikan tak ada rambu-rambu dalam keyakinan keduanya, niscaya mereka akan lebih terbuka untuk saling mencurahkan perasaan. Namun, keyakinan mereka dengan jelas dan tegas melarang dua orang non muhrim berdekatan.

”Sudah waktunya aku pergi dari Singapura, Brur. Hari ini juga aku akan mengurus dokumen perjalanan. Apabila masih ada tugasku yang belum memuaskan, kumohon, mengizinkanku untuk merevisinya di Perancis,” pintanya serius kepada Ibra sebelum mereka berangkat sama-sama ke kantor.

”Jika itu yang terbaik menurutmu, aku hanya bisa mendoakan dikau mendapatkan kebahagiaan, di mana pun dikau berada,” ujar Ibra ikhlas.

”Terima kasih, Anda pengertian sekali….”

”Satu permintaanku, sungguh, aku berharap tali silarurahim kita tetap terpelihara. Andaikan kami membutuhkan jasamu, masih bisa mengontakmu, bukankah?”

”Tentu saja bisa, insya Allah, terima kasih telah memberi kepercyaan dan kesempatan yang sangat baik kepadaku,” ujar Garsini terharu sekali.

Haliza khusus datang dari Malaysia begitu diberi tahu tentang rencana keberangkatan Garsini. Ia masih merasa malu dan bersalah dengan peristiwa di rumah keluarga Kristanti. Begitu banyak barang yang dihadiahkannya untuk Garsini seperti; buku-buku panduan tentang Perancis, busana Muslimah yang modis, kerudung cantik, tas dan sepatu serta laptop terbaru.

”Aduh, sebanyak ini harus kuangkut ke Perancis? Daku ini hendak kuliah bukan untuk pamer baju, Haliza sayang,” keluh Garsini yang baru kembali dari Kedutaan Besar Perancis, mengurus dokumen perjalanannya sesuai petunjuk Profesor del Pierro.

”Tiga atau empat tahun dirimu di sana, Saudariku, ingatlah itu!”

Garsini tertegun. Tentu saja, jika ia sampai kehabisan bekal, semua barang ini sungguh berguna untuk dirinya. Namun, ia sungguh tak ingin berlebihan.

”Izinkan aku mengirimkan laptop yang kau berikan tempohari untuk adikku Butet, ya?”

”Jangan mengirimkannya. Pekan depan kebetulan aku ada jadwal ke Indonesia. Aku rasa akan mampir di sekolah adik kita si Butet itu, tak mengapa bukan ke rumah kalian?”

Garsini mengangguk sepakat.

”Ya, baik juga tidak ke rumah. Karena rumah kami itu sungguh mewah alias mepet sawah. Dikau bisa tersesat!” ujarnya tertawa kecil.

”Ah, dikau ini bisa saja!” Haliza ikut tertawa.

”Oya, sepupuku di Bali sampai bulan depan. Mungkin kalian masih bisa melanjutkan pembicaraan pribadi, tapi dengan saksi-saksi, ya?”

Haliza tidak menyahut, tapi dari parasnya yang merona siapapun bisa menerka bagaimana perasaannya terhadap Andre. Garsini sungguh berharap, suatu saat sepupunya punya keberanian untuk berkomitmen dan mendapatkan hidayah-Nya.

Pada pertemuan terakhir, Garsini masih menangkap ketakpedulian sepupunya akan suatu keyakinan. Menurut Andre, semua agama itu baik adanya, sehingga ia tak perlu memeluk salah satu keyakinan.

”Aku ingin menghormati semua agama dengan caraku sendiri.”

”Bagaimana kalau kita mati?” pancing Garsini.

”Kalau mati…. ya, sudah, matilah, game over, selesai!”

“Seperti hewan saja, ya?”

“Hmm, nei, nei…. Tidak begitu juga, tapi.…”

Jika berdebat dengan sepupunya masalah satu ini hanya akan membuang waktu dan tenaga belaka. Garsini memutuskan untuk tidak terlalu ikut campur. Biarlah Tuhan, Dialah Maha Penggerak yang akan mencurahkan hidayah-Nya kepada sepupunya itu.

Siang itu di penghujung November yang dingin.

Haliza yang tak pernah membiarkannya sendirian dalam beberapa hari terakhir, mengantarnya ke Bandara Changi. Menyusul Ibra bersama timnya; Richard Wong, Yeoh Ong, Billy Shutner dan Romi Khan yang kini telah memiliki seorang pendamping jelita.

”Maafkan segala kekurangan dan kekhilafanku selama kita satu tim, ya rekan-rekanku yang baik,” ujar Garsini pamitan kepada tim kerjanya.

”Kami juga minta maaf karena sering membuatmu kesal,” ujar Romi Khan tertawa.

”Tak mengapa. Nah, jangan lupa, Kalau kalian ke Perancis kabari aku, ya?”

”Memangnya Anda akan menjamu apa jika kami mampir ke tempatmu?” Richard Wong tertawa.

Haliza yang menjawabkannya: ”Jangan coba-coba merepotkan Garsini, ya!” ujarnya berlagak mengancam. “Kabari aku sajalah, biar kita saling traktir, sepakat?”

Garsini memeluk sahabatnya erat-erat. Ia takkan melupakan budi baik Haliza yang telah banyak membantunya.

”Kudoakan dikau bisa meruntuhkan kebebalan iman sepupuku, ya Haliza,” bisiknya mendesir di kuping Haliza.

”Amin!” Ibra agaknya sempat mendengarnya. ”Sebaliknya doakan juga biar kita ada jodoh, ya?”

”Amin.” Sekali ini tim kerjanya yang mengaminkan dengan kompak.

”Cinta itu tidak boleh memaksa, Brur. Biarlah Allah memberi kita yang terbaik,” tukas Garsini menutup percakapan mereka.

Entah kapan mereka bisa berjumpa kembali.

Selamat tinggal, Singapura.

Selamat datang, Perancis.

”Selamat jalan, Cintaku,” gumam Ibra membatin dengan perasaan mengharu biru.

Pengalaman batin yang luar biasa. Baginya inilah pertama kali dalam hidupnya merasai hatinya dipatahkan oleh seorang gadis. Selama ini sosoknya malah dikejar-kejar oleh para gadis.

Sambung

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama