Nikmatnya Menjadi Penulis




Anno, 1979

Untuk pertama kalinya aku menjejakkan kaki di kantor redaksi Selecta Group. Di sini ada redaksi majalah Selecta, Nova, Senang, Humor, dan Detektif & Romantika.

Karya-karyaku berupa cerpen dan novel yang dicerberkan, acapkali nampang di kelima majalah Selecta Group.

“Oh, Anda ini yang memakai nama pena Pipiet Senja itu, ya? Aku sangka Anda lelaki dan sudah berumur,” komentar Bang Azhar yang menerima aku di lantai bawah.

“Yeeeh… cewek asliiii loooh!” sahutku jengah.

“Anda dicari Mbak Susy di Nova, tuh,” katanya pula sesaat menelpon redaksi majalah Nova di lantai dua, mengabarkan kedatanganku.

“Ada apa, ya… kok nyariin aku?”

“Mbak Susy kepingin wawancara Anda, katanya. Ayo, aku antar ke atas.”

Berita kemunculanku langsung merebak. Buktinya, aku segera dikerumuni oleh para karyawan. Mereka mengaku fans Pipiet Senja. Subhanallah, aku tak pernah mengira.

Pengaguman seperti itu, sungguh bikin hati berbunga-bunga. Sekaligus miris, mengingat kembali tulisan-tulisan yang pernah terlahir di tangan ini. Uuuh, bagaimana kalau membawa pengaruh buruk? Bagaimana tanggung jawab moralku?

Seharusnya sejak saat itu, aku segera menyadari bahwa media massa sangat berpengaruh bagi masyarakat. Hati-hatilah menulis, hati-hati, hati-hati… Namun, aku manusia biasa, banyak keterbatasan, banyak kekurangan dan banyak kelemahan.

Saat itu, aku `dituntut untuk selalu menulis supaya aku bisa membiayai diri sendiri, membantu keluarga. Jadi, aku masih menulis apa saja yang ingin aku tulis. Hampir tanpa mengemasnya dengan ruh Islami. Sebatas memagarinya dengan tidak vulgar, ponografi, berbau esek-esek. Itu saja. Ampunilah hamba-Mu yang papa ini, Allah!

Masih tentang Selecta Group. Bapak Syamsuddin Lubis, pemimpin perusahaan penerbitan, sangat baik memperlakukan para penulis. Beliau telah memberikan kesempatan besar untuk mengembangkan bakat kepenulisanku. Harus diakui, melalui Selecta Group aku bisa menyalurkan kreativitas di awal-awal karier kepenulisan.

Aku diberi banyak kemudahan di sini. Bahkan diperlakukan secara khusus, saban minggu selalu ada honorarium yang menanti di Selecta Group buatku. Pimpinannya sangat memahami kebutuhanku sebagai seorang penyintas penyakit tak tersembuhkan.

Melalui majalah-majalah terbitan Selecta Group, entah berapa ratus cerpen dan berpuluh cerita bersambung karyaku yang pernah terlahir. Tiga buah novelku di terbitkan oleh Selecta Group; Adzimattinur, Orang-orang Terasing, Kembang Elok Rimba Tampomas.

Aku masih terus menulis untuk Selecta Group hingga bertahun-tahun kemudian. Sampai perusahaan penebitan itu mengalami pailit menjelang krismon.

Suatu saat ada beberapa orang redaksi yang mengira aku sudah meninggal. Seperti yang aku alami saat muncul di majalah Zaman dan Femina.

“Anda bukannya sudah meninggal?”

“Anda Yatty M. Wihardja, kan? Yang dari Ciamis itu, ya kan?” Oh, itulah kuncinya!

Mereka agaknya keliru. Mungkin karena karya-karya kami sering muncul di Selecta Group? Mungkin juga karena kami sama-sama penulis Sunda. Cimahi dikira Ciamis? Atau barangkali karena kelemahan fisik kami?

Yang jelas, aku termasuk pengagum Yatty M. Wihardja. Karya-karyanya baik dalam bahasa Indonesia maupun Sunda sudah sering kubaca sejak kecil. Sayang sekali, sampai Yatty dipanggil Sang Pencipta, aku tak pernah punya kesempatan bertemu dengannya.

Saat itulah, aku mulai merasakan nikmatnya menjadi seorang penulis. Banyak sahabat, dikenal banyak orang dari berbagai tempat. Terutama mendapatkan pemasukan lumayan tanpa keluar rimah. Tinggal di sudut kamar saja, honorariumnya mengalir melalui wesselpos.

Bicara soal persahabatan antara penulis. Aku memiliki seorang sahabat, seorang penulis wanita Sunda. Holisoh ME, penulis bahasa Sunda yang sangat produktif.

Sekitar tahun 1978-an, aku sering menginap di rumahnya di Cileunyi. Kepadanya aku sering curah hati, dari si Ceuceu inilah aku berguru. Terutama dalam menulis bahasa Sunda.

Aku mengagumi kreativitas Ceu Holisoh. Sebagai seorang guru SD sekaligus penulis wanita, dia sangat intensitas bila sudah menulis tentang masyarakat kampung di bumi Pasundan.

Dia begitu membaur dengan karakteristik dan nuansa perkampungan. Bahkan sampai berpuluh-puluh tahun kemudian, gayanya itu merupakan trade-mark seorang Holisoh ME.

Berbelas tahun kemudian barulah aku mempraktikan ilmu yang pernah diajarkannya kepadaku. Meskipun di depan publik ibu guru itu kelihatannya tak pernah mengakui aku sebagai muridnya. Aku tetap menganggapnya sebagai salah seorang guruku yang baik.

 

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama