Pipiet
Senja
Saat
kucatat lakon ini, Haekal berumur sembilan tahun, kelas empat SD, selalu
peringkat pertama. Anak ini melimpahiku dengan banyak prestasi, kebanggaan dan kebahagiaan tak teperi.
“Kata
dokter, sekarang Mama lagi hamil, Nak,” aku berkata sambil mengusap kepalanya,
siang itu sepulang Haekal sekolah.
Anak
laki-laki yang nyaris tak pernah membuat ibunya bersusah hati itu mengangkat
kepalanya, memandangi wajahku, parat terus ke permukaan perutku dengan sorot
mata ingin tahu dan penasaran.
“Iya,
Haekal akan punya seorang adik. Bukankan itu menyenangkan, Nak?” ujarku
menegaskan.
“Ekal mau
punya adik, ya?”
“Iya Nak.”
Aku mengulang sambil mencoba menebak-nebak, kira-kira apa yang dipikirkan anak
seusianya tentang keberadaan seorang adik. Selama ini aku sudah terfokus
terhadap dirinya.
Dia
menggaruk-garuk kepalanya, suatu kebiasaan yang sama dengan bapaknya bila
pikirannya belum ajeg.
“Eeeh,
adiiiik! Waaa, asyiiik!” serunya sesaat kemudian.
Tiba-tiba
dia bersorak, meluapkan kegembiraannya sambil berjingkrak-jingkrak,
mengacung-acungkan kedua tangannya ke udara. Beberapa jenak dia berputar-putar
di sekitarku bagaikan gasing. Sampai kuperingatkan agar tidak terlalu heboh,
khawatir mengganggu ompungnya yang sedang rehat di kamarnya.
“Ekal
paham kondisi Mama?” aku mulai mengajaknya duduk tenang.
Beginilah
caraku kalau ingin mengajaknya membincang suatu masalah. Haekal bukan sekadar
seorang anak, bagiku dia bisa menjadi seorang teman, seorang sahabat, seorang
pahlawan dan terutama buluh perindu di kala hidupku serasa dalam kehampaan.
“Iyah…
Ekal harus bisa lebih mandiri, ya kan?”
“Bagus!”
“Terus?”
“Mama
akan banyak minta bantuanmu, gak apa-apa kan, Nak?”
Dia
menggeleng cepat sambil ketawa lugas. “Ekal janji mau bantu Mama!” sahutnya
mantap.
Sejak itu
aku dan anakku berjibaku dalam rangka menyelamatkan kehamilanku kali ini. Dua
kali keguguran, sesungguhnya bagiku sangat menyiksa, acapkali aku dihantui
perasaan bersalah dan berdosa yang nyaris tak tertanggungkan. Apapun alasan
medis, tetaplah membuat lahir-batinku merana apabila mengenangnya.
“Bisa
mengantarku hari ini ke rumah sakit, Yang?” pintaku suatu pagi sebelum suami
berangkat ke kantor.
Walaupun
jawabannya sudah bisa kutebak, tapi aku merasa harus mencobanya lagi. Ini
memasuki minggu ke-28, takaran darahku sering di bawah standar ibu hamil,
ditambah asma bronchiale dan jantung tidak aman.
Selama
ini aku lebih sering pergi seorang diri, kalau agak darurat biasanya terpaksa
mengorbankan waktu sekolah Haekal. Ya, anak kecil itulah yang setiap saat
menjadi pengawalku paling setia dan tulus.
“Hari ini
aku ada urusan! Biasanya juga kamu pergi sendiri atau diantar si Haekal,” cetus
suami terdengar tanpa perasaan sama sekali.
“Tapi
hari ini aku mungkin harus ditransfusi, menjalani beberapa pemeriksaan…”
“Semuanya
kan sudah biasa bagi kamu,” ujarnya seraya meninggalkan uang alakadarnya.
Aku mengatupkan
mulut rapat-rapat, menahan gelombang yang membadai dalam dadaku. Dia sudah
menjadi seorang dosen tetap di almamaternya. Memang ada sedikit perubahan saat
ini, dia mulai memberiku uang belanja per hari. Ini lebih disebabkan keberadaan
ibunya, dan seorang keponakan yang tinggal bersama kami.
Sebelumnya
untuk keperluan sehari-hari, semuanya saja, harus aku yang mencarinya. Suatu
hal yang membuatku mesti bekerja keras, melahirkan karya; menulis, menulis,
menulis tanpa terpikirkan lagi tentang nilai-nilainya, ruhnya dan sebagainya.
“Ekal
saja yang antar, ya Mama?” tanya anakku ketika usai mandi, mendapatiku sedang
tercenung-cenung di depan mesin ketik.
Kebiasaan
burukku adalah melamun di depan si Denok, manakala pikiran dan perasaanku
terusik. Niscaya Haekal sudah tahu kebiasaanku ini. Kuangkat kepalaku dari
mesin ketik, kualihkan ke wajahnya… Oh, Anakku!
Sungguh,
meskipun masih bocah, tapi dia telah mengalami banyak peristiwa dalam sejarah
kehidupannya. Diperebutkan oleh aku dan suami di pinggir jalan, menyaksikan
diriku disiksa habis-habisan oleh suami. Matanya nyaris tersundut rokok bapaknya,
ketika kami bertengkar hebat di jalanan. Disiksa habis-habisan saat dia
melakukan kesalahan kecil, mengisengi sepupunya, dan itu dianggap dosa besar
oleh bapaknya.
Ya Tuhan,
Engkau menjadi saksi, bagaimana diriku bermalam-malam membaluri sekujur
tubuhnya yang penuh dengan bilur-bilur biru, tapak kekerasan yang keji itu.
Kelak,
seiring usia pernikahan kami, saat Haekal memasuki masa remaja; penganiayaan
dan penyiksaan itu semakin sering dialaminya. Hanya karena anakku berusaha membelaku
dari penganiayaan fisik.
Kekerasan
itu berhenti saat anakku kelas dua SMA, menjadi taekwodoin handal di
sekolahnya. Dalam hal ini, terus terang aku terpaksa mendukungnya penuh, setidaknya
anakku mampu membela dirinya sendiri dari tindak kekerasan bapaknya.
“Gak
usahlah, Nak, sekarang kan musim ulangan. Pergilah sekolah. Ini uang sakumu.
Kalau Mama belum pulang siang nanti, belilah makan siangmu, ya Nak,” kuselipkan
uang tambahan.
Karena
yang telah kumasak sejak subuh khusus untuk makan siang bapaknya dan ibu
mertuaku; bolgang atau sayuran rebus khas Batak, bandeng goreng dan gule
ikan kembung. Sedangkan Haekal tidak suka semuanya itu, biasanya dia lebih
sering memilih lauk berupa ceplok telor dan kerupuk.
“Bener
Mama gak perlu diantar?” dia memandangiku, seakan-akan ingin meyakinkan dirinya
bahwa ibunya baik-baik saja meskipun harus jalan sendiri.
“Insya
Allah, gak apa-apa, doain aja Mama selamat di jalan, ya Nak?”
“Iya atuh
da Ekal mah suka doain Mama… Biar Mama selalu sehat, selamat di
jalan, selamat pas melahirkan. Nah, Ekal sekolah dulu, ya Ma,” celotehnya
seraya mengambil tanganku, kemudian menciumnya dengan sayang.
Aku
membalasnya dengan mengusap kepala dan mencium ubun-ubunnya. Dia pun berlalu
menembus kebun bambu di depan rumah kami. Aku menghela napas dalam-dalam,
merasai aura semangatnya yang merasuki paru-paruku, dan sekujur tubuhku sebagai
suatu kekuatan dahsyat.
Beberapa
jenak kupandangi sosoknya yang pendek kekar, acapkali mengingatkanku kepada
ompungnya, yakni amangboru, bapak mertuaku. Bahkan kaki-kakinya yang
agak membengkok pun niscaya diwarisi dari kakeknya itu, Haji Karibun Siregar,
seorang guru terpandang di Nagasaribu, Tapanuli Selatan.
Bapak
mertuaku meninggal lima hari setelah kelahiran Haekal. Sayang sekali, dia tak
sempat melihat perkembangan cucu laki-laki yang sangat dinanti-nantikannya itu.
Seandainya masih ada, entah bagaimana perasaannya bila menyaksikan perlakuan
kasar dan tak adil yang acapkali ditimpakan putranya itu terhadap cucunya.
“Mau ke
mana pula sekarang kamu, Pipiet?” bertanya ibu mertuaku, inangboru.
Dia baru
kembali dari rumah abang ipar untuk menagih sewa rumah-rumah petak milik putra
sulungnya itu. Letaknya tak berapa jauh dari rumah kami, tapi bila ditempuh
dengan berjalan kaki lumayan juga lelahnya. Biasanya kami memilih naik angkot.
Ajaibnya, ibu mertuaku yang sudah sepuh, 70-an ini, lebih suka berjalan kaki
pulang-pergi dari rumah kami ke rumah anak sulungnya yang sedang tugas di
Jerman itu.
“Mau ke
rumah sakit, Bou,” belum selesai kalimatku sudah dipintas dengan nada
melecehkan dan sinis.
“Bah!
Kalau si Pipiet itu selalu ke dokter terus, ya? Kulihat tak ada sakitnya itu!”
Aku tak
menyahutinya. Percuma kalau kujelaskan secara rinci kondisiku saat kehamilan
begini. Berulang kali, entah, tak terhitung lagi, tampaknya dia tetaplah tidak
mengerti. Atau mungkin memang berlagak tak paham dengan kondisi kesehatanku,
entahlah!
“Jadi
nanti kami kelaparan, ya?” serunya saat aku sudah siap berangkat.
“Aku sudah
masak, Bou. Semuanya sudah disiapkan di atas meja makan.”
Dia
bergerak menuju ruang tengah, membuka tudung saji, mencermati hasil masakanku;
membaui aromanya, memelototi bandeng goreng. Samar-samar dia masih terus
menyumpah serapahi diriku, meskipun bayanganku sudah lenyap dari hadapannya.
Aku tidak
pernah habis pikir, bagaimana ibu mertuaku begitu sangat antipati terhadap
diriku. Acapkali kebenciannya seolah-olah tak tertahankan lagi, diluapkan
begitu tanpa tedeng aling-aling, tanpa pernah menenggang rasa sedikit pun.
Segala yang kulakukan di matanya tak ada yang benar. Bahkan meskipun tidak
bersalah (menurut akal sehatku) tetap saja dia mencelaku, dan melecehkanku.
Kini aku mengetahui bahwa sebagian besar keburukan sifat suami diwarisi dari
ibunya.
Hari itu kuawali perjalanan ke Jakarta dengan membaca
basmalah, dan tekad membaja sebagai kelanjutan juang demi mempertahankan bayi
yang tengah kukandung. Ini masa-masa tersulit, terkait dengan musim jilbab
beracun, isu yang dihembuskan oleh pihak yang membenci Islam. Sementara aku
belum lama memutuskan untuk menutup aurat dengan busana muslimah, gamis dan
jilbab.
“Mending
dibuka saja jilbabnya, Bu,” cetus seorang penumpang di angkot menuju terminal
Depok.
“Kenapa?”
“Kemarin
di Grogol ada ibu-ibu dihajar massa ,
gara-gara dituding meracuni makanan di warung…”
“Iya, Bu,
mana lagi hamil, jalan sendiri ya?” tambah penumpang lain, menatapku dengan
iba.
Aku
terdiam. Kurasa tak perlu dikomentari, sementara mereka terus saja membincang
isu jilbab beracun dengan sangat antusias dan bersemangat. Aku menyimak dan
mencermatinya, maka dalam hitungan menit telah kutemukan satu kesan yang sangat
tak nyaman. Intinya mereka mempercayai ada golongan Islam ekstrim yang hendak
mengacau di Republik ini.
Membawa
perasaan tak nyaman itu pula langkahku tetap menuju RSCM. Aku mulai merasai
aura permusuhan dari orang-orang di sekitarku. Tatapan curiga, sinis dan
ketakutan tersirat di mata mereka begitu berpapasan, atau berdekatan dengan
diriku. Kujalani semua pemeriksaan, tes darah, periksa dokter, nebus obat dan
permohonan darah untuk ditransfusi esok harinya dalam perasaan was-was.
“Bulan
depan kita jadwalkan caesar, ya Bu,”
berkata dokter Laila di poliklinik kandungan.
Aku hanya
mengangguk, pikiranku langsung dijejali berbagai kemungkinan yang harus
kutempuh. Sejauh itu nyaris tak ada bayangannya, sosok yang telah membuat
diriku pontang-panting dengan kehamilan ini, termasuk di dalam rancangan
mempertahankan bayiku. Aku merasa harus merencanakan dan memutuskan semuanya ini
tanpa bergantung kepadanya!
Membawa
beban pikiran itulah aku pulang dan menemukan anakku menangis terisak-isak di
kebun bambu.
“Apa yang
terjadi, Nak?” Kulihat matanya sembab dan menyimpan ketakutan.
Pikiranku
langsung mengarah kepada ayahnya, apakah dia pun berani menyiksanya manakala
ibu kandungnya ada di rumah?
“Bukan
Papa,” bantah anakku seperti bisa menebak pikiranku.
Agaknya
kali ini yang bermasalah dengan anakku adalah neneknya. Sesungguhnya anakku
ketakutan untuk berterus-terang, tapi setekah kudesak, dan kuyakinkan kepadanya
bahwa aku harus mengetahui duduk perkaranya agar bisa membelanya. Anakku
akhirnya mau juga berterus terang.
“Mulanya
Ompung nanya, kamu itu sayang sama ibu kamu? Ekal bilang, iyalah… Ompung bilang
lagi, kenapa harus sayang ibu kamu? Ibu kamu itu halak Sunda… Ekal
nanya, emang kenapa kalau orang Sunda? Ompung bilang, halak Sunda itu…
sundaaal!”
Mendengar
perkataannya itu darahku seketika naik ke ubun-ubun. Ini tak bisa dibiarkan
lagi. Masa kepada anak kecil tega-teganya mengatakan hal yang sungguh
melecehkan begitu? Detik itu, aku sama sekali tak terpikir, kemungkinan ibu
mertuaku sedang punya masalah dengan jiwanya. Mungkin saja dia stres akibat
ditinggalkan oleh putra kesayangannya, atau kecewa harus tinggal serumah dengan
kami.
Tidak,
aku tak terpikirkan ke arah sana .
Aku hanya merasa kesal dan kecewa sekali, mengapa anakku diperlakukan
sedemikian tak adil oleh neneknya? Hanya karena aku perempuan Sunda? Sungguhkah
hanya karena perbedaan etnis? Ataukah ini karena kekecewaannya, tak berhasil
menjodohkan putranya dengan perempuan pilihannya di kampung dulu?
“Maaf, Bou…
apa maksudnya mengatakan hal yang tidak-tidak kepada cucu Bou?” sesalku
saat menghampirinya di ruang tamu.
Sementara
dengan lagak acuh tak acuh, dingin dan angkuh yang tak bisa kupahami itu,
jari-jemari tuanya mempermainkan biji tasbihnya. Sedetik kemudian dia
menengadah, menatapku, masih dengan sorot kebencian. Seolah-olah aku telah
merampas seluruh kesenangannya.
“Ha,
kalau kamu itu ya Pipiet… percaya saja sama anak kecil?” sergahnya.
“Aku
percaya anak kecil tak suka berbohong, terutama anakku!” sahutku menahan
kemarahan yang nyaris meledak dalam dadaku.
Tiba-tiba
dialah yang lebih dulu meledakkan kemarahan, dan kebenciannya yang terdalam
terhadap diriku serta anakku. Dia memintaku agar membawa anakku ke hadapannya.
Aku pun mematuhinya, dan tanpa kuduga seketika dia memegang kedua tangan
anakku, lalu diguncang-guncangnya dengan kuat sambil berteriak-teriak lantang
sekali.
“Dengar,
ya Pung! Kalau kamu bersalah, sudah mengadu macam-macam kepada ibu kamu,
aku sumpahi kamu, aku kutuk kamu! Supaya kamu menjadi anak bodoh, anak durhaka,
tidak selamat dunia dan akhirat…”
Allahu
Akbar, aku mengimbanginya dengan menyeru belas kasih kepada Sang Pemegang
Keadilan. Kulihat wajah anakku berubah-ubah, antara ketakutan, kengerian dengan
keterkejutan luar biasa. Tak tahan lagi kuraih badannya, kupeluk dan kubawa dia
cepat-cepat masuk ke kamar.
Di
belakang kami suara lantang itu, sumpah-serapah itu masih jua melolong-lolong.
Entah apa yang diceracaukannya, entah apa pula yang dihantamkannya ke pintu
kamar Apabila aku tak segera menutupnya, niscaya barang itu menghantam kepalaku
dengan telak.
Belakangan
kutahu bahwa dia menghantamkan lampu senter besar yang tidak bisa menyala di
tangannya, sehingga kacanya hancur berkeping-keping, berserakan di lantai,
kemudian terinjak oleh kaki-kakinya sendiri…
Ya Tuhan,
setan apakah yang telah merasuki ibu suamiku itu?
Kurasai
tubuh anakku gemetar dan menggigil dalam pelukanku. Air matanya mulai bercucuran,
air mata ketakutan dan kengerian, kutahu itu pasti!
“Mama,
apa betul nanti Ekal bakal jadi anak bodoh, anak durhaka, gak selamat dunia dan
akhirat?” isaknya terputus-putus.
Aku
memeluknya erat-erat, kuciumi kepalanya, kubasahi rambutnya dengan air mata
ketakberdayaan. Tidak, aku tak boleh memperlihatkan air mata, kecengengan dan
kelemahan di hadapan anakku.
“Tidak,
Nak, Cinta, semuanya itu jangan dimasukkan ke hatimu yang putih bersih,” ujarku
tegas. “Takkan kubiarkan siapapun menyakiti dirimu, Mama pastikan itu!”
“Tapi
Mama, tadi kata Ompung…”
“Duh,
maafkan kelemahan Mama. Dengar, ya Nak,” tukasku sambil menengadahkan wajahnya
dan menghadapkannya ke wajahku.
“Bagaimana,
Mama?”
Tuhanku,
Gusti Allah!
Anak ini
masih menunggu perkataan yang bisa melapangkan hatinya.
“Sumpah
orang yang dipenuhi dengan kebencian gak bakalan mempan, yakinlah itu! Lagipula
kamu sama sekali tak bersalah. Pssst, pssst, sudah ya Nak, jangan khawatirkan
lagi hal ini.”
“Tapi
dada Ekal… ada yang sakit rasanya Ma… di sini nih, Ma, sakiit…” Tangannya
menekan-nekan permukaan dadanya, air matanya terus mengucur deras.
“Oh, Nak…
tabahlah Cinta…lapangkan hatimu, Anakku…”
Kuraih
kembali dia dan kupeluk erat-erat. Dia memang masih menggigil dalam dekapanku.
Demi Tuhan, sebagian diriku serasa ingin melabrak ke ruang tamu sana, tapi, tidak!
Jangan
pernah terpancing kembali. Tadi aku sudah melakukan kesalahan besar,
mematuhinya membawa anakku ke hadapannya. Dan inilah akibatnya, ya Tuhan,
ampuni hamba, tolonglah sembuhkan luka hati, luka jiwa anakku, jeritku
mengambah jomantara.
“Ada
obatnya, Nak… Kita ambil wudhu dan sholat, ayook!” akhirnya aku berkata.
Dia
mengangguk dan mematuhiku. Tubuhnya yang imut-imut sempoyongan menuju kamar
mandi. Tak berapa lama kemudian kami berdua sudah larut dalam limpahan kasih
sayang Ilahi Rob. Ya, hanya kepada Sang Penggenggam kami menyerahkan segalanya.
Kutanamkan kepada anakku bahwa apabila kita lurus di jalan kebenaran, niscaya
Tuhan akan selalu menerangi langkah kita.
@@@
Ini kisah nyata ya Bun...sedih bacanya
BalasHapusPosting Komentar