Lawan Rezim Zalim!





Suara Lantang Lansia
Pipiet Senja

          Pertama kali memutuskan untuk ikut aksi pada usia 60-an begini, yaitu saat memenuhi ajakan sahabatku, Ustad Alfian Tanjung. Aku bergabung dengan grup melalui WA, Barisan Ganyang PKI.
Diam-diam tentu saja dari pengetahuan anak cucu. Kalau bilang-bilang, dipastikan tidak akan diizinkan. Makum, baru keluar dari perawatan ICCU.
Alhasil, ganti baju dengan busana serba putih di jalanan. Biasanya setiap aksi mensyaratkan desscode tertentu.
Dari rumah memang sendirian, tetapi di perjalanan banyak berjumpa peserta aksi. Di kereta pun sudah banyak jamaah yang punya tujuan sama. Aksi Ganyang Komunis, 3 April 2016.
Kebetulan di kereta jumpa anak-anak Taruna Muslim dari Bogor, binaan Ustad Alfian Tanjung. Kami bergerak jalan kaki dari Masjid Istiqlal menuju Istana Negara.
“Foto-foto dulu, ya Manini,” pinta anak-anak cantik berbusana Muslimah serba putih, jilbab merah.
Manini, begitulah gelarku di jagat literasi dan kalangan aktivis perjuangan.
Melihat dan merasakan sendiri bagaimana aura, ghirah perjuangan peserta aksi, tak urung aku terperangah hebat. Apalagi saat menyadari ternyata pesertanya bukan sekadar rombongan melainkan ribuan. Bergetar hebat sekujur tubuh ringkih ini begitu mendengar gema takbir dikumandangkan secara terus-menerus.
“Takbiiiiir!”
“Allahu Akbaaar! Allahu Akbaaar!”
“Aksi bela Islam, aksi bela, aksi bela Islam…. Allah Allahu Akbar!”
Sepanjang jalan kaki, aku bersama rombongan Taruna Muslim tidak jauh dari mobil komando. Tampaklah Habib Rizieq Shihab dan para Habaib. Untuk pertama kalinya aku melihat langsung sosok Ulama Besar Indonesia. Pertama kalinya pula mendengar langsung seruan-seruannya, pencerahannya, doanya dan larik-larik lagu mars perjuangan khas FPI.
“Pak Poliisi, Pak Poisi, bantu kita! Lawan PKI! Ganyang PKI!” demikian dilagukan selang-seling dengan teriakan lantang Habib, tentang bahaya laten komunis. Bahwa PKI gaya baru sudah bangkit. Mereka ingin menghancurkan NKRI, kembali membantai umat Islam!
Kuperhatikan saat itu para polisi yang diturunkan masihlah muda-muda. Mereka melambaikan tangan, tersenyum ramah, menyapa santun. Demikianlah aksi ummat Islam sebelum Pilkada DKI, sebelum terjadi penistaan agama. Yakinlah, Polisi masih bersama ummat!
“Teteh, kami akan masuk ke Istana. Kalau mau Orasi, nanti Iqbal yang atur,” kata Ustad Alfian Tanjung.
Ia mengarahkan putranya, Iqbal, sebelum bergabung dengan perwakilan yang diizinkan masuk ke Istana Negara. Kabarnya tidak ada Presiden, hanya diterima oleh Wapres Jusuf Kalla.
Aku pun patuh antri untuk Orasi. Usai Kivlan Zein, ganti seorang Habib, barulah giliranku. Tak terpikirkan sedikit pun jika kita melakukan Orasi, suatu saat akan menjadi target. Maka, santai dan tenang saja aku teriak-teriak lantang. Ganyang PKI!
Itulah Orasi pertama yang pernah kulakukan di atas mobil komando, milik FPI pula, masya Allah. Kalau teringat lagi saat-saat itu serasa berdetak kencang jantungku yang sudah error ini.
Ternyata ada yang lebih tua lagi umurnya dariku, yaitu; Yeni Biki, kakaknya Amir Biki yang ditembak mati kasus Tanjung Priok di bawah omando LB Moerdani. Dia lebih lantang, lebih semangat tentunya dan sama sekali tanpa teks. Masya Allah, mujahidah sepuh dari Tanjung Priok, dahsyat!
Sejak aksi pertama itulah aku jadi sering diundang oleh berbagai komunitas perjuangan. Bersama WNKRI teiak-teriak lantang; Suara Rakyat Adalah Kita, ngahok, ngahok, preeet.
Bersama Pinky Lady, ibu-ibu dan anak-anak korban reklamasi, aku pun Orasi; Keadialan Untuk Korban Reklamasi; Surat Berdarah Untuk Presiden. Lokasinya di berbagai tempat; depan Istana Negara, Gedung KPK, Gedung MPR/DPR, Tugu Tani, Kedubes Myanmar dan Monas.
Aksi 411, bagiku adalah aksi paling seru dan sangat horror karena ditembaki gas airmata dan kembang api oleh Polisi. Terpisah dari rombongan, jalan sendirian di tengah massa konon berjumlah 2 jutaan. Melihat dari kejauhan bagaimana Habib Rizieq, Arifin Ilham, Fadlan Gramatan, Aa Gym dan para Ulama ditembaki kembang api, gas airmata.
Mereka diperlakukan tak ubahnya bagaikan para kriminal, teroris. Polisi sungguh represif, kejam sekali, teriakku geram nian.
Saat itulah sinyal ponsel kembali kudaatkan setelah beberapa jam menghilang. Melalui FB dan Twitter, anak-anakku menyuarakan kecemasan mereka terhadap si Manini, ibu mereka yang dianggap ringkih, penyakitan sering keluar masuk ICCU.
Anakku sulung menyarankan agar emaknya ini singgah di Mabes Kostrad. Aku memang sudah di Mabes sejak beberapa menit yang lalu. Menunggu situasinya aman. Seorang pajurit muda yang baik hati bahkan menyuguhiku minuman hangat dan cemlan.
“Mama jangan cari-cari matilah, plliiiis,” pinta anakku perempuan.
“Mama cukup berjuang melalui tulisan saja, ya Ma, pliiis,” abangnya ikut pula memohon-mohon.
“Mama lebh memilih mati di jalanan saat aksi melawan rezim zalim daripada mati di ICCU!” jawabanku membuat mereka geleng kepala, tak bisa berbuat apa-apa selain berdoa.
“Aksi 212 yang paling menggetarkan, Anakku,” tulisku di buku harian.
Betapa banyak kejadian yang sarat dengan keajaiban. Sehingga aku memutuskan untuk mengmpulkan kisah nyata dari peserta 212. Begitu usai membukukan dan mencetaknya dengan donasi dari Hamba Allah yang tak ingin disebut identitasnya, terbersit pula untuk bisa mengangkatnya ke layar lebar.
Sejak Maret 2017 bersama Tarmizi Abka, sutradara, berjuang untuk mewujudkan mimpi film spirit 212; Cahaya di Langit Jakarta. Entah kapan bisa menayangkannya di XXI. Bahkan untuk mendapatkan produsernya pun masih terombang-ambng dalam perjuangan tim produksi, bersama Basyirah dan Buni Yan, dkk. Aku yakin dan tetap optimis!
“Berhati-hatilah postingan, Mama,” anakku yang Master IT mengingatkan.
Beberapa kali akun atas namaku di-hacker, tidak bisa diakses bukan karena lupa password-nya. Seperti tudingan seorang TKI, bahwa si Manini banyak cucu, sudah pikun, sudah bau tanah kubur. Sotoy, sok jadi pahlawan. Bikin muak sekali!
Tidak mengapa, silakan saja kalian menghujatku, Emang Gw Pikirin?!
“Perjuangan belum usai, Anakku,” tulisku pula di buku harian.
Aku cermati melalui media sosial, terkesan sekali anak-anak muda bersikap tak peduli. Ke mana coba mahasiswa, apa hanya suka selfiean di Istana? Alhasil, emak-emak dan nenek-nenek yang semakin gencar berjuang. Baik sebagai BEMI, Barisan Emak Muslim Indonesia perang di media sosial, maupun ikut bergerak di setiap ada ajakan Ulama untuk aksi.




Setiap kali hendak pergi aksi, aku tidak lupa menuliskan semacam wasiat di Deskop laptiop. Atau memberi pesan terutama minta doa kepada Zein dan Zia, dua cucu yang sudah besar.
“Demo melulu, Manini, mau sampa kapan?” tanya Zein, cucuku melalui WA. Kini kami berjauhan, tetapi  masih bisa berkomunikasi, jika ibunya mengizinkan.
Aku belum meresspon beberapa saat, sibuk persiapan menuju aksi 299. Perbekalan hanya alakadarnya, dua batang cokelat almond, termos min teh hangat, obat-obatan dan Oxycam. Kutahu makanan dan minman senantiasa berlimpah dan digratiskan di setiap aksi.
“Pasti ada yang mendanai!” tuduh seseorang di beranda FB.
“Ya, tentu saja ada dana yang senantiasa mengalir. Dari Sang Maha Pencipta melalui tangan-tangan ikhlas,” tulisku di kolom komentar.
“Manini, aloooow! Belum jawab, weeei!” Zein mengingatkanku.
“Bentaaar!” sahutku.
“Jangan-jangan Manini kecanduan demo?” komentar anak SD kelas enam itu membuatku tertawa geli.
“Kecanduan, halaaah!”
“Jawab dong, Manini, pliiiis!” tuntut Zein lagi.
“Sampai detak jantung berhenti, Zein,” jawab aku. “Ayo, takbiiiir!”
“Allahu Akbar!”
“Merdeka, Zein!” (Jakarta, 29 September 2017)







@@@



0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama