Ketika Media Memelintir Sastra Islami


Ilustrasi: Jejak Jejak Mas Gagah, contoh Sastra Islami bisa dipesan via 085669185619


Demi Kasih Pada-Mu Versus Gelinjang Cinta Dara-Dara
Novel yang kuberi judul berbau agamis adalah Demi Kasih Pada-Mu. Inilah novel pertama yang kutulis selama idek liher, mondok-moek, di ponpes kawasan Cililin, 1975. Tema remaja, setingnya pondok pesantren, pesisian Jawa Barat. Mengisahkan tentang pergulatan batin seorang gadis yang divonis dokter, umurnya tidak lama lagi karena mengidap kanker darah.
Sebuah benchmarking yang menengarai karya “Pipiet Senja banget” melibatkan; pengalaman batin, pergulatan jiwa sebagai cerminan diriku sendiri. Acapkali aku menulisnya sambil bercucuran air mata, geram, kesal dan nyaris putus asa. Ternyata kemudian hal itu menjadi semacam terapi jiwa. Meskipun pengetahuan ini, kesadaran ini, baru terasa manfaat dan maknanya bagi diriku, belasan tahun kemudian.
Awalnya Demi Kasih Pada-Mu kuserahkan ke redaksi majalah Kartini via Titie Said. Entah bagaimana urusannya, beberapa bulan kemudian tahu-tahu muncul di majalah Variasi yang dikuasai oleh Abdullah Harahap dan Motinggo Boesye. Mungkin dengan pertimbangan tema remajanya, sementara majalah Kartini pangsa pasar wanita dewasa.
Entah dengan pertimbangan apa pula, sang redaktur kemudian mengganti judulnya yang Islami itu dengan Gelinjang Cinta Dara-Dara. Ilustrasinya pun tak kalah seram dan berbau ngesek polesan Delsy Syamsunar. Nama ini memang lagi naik daun kala itu sebagai illustrator duapertiga ke bawah alias seputar dada, paha dan sekitarnya.
Tentu saja novel karyaku yang dijadikan cerita bersambung itu sempat membuat gerah kakak-kakak di pondok serta para guru spiritualku. Padahal isinya sungguh jauh panggang dari api, tak ada urusan ngesek-ngesek. Sumpah!
“Kok jadi begini, ya Pak,” ujarku miris sekaligus geram bukan alang kepalang, mendiskusikannya dengan bapakku. “Padahal niat Teteh nulis novel itu, dengan nuansa agamisnya, Pak. Kalau penulis noni mudah-mudah saja nyelipin nuansa gerejaninya, kenapa kita susah, ya Pak? Ini malah jadi fitnah.” Air mataku tak urung berderaian, ada luka menganga dan begitu menghujam dadaku.
Sebab tak tahan pula dengan serbuan-serbuan pertanyaan, aku memutuskan pulang ke rumah orang tua di Cimahi. Bagaimana tidak, setiap aku jalan serasa ada banyak mata (mungkin hanya perasaanku belaka) di sekitarku yang menggugat, menghujat.
“Ngapain sih kamu ikutan nulis yang ngesek-ngesek begitu?”
“Di mana nuranimu?”
“Percuma atuh ngaji di sini!”
Hadeuh, pendeknya malunya gak ketulungan!
“Bukan salahmu, Teteh. Kamu itu hanya dipelintir mereka,” hibur bapakku seperti biasa selalu menenangkan dengan kata-kata bijaknya.
“Dipelintir, bagaimana itu maksudnya, Pak?” tanyaku tak paham.
“Ya, karyamu itu dimanfaatkan, dipelintir demi kepentingan mereka. Media itu kan majalah hiburan yang mengedepankan hal-hal beraroma pornografi. Begitu ada naskah macam karyamu itu, ya sudah. Karya bernuansa agamis saja bisa masuk ke media mereka. Kan hebat tuh, nilai plus kredibilitas media itu, bla, bla…”
Paham atau tak paham dengan perkataan bapakku, toh aku bisa berbuat apa? Lagi pula, mau tak mau aku harus memejamkan mata. Karena tak mampu mengelak dari kenyataan bahwa aku sangat membutuhkan honorariumnya. Bahkan dari cerbung itu aku bisa membeli si Denok 2, obat-obatan, ditransfusi sekaligus berbagi dengan adik-adik dan orang tua. 
Demikian nasibnya novel agamis pertama yang pernah kutulis, ketika aku sendiri belum paham sepenuhnya makna fiksi Islami itu. Sejatinya sastra Islami harus seperti apa? Yang bisa kuperbuat di antara kecemerlangan para penulis noni dengan penulis muslim tapi doyan karya ngesek, paling sebatas memagari karya-karyaku. Supaya aku tidak terjebak menjadi latahi, melahirkan karya bernuansakan pornografi dan vulgar.
Seingatku hanya beberapa gelintir penulis muslim, ini di kalangan penulis populer, masa itu yang bisa bertahan dengan fiksi Islami. Tentu saja kala itu istilahnya bukan demikian.
Bisa dicatat dengan jari antara lain di kalangan penulis perempuan; Ike Soepomo dan mendiang Yatty M Wiharja. Di dalam karya mereka sering diselipkan tentang tokohnya yang sedang melakukan sholat, membingkai kisah dengan nilai-nilai ketimuran.
Meskipun ditulis secara samar-samar, toh masih terasa bahwa keduanya memang memiliki visi dan misi yang jelas; menentang vulgar dan pornografi.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama