Lelaki Penantang Langit
Karya: Ayu Wulansari
Tegak berdiri menantang langit yang membiru.
Tangannya berkacak pinggang, kepala tengadah dengan mata terpejam. Dia selalu
begitu, berdiri di bukit kecil samping rumahku, dari dulu tak pernah berubah.
Dari semenjak aku kecil sampai kini aku beranjak dewasa.
Pemandangan seperti itu sudah tak menarik
perhatianku. Sudah menjadi keseharian lelaki yang kulitnya semakin hitam legam
berlaku gila. Ibuku bilang pekerjaan orang gila itu menantang langit.
Namun anehnya lelaki itu kini tidak berkacak
pinggang, melainkan tepekur menangis. Aku heran. Lebih heran lagi ketika
kutanya perihal ini kepada ibuku, "Bu, kasihan sekali orang itu, ya?
Mungkin sekarang dia sadar bahwa cintanya tak bisa dimiliki."
Sontak ibuku bicara dengan nada tinggi.
"Sudah jangan pedulikan dia. Sekuat apapun dia menantang langit, langit
atau siapapun tak akan mengerti."
Aku terdiam. Memoriku berputar kembali ke
masa kecilku. Kala itu aku terheran-heran melihat tingkah seorang lelaki di
bukit samping rumahku. Saat kubertanya pada ibuku, maka beliau pun bercerita.
"Akhmad namanya. Pemuda tetangga desa
yang soleh. Dahulu dia mencintai seorang gadis, namun keluarga sang gadis tak
merestui. Hingga cinta mereka terpaksa terpisah."
Aku kecil mengangguk seolah maklum. Saat itu
pula muncul iba di relung hatiku akan kesedihan lelaki itu.
Dalam benakku terpatri, "Dia tidak gila.
Pak Akhmad bukan orang gila."
Senja tercipta di ufuk barat. Warna keemasan
mentari mulai berubah kuning tembaga. Kelelawar satu per satu keluar dari
sarangnya untuk mencari makan. Aku melihatnya. Dari kusen jendela kamarku yang
catnya mulai mengelupas. Aku menangkapnya. Sosok perempuan berjalan
tergesa-gesa turun dari bukit samping rumahku. Dia adalah ibuku.
Pertanyaan demi pertanyaan berkecamuk di
kepalaku, "Sedang apa Ibu di bukit itu?"
Aku semakin tersentak ketika kutangkap lagi
bayangan di belakang Ibu. Berjalan tergesa-gesa mencoba menjajari langkah Ibu.
Dialah Pak Akhmad, lelaki penantang langit.
"Oh, Tuhan. Apa yang akan dilakukan Pak
Akhmad pada ibuku?" Tak terasa aku memekik lirih.
Kutangkap dengan jelas dua bayangan. Di bukit
samping rumahku. Dengan senja yang telah berganti malam. Mereka adalah Pak
Akhmad dan ibuku.
Seketika itu pula aku tak lagi percaya, hanya
berubah semakin yakin.
"Pak Akhmad tidak gila. Lelaki penantang
langit itu orang waras," gumamku.
"Dia mati..." ucap Ibuku.
Lelaki penantang langit itu gantung
diri."
Aku tersentak. Mataku membelalak tak percaya.
"Bagaimana mungkin itu bisa terjadi? Beberapa waktu lalu aku masih berbicara dengannya."
Kini ibuku yang bergantian menatapku tajam.
Dari sorot matanya terpancar tanya yang meluap-luap. Aku takut. Aku menunduk.
"Maafkan aku, Bu. Aku melanggar perintah
Ibu," bisikku.
Masih
teringat jelas. Saat usiaku menginjak remaja. Di
kala masa puber itu aku berniat menemuinya. Lelaki penantang langit. Namun ibu
mencegahku.
"Jangan sekali-kali kau menemui orang
gila itu." Pesan ibu. Yang sampai saat ini masih terngiang di telingaku.
Namun beberapa waktu lalu terpaksa kulanggar.
"Dia tidak gila, Bu. Pak Akhmad orang waras."
Ibuku terdiam kaku. Kerut tanda usia beliau
sudah tak muda lagi makin nampak jelas di parut wajahnya.
"Dia bilang aku mirip sekali dengan
Ayah," ucapku takut-takut.
Ibuku tersenyum sinis.
"Lagipula..."
"Lagipula apa?" Nada tanya yang
keluar masih beraroma tak suka.
“Aku melihatnya. Di kala senja. Ibu dan Pak
Akhmad berbincang di sana. Di bukit itu." Ibu Membisu.
Bumi seakan terbelah ketika tak sengaja
kudengar perbincangan tetangga. Di antara hiruk pikuk pasar. Beraneka aroma
terbaur di sana.
"Sudah barang tentu Halimah senang akan
kematian Akhmad," ucap seorang ibu-ibu pedagang kelontong.
"Dia pasti tertawa bahagia dendamnya
terbalaskan." Ibu pembeli yang umurnya agak sedikit muda menimpali.
Aku terdiam menajamkan telinga. Melawan
berbagai macam suara yang tercipta.
Tidak, ibuku tak seperti itu. Perbincangan tetangga itu pasti bohong.
"Tapi kasihan juga ya, Halimah.
Bagaimanapun juga diperkosa itu pasti meninggalkan trauma." Lagi Ibu-ibu
pedagang kelontong berujar.
"Untung saja dia tidak gila seperti
Akhmad," Ibu pembeli menimpali.
Bohong. Semua
yang kudengar ini pasti bohong.
Lantas aku bergegas pergi. Lantas begitu saja
di sudut mata ini basah. Lantas begitu saja aku pasrah.
"Aku tak percaya. Aku tak mau
percaya," teriakku sambil berlari.
"Mungkin itu yang dinamakan cinta
abadi," komentar Nenek. Saat aku menanyakan kematian Pak Akhmad lelaki penantang
langit.
"Dia akhirnya bisa bersatu dengan orang
yang dicintainya," lanjut Nenek.
Aku masih terdiam tak menyangkal. Di pikiranku masih terbesit tanya tak terucap.
"Salahku dulu tak merestui hubungan
mereka." Nenek berucap lagi. Ada sendu di matanya. Ada penyesalan tersirat
di antaranya.
"Mereka bilang ibu dendam pada Pak
Akhmad," aku berucap takut-takut.
"Orang-orang itu bilang dulu ibu
diperkosa Pak Akhmad."
Mata Nenek menerawang jauh. "Orang-orang
itu tak mengerti."
Di pikiranku semakin timbul tanya yang
semakin memuncak.
"Orang-orang itu tak bisa mengenali
Halimah, Ibumu."
Wanita itu berdiri berkacak pinggang.
Kepalanya tengadah dengan mata terpejam. Dia seperti Pak Akhmad menantang
langit. Di bukit yang sama di samping rumahku.
"Senja sudah hampir tiada, Bu. Mari kita
pulang," ucapku pada wanita itu. Yang tak lain adalah ibuku.
Ia diam tak bergeming.
"Berapa umurmu sekarang, Nak?"
Hampir saja aku tertawa. Tak mungkin Ibu bisa lupa sudah berapa lama
membesarkan aku anaknya.
"Dua puluh tujuh tahun, Bu." Aku
menjawab juga. Aku sedang ingin berdamai dengan keadaan kali ini.
"Sudah cukup dewasa untuk tahu hal yang
sebenarnya." Kemudian ibuku beringsut duduk bersila di rerumputan dan aku
mengikutinya.
"Kau harus tahu satu hal, Nak. Halimah
adalah kakak kembarku."
Aku kaku. Lidahku kelu. Aku tak bisa mencerna
kata-kata yang Ibu ucapkan padaku.
"Seperti yang pernah kuceritakan padamu,
Akhmad dan Halimah adalah sepasang kekasih. Nenek tak merestui hubungan
mereka."
Aku mencoba menerima kejadian yang ada. Aku
mencoba tegar mengetahui kenyataan yang terjadi.
Namaku Hidayah, Nak."
"Lantas kata mereka? Tentang Halimah
yang diperkosa? Tentang dendamnya pada penantang langit?" kejarku.
Aku sudah tak sabar ingin mengetahui lebih
lagi.
"Itu hanya alasan untuk menutupi aib.
Ibumu, Halimah mengakhiri hidupnya tak lama setelah melahirkanmu. Dan aku
menggantikan posisinya. Mereka hanya tahu, Hidayah yang dikubur di pemakaman
itu. Mereka hanya mengerti Hidayah yang selalu sakit-sakitan itu yang
mati."
Aku tak tahu harus berkata apa lagi. Serasa
semua tanya yang ingin kuungkapkan tenggelam bersama senja.
Tak sengaja aku menemukannya, sebuah album
foto lama. Tak sengaja pula aku membacanya, sebuah tulisan dengan tinta yang
hampir pudar di selembar kertas usang.
Aku mencintaimu lelakiku. Meski kau tak
pernah tahu. Aku menyayangimu lelakiku. Meski cintamu terpaut pada saudara
kembarku. Aku akan tetap mencintaimu lelakiku, seperti engkau begitu mencintai
saudaraku.
Hidayah.
Aku menatap foto usang itu. Mirip tak ada
beda. Kedua orang di foto itu memang sama.
"Maafkan aku, Nak. Telah berbohong
padamu selama ini." Ibuku berkata. Lirih tak terdengar.
"Boleh aku tanya satu hal lagi,
Bu?" Beliau mengangguk. Ibuku menatapku dengan lembut. Tangannya
mengelus-elus kepalaku.
"Apa yang ibu katakan pada Pak Akhmad
waktu senja itu?"
Ibuku menghela napas panjang. Diam sesaat
lantas berujar, "Aku katakan padanya yang sesungguhnya. Aku bercerita
padanya tentang Halimah. Aku ungkapkan padanya bahwa aku adalah Hidayah. Dan kau tahu selanjutnya,
dia memilih mati menyusul ibumu."
Titik
air mata membasahi kulit tua Ibuku. Dan aku menghapusnya. Aku ingin
menghilangkan kesedihannya. Aku ingin membahagiakannya. Dan aku memeluknya. Aku
mendekap ibuku, memberi kekuatan untuk ibuku, yang kutahu namanya; Hidayah. (Taiwan,27.06.12)
@@@
Posting Komentar