Cerpen Nominasi Ke-4 Bilik Sastra Award 2014: Sarah Hafidz, Taiwan


 

Malaikat Kecil di Gerbang Firdaus
Sarah Hafidz

Mataku semakin berkunang. Entah tersebab tangisku sejak kemarin pagi, atau karena terlalu mabuk. Sebulan terakhir iniaku juga merasakan kondisi kesehatan semakin menurun. Batukku pun tak kunjung sembuh. Sering pula kesulitan tidur karena tak nyaman dengan badanku yang basah berkeringat. Terhuyung aku melangkahkan kaki menuju ujung lorong. Sebentar lagi, aku pasti sampai di tempat itu. Membebaskan diri dari bau alkohol yang semakin memuakkan. Ah, seluruh badanku pun penuh aroma minuman haram itu. Haram? Apalah makna kata itu untukku? Setelah kujalani kehidupan yang hitam ini.
Sesampai di pintu belakang, seperti biasa aku duduk di tangga. Tak ada yang indah di sana. Kecuali gang kecil yang sepi. Di sana terjajar beberapa tong sampah. Juga beberapa pot bunga bugenvil yang layu. Aku selalu lupa menyiramnya. Begitupun temanku yang lain. Bunga itu hanya menunggu hujan yang sesekali datang di musim panas ini. Barangkali hingga akhir tahun nanti akan tampak lebih segar, mungkin pula berbunga di musim semi.
Sekilas aku lihat sosok bocah dekil. Tangannya mengais sesuatu dari tong paling ujung. Aku mengucek mata tak yakin. Apakah itu anakku? Ah, tentu saja bukan. Anakku lebih dewasa darinya, tentu lebih rapi, pun bersih. Perlahan kulambaikan tangan. Dan bocah kurus yang tak pernah kulihat sebelumnya itu segera berlari. Mungkin ketakutan, atau jijik dengan aroma alkohol di badanku.
Aih, bukankah tong sampah itu juga lebih tak sedap baunya. Tapi aku menikmatinya. Sesekali, kalimat Alif dalam percakapan kemarin pagi terngiang di pendengaranku.
"Kumohon pulanglah sebentar dampingi Alif, Bu! Embah juga sering sakit-sakitan. Kami semua menunggu Ibu pulang."
"Bukankah ada Ayah pula yang nemenin. Alif harus tahu, Ibu di sini berjuang untuk Alif."
"Iya, Bu. Tapi apa sedikitpun, Ibu tak kangen Alif? kenapa kontrak kerja Ibu kali ini begitu lama?" Pertanyaan itu membuatku pening.
Masih terdengar isakannya yang tertahan. Bayi merah yang kutinggal duabelas tahun lalu sudah berani minta dikhitankan. Dan aku tak bisa mendampinginya. Selama tiga periode kutinggalkan, dan hanya dua kali cuti barang seminggu atau sepuluh hari saja. Rasa sakit hati tersebab mertuaku yang selalu memanas-manasi telingaku.
"Di luar negri enak kan? Gajinya gede. Nanti kamu harus berhasil. Lihat tetangga pada punya rumah tingkat, punya mobil. Kita akan malu kalau nggak bisa seperti mereka."
Suamiku hanya diam. Kulirik Alif yang saat itu berusia hampir tujuh tahun. Dan belum mengenalku sebagai ibunya. Dia selalu melekat di pangkuan ayahnya, sesekali ke pelukan mertuaku. Aku tak bisa berontak. Meski selama kerja di luar negeri uangku kemana? Aku hanya mengelus dada. Demi Alif, anakku.
"Kamu gila, Kinasih?" suamiku terperanjat. Matanya hendak menelanku bulat-bulat. Aku gemetaran. Antara menahan sesak di dada dan tangis yang hampir meruah.
"Ini demi masa depan kita, Mas. Apa Mas kira aku mau selamanya jadi babu? Aku juga capek. Ingin sesegera mungkin menjaga Alif. Sedangkan uang hasil kerjaku habis buat modal Ibu tanpa hasil. Apa Mas mau, selamanya kita berpisah?" Sesenggukan aku mulai berontak.
Suamiku memilih diam. Begitupun aku tak berani bersuara lagi.  Dia imamku yang sangat patuh terhadap ibunya. Dan pewaris lelaki tunggal keluarganya. Hanya sesekali suara isak tangis kami kemudian bersahut. Namun naluriku bersikeras untuk menerima tawaran kerja ilegal sebagai pemetik buah dengan gaji menggiurkan. Tentu aku ingin meraup uang lebih banyak dibandingkan pekerjaan rumah tangga atau merawat lansia. Dan itulah kali terakhir aku bicara dengan suamiku, meminta restunya sebelum meninggalkan rumah. Setelahnya, aku hanya mengirimkan pesan. Atau bicara dengan anakku saja.
Sebenarnya aku tak menyangka bahwa pekerjaan yang ditawarkan oleh Lim, sopir taxi itu adalah menjadi kupu-kupu malam. Dia menjanjikan gaji dua kali lipat. Tidak menyolok layaknya di Gang Doly memang, tapi itulah pekerjaanku. Setiap malam melayani pria-pria hidung belang. Mereka yang sekedar ingin minum-minum atau bahkan mengajakku ke ranjang.
Selama kurang lebih enam tahun ini, aku selalu berpindah-pindah tempat. Dari kota satu ke lainnya. Tapi di bawah naungan Lim, aku selalu terlindungi. Bagaimana pun uang hasil kerja malamku lebih dari cukup untuk mengirimi setiap permintaan mertuaku.
Meski sempoyongan, kupaksakan untuk berdiri dan meninggalkan tangga itu. Dari dalam kuperhatikan bayangan bocah kurus itu mengendap-endap. Di tangan mungilnya ada kumpulan plastik berisi aneka kotak makanan. Astaga! kotak itu yang tadi sore kubuang. Masih kuingat apa yang tersisa di dalamnya. Aku paling benci sushi(1) Karena tak bisa mengkonsumsi seafood(2) mentah yang selalu ada di antaranya. Kucomot sebagian saja, selebihnya aku masukkan tong sampah. Dan sekarang berpindah ke tangan bocah dekil itu. Rupanya, dia masih memilih-milih  apa saja yang bisa dimakan. Dan mungkin waktuku juga untuk kembali ke ruang pengap itu. Bergumul dengan pria-pria yang hendak memberiku uang, harapan ataupun mimpi.
Pagi ini aku tak kan tidur seperti biasanya. Akan kusempatkan sedikit waktuku untuk menyiram bunga bugenvil di gang kecil belakang rumahku, sekaligus tempat kerjaku ini. Kembali aku mengucek mata. Kali ini, sungguh lebih jelas sosok kurus bocah semalam. Tinggi badannya aku perkirakan tak lebih dari empat kaki saja. Berbaju kumal, begitupun rambutnya seperti terlalu lama tidak tercuci bersih. Ada sorot ketakutan saat melihatku. Meski sudah kucoba tersenyum.
”Kamu sudah makan?" klise saja kutanyakan itu agar tak mengganggunya.
"Ini pagi kedua aku mencari makan di sini. Kenapa pagi hari selalu tak ada makanan?" jawaban polosnya seperti menghujam jantungku.
"Tunggu sebentar yah!"
Aku tergopoh lari ke dapur. Kuambil apa saja sisa makanan dalam kulkas, laci. Karena aku dan teman-teman hanya hidup di malam hari dan tidak pernah masak. Aktifitas kami berawal dari sore, hingga menjelang fajar. Pantas saja dia tak mendapatkan sisa makanan di tong sampah sepagi ini. Dia hanya akan mendapat kotak sisa makanan kami pada malam hari. Tentu sebelum mobil sampah mengangkutnya.
"Ini semua masih bersih. Makanlah!" Segera kusodorkan seplastik makanan padanya. Matanya berbinar, tangannya memeriksa apa-apa di dalam plastik dariku.
"Ada coklat...."
Seketika dibuka kotak coklat itu dengan tangan kotornya dan mencomot satu. Dengan penuh gairah segera dimasukkan ke mulutnya. Kemudian mencomot satu lagi.
"A Yi, ini untukmu," disodorkannya coklat itu hampir menyentuh bibirku. Seketika ada trenyuh di hatiku. Apakah Alif akan melakukan hal yang sama suatu hari nanti? Ah, mataku tiba-tiba berkaca. Tangan bocah itu masih tegak hendak menyuapiku coklat.
"Titi saja yang makan. A Yi tidak suka coklat. Makanya semua A Yi kasihkan Titi," tolakku. Dengan segera dia pun melahap coklat yang hampir lumer di jemarinya. Senyum sumringahnya memperlihatkan gusinya yang bengkak. Aku yakin dia jarang menggosok gigi sehingga bakteri merusak gusinya.
"Aku harus segera pulang. Mama sedang menungguku menyuapinya sarapan. Jam segini pasti sudah lapar." Dia pun berlari meninggalkanku yang masih bengong. Masih banyak pertanyaan yang belum sempat kuungkapkan.
"A Yi.., boleh aku main lagi nanti?" Pertanyaan itu membuatku terkesiap. Ternyata dia balik lagi untuk meminta persetujuanku. Dan aku hanya mengangguk. Kemudian dengan cepat dia pun lenyap di balik tembok gang kecil itu.
"Dulu, Mama sangat rajin bekerja. Uangnya selalu dihabiskan Papa untuk berjudi. Tapi sejak sakit, Papa marah dan mengusirnya. Hampir semua yang tahu penyakit aids(5) Mama selalu mengusir. Baru tiga hari ini, kami pindah di kost-an sebelah." Matanya berkaca-kaca. Jantungku berdegup kencang dan semakin ingin mendengar ceritanya.
"Tapi A Yi janji yah, jangan bilang yang lain. Kasihan Mamaku. Aku takut harus pindah lagi. Takut semua orang tahu penyakit Mama." Aku mengangguk, batinku bergemuruh. Bocah sekecil itu harus menanggung beban untuk memperjuangkan kehidupan mamanya? Apakah dia akan mampu? Ah .., mungkin aku terlalu merindukan dan merasa bersalah pada Alif sehingga terharu seperti ini.  Tenggorokanku terasa sangat sakit menahan tangis. Mungkin juga sariawan yang menyebar bebas di area tenggorokanku sejak lama lalu.
"Apakah Mamamu sudah berobat?"
"Mama bilang, sakitnya tak bisa diobati. Lagipula uang Mama hanya cukup untuk membayar rumah kost. Makanya Mama tak ada uang buat kami makan."
Aku masih tak percaya. Pengidap aids tanpa berobat? Bagaimana mungkin kehidupan rakyat Taiwan bisa sepedih itu. Apalagi bocah yang aku perkirakan sepuluh tahunan ini begitu kuatnya. Tanpa jijik mengorek tong sampah bahkan mengkonsumsi sisa makanan apapun yang ditemukannya. Bukankah negeri ini selalu memberi keringanan untuk rakyatnya berobat dengan kartu asuransinya?Atau mamanya sudah tak mau berobat? Dan begitu kejikah ayahnya? Aku tak berhenti berpikir.
"Papamu tak pernah datang?"
"Papa sudah tidak peduli keberadaan kami. Papa bilang, penyakit Mama bisa menular. Papa melarangku ikut Mama. Tapi aku tidak takut. Aku akan melindungi Mama," ucapannya sangat antusias.
"Kamu tak ingin pulang?"
"Aku ingin bersama Mama." Dia menunduk. Tapi wajah polos itu sepertinya tak mengkhawatirkan apapun yang akan terjadi. Sejak saat itu, aku sering menawarkan diri untuk menjenguk mamanya. Tapi bocah itu menolak.
Mama pasti akan marah." 
Aku tak memaksanya untuk ke sana, bahkan sekedar tahu rumah kontraknya. Yang bisa kulakukan hanya menyiapkan jatah makanan lebih dari biasanya. Ada dua nyawa lagi yang kelaparan menunggu uluran tanganku. Kadang, aku merasa seperti bidadari penolong.
Beberapa malam ini, aku merasa makin malas meladeni tamu-tamuku. Aku lebih sering terduduk di tangga seperti biasa. Menunggu bocah yang belum sempat kutanyai namanya itu bicara denganku. Tapi dia tak kunjung datang lagi.
"Kinasih! Lian mencarimu ..." Panggilan itu mengejutkanku.
Claire mengisyaratkan untukku segera datang. Benar saja, lelaki putih bermata sipit pelangganku itu sudah menunggu di kursi paling pojok. Di bawah sinaran lampu yang selalu menyilaukan mata, di sana selalu ada uang yang bisa aku kantongi.
Kepalaku terasa sangat pusing, saat kudengar gedoran pintu besi belakang. Aku gemetaran, gugup dan entah apalagi. Ada rasa takut bahwa itu polisi yang datang, mengetahui keberadaanku yang ilegal di negeri formosa ini. Tapi suara bocah itu sangat kukenal dan membuatku sedikit tenang.
"A Yi .., A Yi ..." Aku segera menuruni tangga, menuju lorong sempit itu.
Saat kubuka pintu, kulihat wajah bocah itu basah oleh airmata. Aku menjadi gugup lagi dan tak tahu harus melakukan apa. Sontak kupeluk tubuhnya yang gemetar, bibirku masih kelu tak bersuara.
"Mama tak mau bicara lagi. Badannya demam tinggi beberapa hari lalu. Sekarang kejang-kejang dan aku takut, A Yi."
Itukah alasan bocah yang kutunggu ini tak datang beberapa hari lalu? Tidak mau bicara? Mungkinkah dia? Tanganku gemetaran menelfon Lim. Aku yakin dia tak buta hati. Berharap dia bisa lakukan sesuatu untuk bocah malang ini.
Aku terduduk lemas. Kabar terakhir dari Lim, membuat badanku panas dingin. Bocah dekil itu kembali ke keluarganya karena mamanya harus diisolasi di rumah sakit khusus pengidap aids. Aku jadi sangat merindukannya. Celotehnya, perjuangannya, semua tak sedikit pun kulupakan.
"A Yi, pasti sangat menyayangi anak A Yi. Kenapa tak diajak saja ke sini biar bisa main sama aku?" tanyanya suatu pagi. Aku hanya tersenyum. Karena tak mungkin aku menjelaskan posisiku di tempat ini.
"Jadi, A Yi harus segera pulang. Biar seperti aku dan Mama, tak pernah berpisah."
Ah, bocah kecil, itulah yang engkau harapkan. Dan faktanya penyakit itu harus memisahkan kalian kan? Percakapan terakhir dengannya seperti sebuah pesan untukku. Apalagi akhir-akhir ini aku semakin sering kelelahan. Setiap sendi di tubuhku terasa sakit. Dan sering pula mendadak demam tinggi. Apakah musibah yang terjadi pada bocah itu berdampak buruk bagiku? Bocah yang kukenal tak lebih dari sebulan saja. Bahkan sampai saat ini pun tak kutahu namanya.
"Kinasih, kamu terlihat sakit. Badanmu berubah kurus sangat drastis. Kamu harus ke dokter!"
"Aku tidak sakit. Beri aku waktu untuk istirahat beberapa hari saja, Lim."
"Tidak. Kamu harus ke dokter. Lihat dirimu! Aku tak mau mengurusi orang sakit. Sekarang ganti baju! Aku antar ke sana."
Aku harus menurut. Karena aku paling jengkel mendengar suara keras lelaki tambun itu. Belum lagi kebiasannya mengunyah sirih dengan baunya yang menyengat. Aku semakin tak tahan dibuatnya.
"Untuk apa mengambil sampel darah, Dok? apa sakitku?" perasaanku mendadak kacau balau.
"Harus menunggu empat hari lagi untuk tahu persis hasil dari lab. Jadi kamu harus sabar." Aku seperti orang linglung. Dokter menyarankanku untuk melakukan tes antibodi. Sejak sore itu, aku rehat total dan dilarang melayani tamu di klub lantai dasar. Sesekali aku turun dan langsung menyusuri lorong. Selalu pintu kecil itu yang menjadi tujuanku. Entah, aku rasakan ada sesuatu yang hilang di sana.
Berhati-hati aku keluar dari kabin pesawat. Kutenteng tas baju yang terasa lebih berat dari badanku. Karena sejak beberapa hari lalu, aku tak selera makan. Kecuali beberapa butir obat ARV yang diberikan dokter Taiwan padaku. Dia berpesan padaku untuk rutin mengkonsumsinya.
"Jumlah CD4 dalam tubuh normal umumnya 700 per µL. Dan kamu memilikinya kurang dari 200 saja. Jadi kamu harus menjalani pengobatan rutin. Kontinyu dengan terapi antivirus di negaramu!"
Sekarang aku merasa lebih sehat dan bahagia. Keputusan akhirku untuk pulang dan setidaknya menghirup udara tanah airku. Tidak! Tentu bukan itu saja. Aku ingin bertemu Alif, juga suamiku untuk meminta maaf. Bagaimana mereka memaafkanku? Sedangkan aku masih tak ingin pulang. Bagaimana jika mertuaku masih memintaku untuk kerja lagi keluar negeri? Sedangkan aku sudah tak mungkin kembali bekerja sejauh itu.  Kuberanikan menekan tombol beberapa angka. Di seberang sana, seperti biasa kudengar suara Alif.
"Benarkah Ibu sudah sampai Jakarta?" Dia sangat terkejut. Aku seperti ingin menghentikan waktu beberapa saat. Karena aku tak tahu harus bicara apa.
"Bu! Besok Alif sama Ayah ke sana. Alamatnya di mana, Bu?"
Aku masih bungkam. Perbincangan kami sangat kaku. Di belakangnya, kudengar suara suamiku kegirangan. Tuhan, hukuman ini sangatlah berat untuk kutanggung. Tapi aku masih berharap permaafan mereka, orang-orang yang kucintai.
Usai sholat subuh dan berdoa, aku rebahan di ranjang. Perasaan berdebar menunggu kedatangan Alif dan suamiku. Mereka berangkat dari stasiun Blitar kemarin sore. Pagi ini, pasti mereka sampai jika tak terjebak macet di ibukota. Ada rasa tak sabar. Ingin pula menyalahkan pemerintah dengan program mobil murahnya. Karena dengan adanya program gila itu, akan semakin memperpadat jalanan ibukota. Kenapa bukan perbaikan sarana transportasi massal? Hatiku semakin berdetak tak karuan.
Kupandangi langit-langit kamar sambil menghitung hari. Sejak virus itu memvonis usiaku, kucoba kuat dengan memulai lagi sholat lima waktuku. Sekian tahun aku bahkan lupa caranya berdoa. Dan semakin kuhitung, hanya kerdipan bintang yang bermain di bola mataku. Meski kupejamkan tetap saja gemerlapan. Aku coba mengingat berapa uang yang sudah aku dapatkan selama lima tahun ini? Berapa lelaki yang mengencaniku, tidur bersamaku? Aku kesulitan mengingat nominalnya.
Rasa mulas membuatku sulit untuk konsentrasi. Tapi aku takut untuk ke dokter lagi. Aku merasa pandangan mereka menghujamku setelah melirik beberapa lembar kertas hasil tes yang aku sodorkan. Aku jadi ingat kisah bocah dekil itu. Pasti mamanya merasa takut, malu, terkucil, sama sepertiku saat ini.
Ah, biar saja aku bermalas-malasan di kamar kontrakku. Dengan bolak-balik ke toilet saja sudah cukup lelah. Perlahan kukatupkan mata.
Ada bayangan bocah dekil itu mengajakku bermain dengannya. Senyum itu masih sama, dengan memamerkan gusinya yang bengkak berdarah. Pun suara gaduh dan tangis beberapa orang, entah sedang menghebohkan apa. Hangat, kurasakan Alif memelukku sangat erat. Aku  sangat bahagia melihat malaikat kecil itu saling memperebutkan tanganku.

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama