Kisah Inspirasi Pipiet Senja: Suatu Hari di Pegadaian



            Keluar dari kamar mandi berbasah-basah, setelah mencuci dua jolang besar, mataku langsung mengedar ke ruang tengah. Celingak-celinguk, iih, serasa maling kesiangan aja nih.
 Orang serumah sudah pergi semuanya. Kedua buah hati ketika aku sibuk membilas tadi, menyeling dulu untuk mereka cium tangan dengan takzim. Sulungku sambil mengeluh, minta tambahan uang saku. Karena ada praktikum sampai sore, nanti kelaparan, katanya. Harus fotokopi buku kuliah, banyak juga bisa seratus ribuan.
“Insya Allah, nanti Mama usahakan, sabar dulu, ya Nak,” kataku hanya bisa menjanjikan.
Eh, bungsuku seperti tak mau kalah. Ikut mengeluh soal sepatu olah raganya yang sudah mangap. Nasibnya sama dengan abangnya, hanya bisa dengar janji dari mulutku. Hmm, janji yang entah kapan bisa terpenuhi.
Dan suami, dia sulit diketahui sudah pergi atau belum dari rumah. Kalau sempat dan dipergoki, dia mengucap salam. Tapi kalau kebetulan aku sibuk di dapur, pergi begitu saja.
Jadi ingat cerita di sinetron-sinetron Indonesia. Suami-istri begitu mesra, harmonis apalagi saat akan berpisah. Istri yang sudah berias fancy, bahkan sampai pakai gaun indah atau kebaya macam mau pergi kondangan saja. Sang istri yang berbahagia itu akan mengantarkan suami sampai teras, membawakan tasnya. Kemudian, celepeet, celepeeet… kecup pipi kiri kanan.
Dasar, cerita di sinetron, sering banyak bunga mimpi daripada realitanya. Tapi aku percaya kok, masih ada juga pasangan normal yang harmonis. Meskipun tak terlalu berlebihan macam di sinetron. Ada saja, tapi inilah takdir yang harus kuusung, iya kan Sang Sutradara?
Hening, kulepas jilbab yang sudah lepek, usai sudah menjemur pakaian. Kulirik jam di dinding di ruang tamu. Pukul tujuh lewat dikit, gumamku. Beberapa jenak kuamati jam dinding yang telah berumur lebih 20 tahun itu. Kado pernikahan dari seorang sohib, kuingat lagi itu. Mereknya mahal, terbukti awet dan masih mengkilat karena suka kurawat baik-baik.
Baiklah, bagaimana kalau jam dinding ini saja, ya? Kira-kira berapa harganya kalau digadaikan? Ah, tapi ini bisa bikin heboh orang serumah!
Lesu kutinggalkan ruang tengah. Mungkin shalat dhuha dulu, biar otak tak terlalu suntuk. Semoga Allah membukakan pintu rezeki-Nya untuk kami, pikirku sambil masuk ke kamar.
Desakan kebutuhan sehari-hari rasanya semakin mburudul. Belakangan terutama untuk biaya kuliah sulungku dan beli buku-bukunya yang setebal-tebal dua-tiga kali Al-Quran itu. Bahkan bungsuku yang kelas dua SMP, harus beli buku per paket yang harganya ratusan ribu. Anehnya sistem kurikulum pendidikan di Indonesia. Ganti Menteri, ganti kebijaksanaan, ganti sistem. Intinya bagi orang tua tetap saja sami mawon; biaya pendidikan kian melangit!
Sulungku semester lima, ongkosnya per hari sepuluh ribu, maklum dikejar dari Depok ke Bogor. Kadang pukul lima subuh sudah berangkat, megejar kereta pertama karena kuliahnya dimulai pukul tujuh. Dengan abodemen tiket KRL, sepuluh ribu itu sering membuatnya kelaparan.
“Makananku kayak Abang Becak lho, Ma,” katanya ketawa kecil. ”Nasi ditambah kuah sayur dan sepotong tempe. Seribu tuh!”  Sering hatiku miris, tak tega makan lebih dulu sebelum mereka pulang, dan kupandangi wajah keduanya yang baru sabililah.
Dan belanja sehari-hari yang meskipun lauknya alakadarnya, tetap saja lebih dari limabelas ribu karena harus beli beras juga. Yang parah kalau sudah saatnya ditransfusi, ya Allah! Gaji pegawai negeri golongan tiga, ditambah honorariumku sebagai penulis. Ah, tetap saja hidup morat-marit. Ampuni aku, ya Robb, bukannya tak menerima situasi hanya…
Sudah seminggu tak sepeser pun uang di tanganku. Belanja sehari-hari terpaksa menebalkan muka, utang ke warung Bude Nik. Mujurlah, aku memiliki tetangga tukang warung yang baik hati begitu. Nanti begitu sudah ada uang cepat kulunasi. Yap, siapa lagi yang kepingin punya utang? Terpaksa karena butuh, meskipun muka entah harus disembunyikan di mana…
Usai shalat dhuha pikiran agak terang. Setidaknya sudah ada ide. Sambil melipat mukena, mataku langsung mencari-cari si Denok. Nah, ini dia. Kuangkat mesin ketik portable merek Brother dari tempat istirahatnya di sudut kamar. Sekarang aku sudah mengetik dengan komputer pentium dua. Uang bea-siswa sulungku itu bukannya dipakai keperluan kuliah, malah dibelikan komputer bekas. Saking ingin meringankan beban ibunya ‘kali, ya?
“Duuuh, sayangku, Denok,” gumamku sambil membersihkan penutupnya yang penuh debu. Mesinnya masih mulus, tapi ada beberapa huruf yang tak jelas. Huruf a mirip o, dan d kadang mirip g juga. Semuanya suka bikin salah kaprah. Misalnya kata ‘sayang’ tampak seperti ‘soyong’. Ingin kutulis ‘garing’ kok malah mirip ‘darino”. Setidaknya dipahami begitu oleh Bung Daktur, hehe…
Akhirnya ada banyak redaksi yang sempat komplain, gara-gara tulisanku kurang dipahami. Kaciaaan deh… daku!
“Mohon keikhlasanmu, Denok. Kamu akan dititipkan dulu di pegadaian!”

Kutinggalkan rumah sambil menjinjing si Denok dan menggendong sekarung koran bekas. Mampir dulu di warung Bude Nik. Korannya lebih dari limabelas kilo. Aku hanya minta dua ribu saja, sisanya buat sambelan, sayur asem, ditambah ikan teri nasi. Belanjaannya nanti saja diambil kalau pulang.
Matur nuwun, nggih, Bude…”
“Oh, iya, nggih Bu Lies, sama-sama,” sahut wanita Solo itu santun sekali.
Tiba di kantor pegadaian tampak sudah banyak orang. Barang-arang yang akan digadaikan pun sudah bertumpuk di depan pintu. Masih terkunci rapat dari dalam, terlambat dibuka agaknya.
Sekilas kuperhatikan barang-barang yang antri itu. Mulai dari barang elektonik seperti televisi, video, magicjar, mixer, blender sampai sepeda motor. Nah lihat, sudah mburudul lagi yang baru datang. Ada yang menggendong buntalan sampai terbungkuk-bungkuk. Mungkin isinya kain-kain, seprai entahlah.
Bahkan seorang lagi sambil menderek sedan!
“Kebanjiran! Daripada rusak terendam banjir mending diderek ke sini, gadaikan sajalah!” kata wanita muda, terengah-engah. Pakaiannya jauh dari bagus. Hanya daster murah, sendal jepit dan syal kembang-kembang mengikat rambutnya yang pendek kriting.
Tanpa ada yang meminta, dia langsung saja celoteh pengalamannya terendam banjir di perumahan Griya Lembah. Kejadian terparah tiga hari yang lalu. Pukul dua dinihari tiba-tiba saja air bah menyerbu. Anaknya yang lima orang sudah diungsikan ke rumah famili di Bogor. Sampai hari itu mereka belum berkumpul kembali.
“Huuh… baru sekarang mengalami banjir besar model begini!” katanya mengakhiri keluh-kesahnya sambil njemprak di teras begitu saja.
“Banjir kiriman dari Bogor!” ada yang nyeletuk dari belakangku.
“Ini kan gara-gara masyarakat kita juga yang malas bersih-bersih, tak peduli lingkungan. Banyak yang membangun di bantaran sungai, bikin rumah hunian liar. Tentu saja semua itu menghalangi arus air!”
“Rakyat yang kebanjiran, para petinggi negeri sibuk saling menyalahkan. Kata Gubernur, jangan salahkan pihaknya. Karena merasa sudah cukup mengingatkan warga. Agar selalu memelihara kebersihan dan melestarikan lingkungan…”
“Alaaah! Mereka cuma banyak omong, bikin seminar ini-itu soal banjir. Rakyat mah nggak peduli macam-macam. Bantuannya saja, bantuannya man-naaa?” Mahasiswa ‘kali, lihat tampangnya yang dinamis begitu.
“Pemerintah juga seenak udelnya saja memberi izin proyek perumahan real-estate. Membetoni lahan kosong…”
“Pasti ada suapnya tuh!”
“Ironisnya, musibah rakyat kok diseminarkan di hotel-hotel berbintang!”
Rasanya makin banyak saja yang beri komentar, bahkan mengompori.  Suasananya jadi hangat. Perlahan kuhampiri  Bu Korban Banjir, wajahnya pucat mungkin belum minum sejak malam. Ada rasa iba di hatiku. Lucu, ya, kok mengasihani orang yang mau gadaikan sedan bagus, rumahnya di real-estate.
Welas asih nggak bisa diusir-usir biar di hati orang sengsara juga, ya kan?                       
“Minum dulu, Bu,” bekal minuman di botol aqua kusodorkan kepadanya.
“Ooh, ya, makasih, Bu,” sambarnya, nah kan? Dia memang kehausan.
“Sudah dapat bantuan dari Pemkot, Bu?” Dikembalikannya setengah botol aqua itu kepadaku.”Huuh! Boro-boro ada bantuanlah, Bu!” keluhnya dilemparkan lagi ke udara di sekitar kami.
Ia juga mengaku kebingungan. Seorang pembantunya sejak dua hari lalu tak pulang-pulang. Mana familinya dari Sukabumi sudah menyusul, katanya. Sementara itu tampak di belakang pintu kaca seorang petugas membukakan pintu masuk. Orang-orang serentak bangkit dan merangsek maju.
Begitu pintu terbuka, mereka semakin merangsek, saling desak, saling dorong. Termasuk aku yang terbawa arus masuk, doyong ke kiri doyong ke kanan.
“Aduuuh, biyuung! Pake nginjek lagi! Entaran ngapa, ini nenek-neneek!” Jeritan itu tepat di belakang punggungku. Nenek-nenek yang menggendong buntalan gede itu rupanya.
Gue juga tahu nenek-nenek! Whee, siapa lagi yang bilang ABG!”
Ups, siapa lagi yang berkomentar. Iseng amat, ya?
Orang-orang, termasuk aku lantas sibuk menyambar formulir. Ada yang mencolek pinggangku, kulirik ke belakang, eits! Nenek lagi!
“Maaf, Neng, ambilin terus tolong isiin, yee. Nenek mah apan buta huruf,” pintanya lugu.
Aku mengiyakan. Dalam hati muji dengan keluguan dan kejujurannya, mengakui kelemahannya. Di kampungku, kutahu banyak ibu-ibu sebayaku yang memiliki kasus serupa. Tapi mereka akan berkilah dengan gaya, lagi sakit mata, ketinggalan kacamata, hurufnya terlalu kecil, kalau kebetulan harus mengisi formulir dari PKK. Sungguh sulit untuk berjujur-ria rupanya, ya?
Usai mengisi formulir sekalian milik Nenek, kami mencari tempat duduk. Jadi ingat Indung di Cimahi. Umurnya sebaya perempuan lansia di sebelahku ini.
Indung, tentu saja nggak perlu keluyuran ke pegadaian segala. Pensiunan peninggalan Abah lebih dari cukup, kalau untuk kebutuhan sehari-hari. Tujuh anak selain aku yang empot-empotan, lainnya selalu mengiriminya wesel. Memenuhi keperluan Indung. Panjang umur, ya Ndung, gumamku membatin.
Sambil menunggu dipanggil oleh juru penaksir barang, kupasang kuping dan mata sekaligus. Kebiasaan atau naluri penulis ‘kali, ya? Kucoba terus merekam nuansa sekitarku. Orang yang hendak menggadaikan barang semakin banyak. Formulir permintaan menggunung di depan petugas.
Nah, dimasukkan dulu datanya ke komputer, barulah keluar dari printer kuno yang bunyinya; gruuueek, gruuueeek… 
Kayak  suara orang asma kebanjiran ‘kali, ya?
Petugas penaksir barangnya kenapa cuma seorang, ya? Lagian rasanya banyak tingkah tuh nona-nona magang. Kerdip-kerdip centil segala, melayani godaan ceriwis lelaki hidung belang. Ah, kasihan ibunya di rumah!
“Nenek mah punya tanggungan lima orang cucu. Ibunya lagi pergi ke Saudi, jadi TKW. Dulu sih suka dikirim tiga bulan sekali. Tapi belakangan anak Nenek itu nggak mau ngirimin uang lagi. Mau disimpan di Bank saja, katanya. Ini gara-garanya si Boneng, mantu Nenek yang nggak tanggung jawab itu. Duitnya  dihabisin mulu sama dia …“
Carita klasik keluarga TKW Indonesia. Ibu nekad ke negeri orang, banting tulang untuk menafakahi keluarga. Eee, suaminya malah kawin lagi.
“Tapi kan suami diwenangkan oleh agama juga, kalau mau punya istri lebih dari satu. Bahkan empat boleh kok…”
“Boro-boro empat, huuh!” Nenek geram.”Ini punya satu juga disuruh jadi TKW . Artinya kan kagak mampu tuh si Boneng!”
“Dasar saja itu mah lakinya… aseeem!”
Lha, kok makin banyak saja provokatornya?
“Apa anak Nenek sudah tahu?” tanyaku.
“Ya, tahu, makanya duitnya ditahan saja di Bank. Biar bakal modal kalo pulang nanti, katanya,” sahutnya sambil menyusut keringat di dahinya dengan ujung kerudungnya.”Nenek butuh duit bakal nambahin modal jualan getuk lindri. Abiiis, duitnya dipinjemin bocah mulu dah, ah…”
Terbayang nenek kurus dan bungkuk ini keliling kampung, menjajakan getuk lindri bikinannya. Sudah setua begini, masih juga harus menanggung nafkah para cucu. Berbahagialah hidup ibuku, gumamku mensyukuri.
Bagaimanakah jadinya kelak diriku bila seumur Nenek ini, ya? Seketika ada yang membeku di kisi-kisi kalbuku. Kuhembuskan napas, berharap pesimisme berubah menjadi sebaliknya.
“Apalagi saya, terpaksa gadai gelang buat nebus cucu di klinik bersalin,” berkata seorang wanita paro baya di belakangku. Aku menghadap ke arahnya. Cerita baru apalagi nih?
“Menantu saya itu ganteng banget kayak bintang sinetron, cuma lontang-lantung. Dari awal sudah dibilangin anak saya itu, jangan cuma lihat tampang, jangaaan! Dasar aja anaknya bengal. Demi cinta, demi ganteng saja ngomongnya. Buktinya sekarang apa, coba? Orang tua saja ketempuhan. Makan tuh cinta, makan tuh tampaaang!” ceracaunya gemas sekali dan sarat benci.
Mataku sekilas melirik ke dua pergelangan tangannya, wuiih, sampai berkeroncong begitu bunyinya. Belum kalung berlian, giwangnya bermata intan. Kok nggak ikhlas membela anak cucu, darah daging sendiri, ya?
“Ibu Lieeess!” Nona Magang berteriak nyaring.
“Yaaa!”  sahutku setengah loncat memburu loket.
“Huuh, kok dia duluan sih? Perasaan datangnya kita dulu!” Bu Gelang melempar cibiran sinisnya ke arahku.
“Mesin ketik nih, Bu?” cetus Non Magang ketus. Sudah tahu kok nanya, gumamku dalam hati.”Hmm, sudah nggak kelihatan lagi mereknya. Butut amat nih mesin ketik…” Gupraaak, si Denok diguprak-guprak kasar.
Ada yang menonjok ulu hatiku bersamaan hawa panas membakar wajah. Teringat akan segala jasa dan pengorbanan si Denok selama lebih dua puluh tahun, aahh! Kalau tak ingat desakan bungsuku, sepatunya yang mangap itu, rasanya ingin saja loncat masuk. Lalu kuambil, kupangku dan kupeluk si Denok dibawa pulang. Menyimpannya kembali di tempat pensiunnya yang nyaman.
“Masih bisa dipake nggak sih nih…?” cetusnya semakin ketus.
“Coba saja, Mbak, pakai dulu,” tukasku menahan jengkel.
Seorang temannya, pria, menyodorkan selembar kertas. Kemudian tanpa bicara memasukkan kertas ke si Denok. Terektek, teek, toook…!
“Bisa kan, Mbak?” kataku puas melihat wajah Nona Magang seperti kecewa. Seorang petugas resmi bergabung dan mengangguk santun ke arahku.
“Mau berapa, Bu?” tanya lelaki tigapuluhan itu ramah.
“Eeeh, entahlah… berapa bisanya, ya Pak?” balikku menahan jengah.
Aduuuh, serasa ikut melecehkan si Denok saja!
“Empatpuluh lima, mau?”
“Appaa…” aku terpelongoh.
“Ya, sudah, dibulatkan saja. Limapuluh ribu!” Aku masih terpelongoh. Denoook, ikhlaskan, ya, ikhlaskan.
Gantian Nona Magang lagi yang bilang, “Nih…  sana ngantrinya!”
Masya Allah, apa tak ada yang mengajarinya sopan santun? Sorot matanya yang begitu sinis, melecehkan. Seolah ingin bilang; “Kasihaaan deh kamu, he, gembeell…!”
Melihat gamis usang, jilbab lusuh ‘kali, ya?
Agak lama juga mengantri di depan loket penerimaan uang. Pikiranku mendadak suntuk, hati serasa hampa dan tubuhku bak mengawang. Omongan dari kiri-kanan seliweran dan menguap begitu saja. Perut mulai terasa menagih isi. Sejak malam baru diisi makanan pembuka shaum alakadarnya. Tak sampai hati ikut mengambil jatah untuk anak-anak. Takut mereka masih kelaparan.
Akhirnya tiba juga giliranku, tapi kepalaku mulai keleyengan.
 “Bu Lies… limapuluh ribu, ya!” kata petugas wanita, yang ini ramah dan murah senyum.”Ada limaratusan, Bu, buat biaya perawatannya.”
“Ngng, ya, ini ada!” cepat kusodorkan kepadanya limaratusan logam satu-satunya yang kumiliki.”Terima kasih, Mbak,” kataku sambil memasukkan selembar limapuluh ribuan ke saku gamisku.
“Menggadaikan apa sih kok cuma segitu?” Bu Gelang nyeletuk.
Gegas aku keluar dari antrian. Kepala makin keleyengan, pandangan mata pun berkunang-kunang. Perut malah mulai mual, tak nyaman sekali. Baiklah, sebentar nanti harus kuisi juga, mungkin sepotong pisang goreng dan secangkir teh manis di warung seberang.
Langkahku baru akan lepas dari pintu gerbang pegadaian, ketika tiba-tiba serombongan petugas berloncatan dari mobil polisi. Mereka segera merubungi sedan bagus yang terparkir di pekarangan. Bukankah itu milik Bu Korban Banjir? Sosoknya tak kelihatan lagi. Seorang wanita cantik dan lelaki muda, mungkin suami-istri, segera memeriksa sedan bagus itu.
“Betul, ini dia mobilnya, Pak! Ooh, sudah diderek ke sini rupanya…”
Nggak tahu malu si Ining itu, ya! Pake ngaku-ngaku pemilik sedan…”
“Ke mana sekarang orangnya? Yaah, cepat cari, tangkap dia, Paak!”
“Pssst, sudahlah, Bu. Yang penting barangnya masih selamat…”
Perlahan kuminum teh manis dari cangkir. Terasa cairan hangat manis melewati kerongkongan. Ya Rabb, alhamdulillah, nikmat-Mu ini. (Depok, Rajab, 1423 Hijriyah)

@@@

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama