Dari Orde Lama Hingga Orde Jahim

 

                                                            

Sekeluarga boyongan hijrah dari Labuan-Banten ke Jakarta. Perabotan, dicampur-aduk dengan adik-adik, menumpang di sebuah truk berplat hijau tentara. Entah bagaimana Bapak berhasil mendapatkan kendaraan dinas itu dari kantornya.
Aku baru naik kelas enam. Anak daerah yang kepingin menjadi warga kota metropolitan Jakarta. Begitu memasuki kawasan Ibukota, adikku yang paling dekat, Hani tiba-tiba berteriak keras.
“Jakartaaa… hoooii!” jeritnya kayak anak monyet ketemu mainan baru saja.
 “Selamat dataaang, hoooi! Sambut kitaaa!”
“Astaghfirullah…!” Nenekku dari pihak Bapak yang suka kami panggil Emih, tersentak dari leyeh-leyehnya di samping tumpukan perabotan.
“Sudah sampai, ya…?” gumamnya sambil membetulkan kerudungnya.
“Iya, Miih, kita sudah nyampe Betawiii!” teriak Hani pula sambil terus jingkrak-jingkrak. Wajahnya yang imut-imut sumringah, sarat sukacita. Dia memang sudah lama kepingin jadi anak kota.
“Berisiiik!” tegurku gemas.
Dia tak peduli, terus saja jejingkrakan. Boneka karetnya entah sudah loncat ke mana. Belakangan dia hampir membuang benda yang sejak kecil digendol itu. Beralih ikutan hobi baca bersamaku. Umurnya hanya beda setahun denganku. Dialah yang paling sering memposisikan diri sebagai lawanku.
Hobinya yang utama menari dan berdandan. Entah sudah berapa banyak bedak ibu kami yang menjadi korbannya. Dipakai atau hanya dihamburkan begitu saja di wajahnya yang bulat. Selama perjalanan dialah yang paling parah mabok. Tapi sekarang tak ada sisa-sisanya lagi.
“Alhamdulillah,” kudengar Emih mengucap rasa syukur, dan kelegaan membias di wajahnya.
Sudah sepuh, tapi masih ikut boyongan sana-sini dengan keluarga ayahku. Yakni putranya yang tertua dari lima bersaudara. Sebagai prajurit ayahku sering dialihtugaskan ke pelosok Tanah Air. Tapi Jakarta diharapkan sebagai tempat dinasnya yang terakhir sebelum pensiunan. Pangkatnya sudah perwira menengah, tentu takkan terlalu banyak lagi ditugaskan ke lapangan. Begitulah setidaknya yang kudengar dari sebagian harapan ibuku juga nenekku.
Truk memasuki pekarangan markas Menwa di jalan Matraman. Tak bisa langsung ke dalam, entah apa alasannya. Kulihat Bapak loncat dari jok depan di samping sopir. Menurunkan Abib, Reza dan Ima. Sekilas kuperhatikan Bunda agak sempoyongan. Wajahnya memias. Maklum, Bunda baru keluar dari rumah sakit.
Sementara dari belakang Mang Obay, adik ayahku yang juga prajurit, sibuk menurunkan kami. Emih dan Bibi Encur, istri Mang Obay, segera menggiring anak-anak ke tempat teduh. Beberapa orang dari dalam menyambut kami dengan ramah. Bapak punya banyak kenalan rupanya di tempat ini.
“Kita harus mencari gerobak,” kata ayahku di selang kesibukan menurunkan perabotan bersama Mang Obay dan sopir.
“Bagaimana kalau kami naik becak saja, mungkin tiga?” Bunda sambil memperbaiki jilbabku yang selalu miring kanan-kiri.
“Baiklah,” Bapak mengalah dan segera memanggil becak.
Empat! Anak-anak saja pakai dua becak. Bunda sambil memangku Ima, mengangkuti beberapa buntelan. Bibi Encur dan Emih bersama kasur. Sedangkan ayahku dan Mang Obay bergantian menunggui barang sambil mencari gerobak.
Kawasan Utan Kayu, di situlah rumah bibi ibuku yang biasa dipanggil Nini Resmi.
“Kok rumahnya…, imut-imut begini ya, Teteh?” bisik Hani, keceriahan dalam sekejap lenyap dari wajahnya.
“Hmm, entahlah,” hatiku pun tak urung mulai diliputi rasa kecewa.
Apalagi ketika kemudian kutahu ternyata kami hanya akan menempati sebuah kamar, ditambah teras. Kamar itu hanya dibatasi oleh sebuah lemari dengan ruangan lainnya. Untuk selanjutnya teras itu disulap sebagai dapur. Kerap aku dan Emih meringkuk di sudut dapur jadian itu di antara tumpukan perabotan. Hikkksss!
Ini sungguh jauh dari angan semula. Sebuah rumah besar di tengah kota, nyaman, bagus dan serba moderen. Aaaaah!
“Gimana nih, Teteh?” Hani menggebah anganku.
“Oh, eh…, apa bisa masuk semuanya ya?” balik aku celingukan, mengawasi situasi di dalam.
Sumpek dan puanaaas!
Para ibu segera masuk. Beberapa jenak aku dan empat adik hanya bengong, tak tahu apa yang mesti dilakukan. Duduk lesehan di teras, anganku masih mencari-cari simpanan khayalan di Labuan. Mengapa Bunda begitu heboh bila sudah cerita tentang Jakarta? Sarat impian dan harapan, kenyataannya…?!
Ini hanya sebuah rumah tua yang telah dipilah-pilah menjadi beberapa tempat kontrakan. Kalau hendak ke jalan besar, harus naik undakan tangga yang lumayan tinggi. Letaknya memang di bawah kali kecil. Bisa dibayangkan bila musim hujan tiba pasti…, banjiir!
“Anak-anak, kok masih di luar? Ayo, masuk siniii! Wah, wah orang Labuan nih,” Nini Resmi keluar, diikuti anak-menantu dan cucu-cucunya.
Woow, orang Labuan, katanya? Apa pantas dibilang orang Labuan? Cuma setahun bertahan di kota pantai itu. Sebelumnya kami tinggal di Sumedang. Selama mukim di Labuan, anak-anak sering sakit, Bunda apalagi. Sengsaranya…, bukan main!
“Nungguin Bapak…,” Hani berdalih.
“Waaah, kalo Bapak sama Mang Obay cari gerobak, entah kapan datangnya. Mungkin nyari gerobaknya ke pasar Pramuka,” jelas Bibi Mimi, menantu Nini Resmi.
Usianya sebaya Bunda, tapi ia tampak jauh lebih tua. Anaknya selusin dan sedang hamil tua. Suaminya, Mang Memod berada di balik sel. Konon, ditangkap sebagai tersangka kelompok bom-boman. Entahlah!
“Ayo, Neng Hani, Neng Seli…, siapa lagi tuh namanya? Mari diminum dulu,” himbaunya dengan tulus.
Air bening dari kendi. Hmmm, segeeer!
“Nda, kami mau lihat-lihat dulu. Boleh?” tanyaku minta izin.
“Ya, bolehlah, tapi jangan jauh-jauh ya?”
***

Aku menggiring adik-adik, Hani, Riri, Abib dan Reza. Kompak melihat-lihat keadaan sekitar rumah. Tak begitu buruk, masih banyak pohonan rindang. Tanahnya masih luas, ditanami pohon jambu air, jambu klutuk, nangka, sirsak dan kopi.
“Wuiih, boleh kita nyicip buah ini, Teteh?” Abib, yang sering kami ledek si gembul memandangi buah kopi itu dengan penuh minat.
“Bilang dulu sama Bibi Mimi, ya?” sahutku sambil terus melihat-lihat.
Barangkali ada satu sudut nyaman untuk leyeh-leyeh sambil baca buku cerita. Seperti suka kulakukan di tempat-tempat sebelumnya.
“Huuaaah…, kirain enak! Puuh, aneh rasanya!”
Abib memuntahkan lagi kunyahan buah kopinya, ditertawakan anak-anak. Dia cengengesan. Habiburrahman, si gembul kami yang lucu.
“Hei, ada kebun tuh! Kita lihat-lihat ke sana, yuuuk?” sentak Hani.
“Ikuuut, ikuuut!” serempak Reza dan Abib merengek.
“Jangan, ah! Kalian masih kecil, pulang saja, ya?” tukasku keberatan. “Kan kita belum tahu situasinya, gimana coba kalau…?”     
“Bilangin lho sama Bapak. Nggak mau ngasuh adik, begitu! Iya kan, Eza?”
Whoooi, si gembul sudah berani neror, euy!
“Ikuuut, ikuuut!” Abib dan Reza makin kompak.
Aku garuk-garuk kepala yang ditutupi jilbab kaos.
“Sudahlah, Teh Seli! Bawa saja. Tinimbang ngadu sama Bapak, berabe lagi!” Hani malah mendukung. Riri juga menyemangati mereka.
“Ya, sudah! Kalo ada apa-apa….”
Kutelan ujung kalimat. Kasihan juga mereka. Wajah-wajah lelah, bosan berat. Tentu saja sama, kepingin ngelempengin kaki.
Lahaola walaquwwatta, bisikku sambil mesem. Lucu, lihat tingkah anak-anak. Dorong-dorongan, bercanda dan cekikikan. Yup, inilah pasukanku sekarang! Hani sebelas tahun, ke bawahnya hanya bertaut setahun-setahun. Si Bungsu Ima belum dua tahun, kolokan dan ngeganduli Bunda melulu.
Pasukan kecil yang kupimpin menyusuri jalan setapak menuju kebun sayuran. Ada lahan kosong yang cukup luas. Belakangan kutahu lahan itu telah dijual oleh pribumi kepada tauke keturunan. Hendak dibikin perumahan mewah. Tapi gara-gara krismon pembangunannya mandek. Untuk sementara dimanfaatkan oleh para pendatang agaknya.
Di simpang antara kebun sayur dengan perkampungan, tiba-tiba pasukanku dicegat oleh seorang anak laki-laki. Kelihatannya sebaya denganku, gerak-geriknya jumawa sekali. Sok jagoan!
“Heee, brentiii!” teriaknya diikuti dua orang temannya. Sama bergaya dan soknya. Beginilah barangkali gaya orang kota, pikirku.
“Heeei, budek ape lo! Berentii, berentiii!” temannya sebaya Abib menjegal langkahku.
“Gimana nih, Teh Seli?” Hani dan Riri mulai cemas.
“Jangan pedulikan mereka!” perintahku sambil mengisyaratkan anak-anak. Supaya balik kanan. Lagian sudah lumayan jauh dari rumah.
“Huuu…, songong banget sih elo! Emang orang mane sih elo pade?” sergah anak laki-laki sebayaku. Makin menyebalkan, menggemaskan…, tinjul!
Berdiri tepat di depan Hani. Menatapi wajah Hani seolah hendak menelannya. Hiiih, asli nyebeliiin!
“Emang elo demen nyang mane, Deden?” temannya yang pakai kaos merah, kegenitan. Cengiran.
Astaghfirullah…, anak bau kencur sudah kegenitan begitu?
 “Nyang ini mah botoh niiih!”
Deden nyolek dagu Riri. Trus, menarik tangan Hani. Karuan keduanya langsung memekik ketakutan.
“Eh, eeeh, sebentaaar!” sergahku mengumpulkan seluruh keberanian yang kumiliki. “Kamu teh jangan suka kurang ajar atuh, yaah?”
Kurasakan tangan Abib dan Reza mengganduli pinggangku. Nggak bisa kubiarkan, pekikku dalam hati. Tiga anak laki-laki itu cuma bergaya. Tubuhnya kerempeng-kerempeng. Kalau kekuatan disatukan…, jetreek!
“Kalow mau tau nama kami mah gampang da. Inih geura sayah mau nataan satu-satu sajah sendiri, yaah…?”
Mendengar logatku yang ajaib, seketika ketiga anak itu terbahak-bahak. Apalagi ketika Abib menimpali dengan logatnya yang tak kalah ajaibnya.
“Heueuh nya, Dak! Ilok ganggu naeun? Urang mah saguru saelmu bae nyah? Ja ngaing geh teu boga dosa nanaeun ka dia…?!”1
Aku sendiri melongo mendengar bahasa gaul Abib. Mentang-mentang tukang main dan sobatan sama Jatake.
“Huahaha…. ngomong apaan tuuuh? Bodooor banget-banget-banget!” Si Deden ngakak dibarengi kedua temannya.
Kesempatan baguuus!
“Ayo, balik, baliiik, euy!” perintahku sama adik-adik.
Beeer…, anak-anak berlarian kembali ke rumah Nini Resmi. Pantat Abib sampai bulet-bulet saja kayak bola. Disusul Reza, kecil-kecil juga lincah kayak kancil. Hani dan Riri pun kompak, berlarian sambil cekikikan.
 “Yeeeh…, si Teteh ini kenapa sih?” Riri menatapku keheranan.
“Iya, ya! Tadi kan Teteh yang perintahkan lari? Kok malah datang belakangan?” tegur Hani, ketika menyambutku yang menyusul belakangan.
“Lemees, aah…, lemeees!”
Bruuugh…, aku membantingkan diri di atas gulungan kasur. Mereka sudah lupa barangkali. Aku belum lama sembuh dari sakit yang lumayan parah. Malaria, kata Mantri Uking, sempat menenggelamkan keberadaanku selama berpekan-pekan.
Awalnya tentu saja merasa tak betah tinggal di ruangan sempit, berdesak-desakan. Bukan saja dengan sesama anggota keluarga, melainkan juga dengan timbunan perabotan dan…, tikus!
Jangankan makanan, bahkan bantal pun mesti berebutan dulu. Tapi kalau sudah mendengar semangat dan harapan yang dipompakan Bapak, bahwa keadaan takkan selamanya demikian. Suatu hari nanti pasti akan memiliki rumah sendiri.
“Insya Allah,” janji Bapak serius.
Yeaaah, nggak betah juga dibete-betein ajeee!
Enam bulan tinggal di ruangan sempit yang banyak nyamuk, kecoa dan tikusnya itu.
“Anak-anak, kita akan pindah ke rumah di sebelah sana,” ajak Bapak suatu siang, pas anak-anak baru pulang sekolah.
“Rumah siapa, Pak?”
Perut keroncongan minta isi, tapi mana berani membantah perintah Bapak?
“Punya Uwa Manggarai, sepupu Bunda. Kita hanya menyewanya, lumayan nggak begitu sempit,” jelas Bapak.
Letaknya hanya terhalang beberapa rumah. Pas diperhatikan…, whoooa!
“Ini sih bukan rumah, Bapak!” seru Hani komplain.
“Iya, kayak kandang…, bandot aja,” Riri berkata pelan.
Adikku yang satu ini pemalu, jarang bicara kalau nggak perlu. Dialah yang paling cantik dan bijak di antara saudara-saudariku.
“Jangan begitu, kalian harus mensyukuri apapun yang diberikan Allah,” kata Bunda cepat-cepat menghangatkan hati anak-anak.
Aku langsung melihat-lihat ke sekitar rumah. Memang tak layak huni. Rumah tua, lapuk. Gentingnya bocor, biliknya bolong-bolong. Lantainya tanah, musim kemarau membuatnya retak-retak. Aroma apak, campur dengan bau paduan antara kecoa dengan cecurut, langsung menyergap lubang hidung.
“Huueeek…!”
Nggak tahan aku muntah-muntah di samping rumah. Baru ngeh, kamar mandi dan kakusnya serba darurat. Kalau ingin sehat, Bapak harus merombaknya, jeritku dalam hati.
“Ini masih lebih baik, sebuah rumah, kita bisa mandiri,” Bapak tetap semangat seperti biasa.
“Bener juga sih,” sahut Hani. “Di tempat dulu dikit-dikit denger orang nangis dan berantem!”
“Belum lagi kalo anak-anak Bibi Mimi itu ngegerecokin. Nggak bisa belajar tenang!” kataku mengakui.
Setelah ditempati beberapa hari, begitu libur barulah Bapak membenahinya. Biasa, menggebah pasukan kecilnya, aku dan adik-adik. Semuanya sibuk bekerja, tidak anak perempuan atau laki-laki, sama saja. Punya hak dan kewajiban yang sama. Semuanya bertugas menjadikan rumah agar betah ditinggali.
Bilik-biliknya ditambal zak bekas semen, dikanji hingga lekat. Gentingnya diganti sebagian. Bapak mengerjakannya sendiri. Biar hemat, tak perlu menyuruh tukang.
“Jangan yang itu, Naaak…. Yang sebelah sana tuuuh!”
Atau, “Hati-hati, Naak, jangan sampe pecah gentengnyaaa…!”
Dan, “Semuanya harus pake alas kaki, ingaat…. Anak-anaaak!”
Demikian suara sang prajurit berteriak-teriak dari atas wuwungan. Sementara di bawah aku bersama adik-adik berjibaku. Berbaris secara berbanjar, mengangkuti genting-genting dari tumpukannya hingga ke tangan Bapak.
Aku kebagian naik di undakan tangga bambu, paling dekat dengan Bapak. Disambung Hani, Riri, Abib terus Reza. Sementara Bunda sibuk di dapur menyediakan makanan dibantu Bibi Encur. Oya, Bunda tengah mengandung adikku yang ke tujuh.
Tiba-tiba Hani berteriak lantang, “Kapan kita punya rumah sendiriiii?”
Suaranya yang cempreng mengebah anak-anak yang lagi berjibaku.
“Tanyakan langsung ke Bapak, Teteh!” imbuh Riri.
Abib seketika mendahuluiku. “Bapaaak! Boleh nanya nggaaak?”
Bapak nyelang menengok ke arah putranya yang paling gembrot.
“Mo tanya apaaa?”
“Tapi jangan ngambek, yaa?”
“Iiih, cepetaaan….” Hani mulai gemas, melototin Abib.
“”Ngomongnyaaa!” Riri ikutan gemas.
“Iya nih, ntar keburu kubanting gentengnya! Beraaat!”
Aku pun mulai kewalahan mesti menjunjung lima genting, berdiri di tangga pula. Peluh sudah melaut, bikin jilbab kaosku lepek dan bau nggak karuan.
“Iya, cepetaan! Beraaat niiih…!” dengusku ngos-ngosan.
Bapak berteriak lagi dari atas wuwungan, “Mo tanya apa, Biiib?”
“Ja ceuk barudak ieu mah, Apa! Iraha Apa rek boga imah keur ngaing sarereaaa?”2
Ya Rooob…!
Sekejap anak-anak terkesima mendengar pernyataan dalam logat gaul anak Labuan. Dasar murid jawara Banten, Mang Umar. Untuk sesaat aku pun berdiri mematung sambil tetap menjunjung genting. Takut Bapak tersinggung, tapi juga geli setengah mati.
“Iyaaa, Bapak ngerti! Nantilah Bapak mo minta dulu sama Si Mbaaaak di Istanaaa! Hehehe…”
Kulihat sekilas Bunda yang mengawasi dari pintu dapur mesem-mesem. Entah apa yang terlintas di benak Bunda. Adakah sama angan Bunda dengan anganku? Sebuah rumah yang nyaman dan asri, dibasuh iman dan tawakal. Sehingga melahirkan sebuah keluarga sakinah mawadah dan warrohmah.
***


1 “Iya ya, Kawan! Jangan ganggu ngapa? Kita mah seguru seelmu saja, ya? Kan aku gak punya dosa apa-apa sama kamu?!”
2 “Ini sih kata anak-anak, Bapak. Kapan Bapak mau bikinkan rumah sendiri buat gue-gue niiih…?!”

1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama