Safari Ramadhan:Al Ishlah Bondowoso

Ilustrasi:Ini sih santriwati Ponpes Banyuanyar



Palm Spring Regency-Surabaya, 30 Juni 2014
Dari Bandara Hang Nadim, Lampung, kami menuju Bandara Sukarno-Hatta. Pesawatnya transit selama 90 menit dengan 15 menit delay. Pada saat yang sama sesungguhnya anakku Haekal Siregar baru mendarat dari Jeddah, usai umroh. Tidak memungkinkan jika ingin menyambanginya, jadi kutelepon saja dia dan menanyakan kabarnya.

“Mama mau keliling Jatim dan Madura, sudah ya, selamat kembali ke rumah. Tetaplah jaga ibadahmu seperti di Tanah Suci,” pesanku sebelum menaiki pesawat menuju Surabaya.

Ken Pramita tidak ikut, langsung kembali ke kantornya di Ciputat. Jadi kami berdua yang akan keliling Jatim-Madura. Kulirik Evi Oktaviani, wajahnya masih segar. Aku berdoa, semoga dia akan kuat selama mengintil diriku dalam seminggu ke depan.

Ditemani gadis manis ini, kadang aku lupa, serasa anakku yang menemani. Baru terasa jika malam hari, hening, tak ada canda ketawa lepas sebagaimana biasa kudengar dari putriku. Evi akan duduk tenang dengan Al Quran di tangan, menggumamkan tilawahnya nyaris tak terdengar.

“Calon Nyai, ya,” godaku disambut senyum tersipu-sipu oleh gadis Depok ini.
Ridho Ardian, pimpinan cabang Surabaya, menjemput dan mengantar kami ke kantornya di Palm Spring Regency. Ada kamar di lantai tiga, di sinilah kami menginap. Kukagumi kemegahan dan kemewahan gedung milik Remon Agus, Direktur Zikrul Hakim.

Dinihari pintu kamar diketuk anak OB, mengingatkan kami untuk makan sahur. Kami berdua pun sahur apa adanya;nasi putih panas, sepotong tempe kering dan ayam goreng yang juga sama keringnya. Alhamdulillah.

Akhirnya sore itu, sampailah kami di pondok pesantren Al Ishlah Bondowoso. Perjalanan panjang kami nikmati dengan pemandangan alam Jawa Timur, puncak gunung Arjuno dengan awan-awan putih, pesawahan yang sedang rehat tanam padi. Lah, iyalah, wong puasa, mana tahan di tengah terik begini berada di sawah?

“Selamat datang kembali di Al Ishlah,” sambut seorang akhwat, santriwati tingkat perguruan tinggi. Kami ditempatkan di guesthouse, bangunan dan kamar yang sama, seperti setahun yang lalu saya, Elly Lubis dan Evatya Luna pernah singgah.


Al Ishlah, Bondowoso, 1 Juli 2014
Acaranya diselenggarakan di aula berkapasitas 500-an. Sebagian santri sudah libur dan pulang, jadi inilah yang masih tersisa;100-an santri putra dan putri. Al Ishlah adalah pondok pesantren modern, boardingschool putra dan putri. Ratusan bangku itu terbagi dua bagian. Sebelah kiri barisan santri putra, sebelah kanan santri putri.

Begitu memasuki aula, aku dan Evi langsung diminta ke bangku barisan depan. Di bagian putra tampak dua pejabat Al Ishlah, pimpinan perguruan tinggi dan pengurus harian boardingschool-nya.

“Selamat datang di l Ishlah, Bunda Pipiet Senja,” sapanya santun.
“Terimakaish, Pak, ini sudah ke-3 kalinya saya ke Al Ishlah. Baru kali ini jumpa Anda,” kataku.

Acara pun dimulai, seperti biasa tentu dengan tilawah, merdu sekali suara santri putra dengan paras ganteng itu. Semua menyimak dan sesekali dengung;”Allaaaaah….” Luar biasa, 

subhanallah, semoga engkau menjadi pemimpin bangsa yang mumpuni, Nak.

Sempat terganggu dengan laptop panitia yang error, agak kecewa juga jika tidak bisa berbagi modul kepenulisan yangtelah kusiapkan jauh hari. Setelah dikotak-katik, eh, ndilalah, akhirnya malah laptop jadulku yang bisa dimanfaatkan. Ternyata ada yang lebih jadul daripada si Denok, gumamku geli.

Evi menyetel video profil Dompet Dhuafa, sambil menjelaskan program yang kami angkat dalam Safari Ramadhan ini:”Gerakan Berzakat Melalui Goresan Pena.” Tampak anak-anak berseru tertahan, melihat nenek jompo dengan kondisi mengenaskan atau anak-anak miskin, mereka para mustahik, para penerima zakat yang disalurkan ileh Dompet Dhuafa.

Giliran saya diawali dengan memutas video Berkelana Dengan Buku. Bukan gaya-gayaan, karena sudah berkelana ke 20 negara berkat menulis buku. Saya ingin mengajak anak-anak, bagaimana prospek dan nikmat, berkahnya menjadi seorang penulis.

“Menjadi penulis sungguh nikmat, anak-anak. Apalagi utuk perempuan, kelak kalian di rumah saja, tidak perlu kerja keluar rumah, dipaksa harus melepas jilbab, pake baju dengan ketek kewer-kewer….”

Gheeeer! Tawa membahana ruangan luas dan megah itu. Ternyata Bapak Dekan yang sudah pamitan, diam-diam kembali, dan menyimak di belakang. Pada sesi dialog interaktif, beliau menyatakan banyak Tulsan ilmiah yang telah ditulisnya, tetapi tak tahu hendak diapakan. Nah, hayo, kita bukukan, Pak Dekan!

Seperti di Lampung, di Al Ishlah pun saya minta peserta menulis saat itu juga. Temanya sesuai dengan Gerakan Berzakat Melalui Goresan Pena. Karena tampak masih kebingungan melembayang di wajah anak-anak, maka saya sederhanakan istilahnya.

”Mari, kita menuliskan tentang betapa indahnya berzakat, indahnya berbagi dengan mereka yag membutuhkan uluran tangan kita.”

Dalam hitungan 20 menit, terkumpul puluhan tulisan di meja kami. Saya minta waktu untuk mencermati, menyeleksinya, hingga terpilih lima tulisan yang berhak mendapatkan doorprize berupa buku; Menoreh Janji di Tanah Suci dan Suara Hati Dari Mesir. (Bondowoso, Pipiet Senja)





0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama