Kisah Inspirasi: Bayi yang Dibuang di Kuburan Itu



“Woaaa! Woaaaa!”
Masih dinihari ketika kupingnya mendengar suara tangisan bayi. Ros, perempuan 30-an, baru pulang dari pasar, belanja untuk mengisi lapaknya di pinggir jalan Raya Tagog, Cimahi. Ia merandek, menurunkan keranjang belanjaan yang selalu digunakannya setiap dinihari, mengangkut belanjaan; sayuran dan kebutuhan sehari-hari.

“Woaaa! Woaaa!” tangisan bayi itu semakin kencang terdengar dari arah kuburan. Ia sungguh tak habis mengerti. Mengapa ada bayi pada saat orang masih tertidur lelap, dan itu muncul dari tempat yang tidak lazim.

Aduh, jangan-jangan itu anak kuntilanak, pikirnya mendadak berprasangka buruk. Namun, rasa ingin tahu dan penasaran semakin memburu hatinya.
Tidak, bulu romanya sama sekali tidak merinding. Lagipula ini mulai siang dan bukan malam Jumat, tambahnya menguatkan hatinya sendiri.

Perasaannya pun kian penasaran, ada iba yang seketika membalun hatinya. Semakin melangkah ke arah kuburan, tangisan bayi itu terdengar semakin kencang. Seakan-akan ia melolong, merasa sakit, kesepian dan ketakutan.

Di sebelah kuburan kuno, ternyata di situlah sumber suara. Langkahnya kian mendekat, kian mendekat, sampai tampaklah oleh matanya; sosok bayi!

Ya, ternyata benar itu adalah sesosok bayi merah, ditutup oleh kurungan ayam. Ketika ia memerhatikannya dengan cermat, bayi itu megap-megap, kini tangisannya mulai pelan dan semakin pelan.

Agaknya tangisan sebelumnya telah diperjuangkannya sedemikian rupa. Demi mendapat bantuan dari siapapun yang kebetulan meintas di sekitar kuburan itu. Demi hasrat hidupnya yang kuat. Mungkin juga demi pembuktian kepada ibunya yang telah membuangnya tanpa rasa keibuan lagi di hatinya.

“Ya Allah, bayi siapa ini? Siapa yang tega membuang bayi merah begini,” gumam Ros sambil sibuk mencari sesuatu yang bisa dipakai untuk menggendong bayi merah itu.

Kain batik yang biasa dipakai untuk menggendong keranjang belanjaan masih menyampir di bahunya. Dengan tangan gemetar dan tubuh serasa lunglai, ia segera mengangkat kurungan ayam dari atas bayi yang malang itu.

“Anak siapa kamu, Nak? Ya Allah, teganya siapapun yang telah membuang dirimu,” bisiknya.”Ikut bersamaku, ya Nak. Mari kita pulang,” ceracaunya saat ia mengendong bayi merah itu, menjauhi kuburan.

Di rumah kontrakannya di pinggir kali Cimahi, ia hanya menemukan air dingin di kendi. Hidup seorang diri sejak ditinggal pergi oleh suaminya, kondisinya memang sungguh memprihatinkan. Tak ada sanak-saudara, karena ia bukan orang asli bumi Pasundan.

Jika masih bertahan di kota kecil ini, itu tak lain karena ia masih punya harapan. Satu saat suaminya akan kembali. Harapan yang nyaris sia-sia, sebab telah sewindu berlalu, lelaki yang pergi dengan petempuan lain itu, entah masih memikirkan dirinya, atau sebaliknya melupakannya sama sekali.

Ia segera disibukkan mengurus keselamatan bayi temuannya. Bayi itu tampak masih bernapas, tapi semakin megap-megap, bahkan wajahnya mulai membiru. Tak tahan akhirnya ia berlari keluar, menggendong bayi malang, menuju rumah seorang bidan.

Suasana kampung Margacinta mendadak heboh.
“Ada bayi merah dibuang!”
“Ditemukan di kuburan!”
“Ari-ari masih belum diputus!”

Hari makin siang, ketika bidan berhasil menyelamatkan bayi yang segera diberi nama oleh Rosi; Nurul.

Rosi, seorang perempuan sederhana, dalam pikirannya bayi ini adalah cahaya bagi dirinya, bagi dunia. Dan itu memang benar adanya. Bayi ini merupakan sumber kekuatannya yang maha dahsyat!

Ros merawat dan membesarkan Nurul dengan penuh kasih sayang. Sejak ada Nurul dalam hidupnya, ternyata hari-harinya menjadi penuh dengan keberkahan. Rezeki seakan-akan dicurahkan dari langit, mengalir tanpa henti.

Sehingga ia kemudian bisa memiliki warung sendiri, pindah dari lapak di pinggir jalan. Itu berawal dari bantuan yang diberikan oleh Dompet Dhuafa, berupa modal untuk mengembangkan usaha berjualan sayuran.

Demikain pula ketika saatnya Nurul masuk sekolah, Ros diarahkan oleh sahabat Dompet Dhuafa ke divisi pendidikan.
“Ibu Ros, jangan sungkan-sungkan, insya Allah, kami akan membantu untuk membiayai pendidikan Nurul,” kata Ustad Ghofur.

Sejak itu, Ros merasa nyaman dan lega, tidak diburu-buru lagi untuk urusan dana pendidikan Nurul. Anak perempuan yang telah sah menjadi bagian dari hidupnya, meskipun bukan anak biologisnya.

Sekarang Nurul telah lulus SMK, sedang liburan, baru saja mendapat undangan untuk masuk perguruan tinggi dengan jalur berprestasi.
“Apakah anak saya ini masih bisa mendapatkan bantuan dana pendidikannya, Ustad?” tanya Ros saat menemui Ustad Ghofur di kantor Dompet Dhuafa.

“Insya Allah, Ibu Ros, ada bantuan dana yang telah kami siapkan untuk Nurul.”
“Terima kasih, Dompet Dhuafa,” kata Nurul dan ibu asuhnya, Mak Ros, wirausaha dari Cimahi.

“Berterima kasihnya kepada para donator, Bu. Dompet Dhuafa hanya menampung dan menyalurkan dana sedekah, zakat dari para donator,” jelas ustadz Ghofur. (Hotel Menteng Sofyan, Jakarta 21 Juni 2014)

@@@

1 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama