Testimoni: Jangan Pernah Sentuh Mama, Kriminal!



Sejak kecil aku sudah tahu, Mama punya masalah dengan kesehatan. Pernah aku mengira, Mama itu punya penyakit kuning. Sebab sering kulihat Mama menguning. Kulitnya, matanya sampai ke kuku-kukunya. Untunglah, giginya tidak ikutan kuning.

Kasihan Mama, ya? Ops, jangan kasihani Mama. Meskipun masih banyak yang bermasalah dalam hidupnya. Mama pantang dikasihani. Kepinginnya sih disayangi dan dihargai.

Sejak kecil aku kira wajar saja loh, kalau Mama ditransfusi tiap dua bulan sekali. Aku kira semua anak juga ikutan nyokapnya kok ke rumah sakit. Melihat dia diperiksa di laborat, terus antri darah di PMI. Besoknya baru ditransfusi, sama ngantri dan belibetnya macam kemarinnya.

Dan aku kira, semua anak juga nontonin ibunya dilemparin kaca oleh bapaknya. Sampai berdarah-darah. Lengkap dengan tiap serpihannya yang menempel (sepertinya sih!) sampai sekarang di sudut matanya.

Aku kira, anak lain juga macam aku, meringkuk ketakutan setengah mati di belakang lemari. Kadang sambil mencekik leher dengan sebuah selendang, berharap mati. Terus bergumam sendiri: “Mati, mati, mati…”

Biar semua orang bisa bahagia tanpa perlu bertengkar lagi karena aku. Aku sering merasa, keributan besar terjadi karena kenakalanku.

Aku kira, semua anak juga pernah merasa macam gini: terbuang. Tidak disayang. Semua orang hidup dengan dunianya sendiri. Meninggalkanku yang sibuk mengejar mereka dengan kaki-kaki kecil ini.

Pertama kali aku kepingin sekali mati, ngilang dari muka bumi ini. Waktu aku lihat dengan mata kepalaku sendiri. Mamaku berjongkok melindungi dirinya, sementara Papa dengan liarnya menendangi tubuh Mama. Kala itu, Mama dengan susah payah merangkak menuju keluar rumah.

“Pergi sana Bang, pergilah…jangan jadi jagoan… Nanti kita ketemu di mesjid, ya Nak, pergilah,” usir Mama kepada abangku yang sempat memasang badan, menerima setiap pukulan yang akan menimpa tubuh Mama.

Tapi yang terjadi malah semakin parah!

Aku tidak terlalu ingat penyebab amuk bokapku ketika itu. Aku menyangka karena kenakalanku. Tapi aku akan selalu ingat darahnya. Tiap tetesnya. Tiap rintihan mohon ampun yang keluar dari bibir Mama di sela-sela takbirnya.

“Allahu Akbar… Allahu Akbar… Allahu Akbaaar!”

Sejak itu aku membenci diriku sendiri. Karena aku tidak bisa berbuat apapun. Bahkan sekadar membela Mama yang kusayang, aduuuh, aku benciiii!

Papa tidak menyentuhku. Tidak sesering dia memukul Abang atau Mama. Kecuali ketika dia memaksaku untuk makan. Kadang dia membawa ranting bambu untuk menyabetku. 

Kalau aku tidak menghabiskan nasi plus sayur bayam (satu piring metung!) yang bikin aku trauma banget sama bayam sampai sekarang!

Kadang, dia juga menyabetku sambil membentakku kalau aku ngucapin kata-kata yang buat dia pantang disebut oleh kami, satu rumah.

Seperti; ayam, burung, onta, gajah, jerapah, unyil. 
Woaaa! Aku tidak mengerti kenapa tidak boleh diucapin!

Mama bilang, Papa sakit, ya, tapi sakit apa? Kenapa Papa begitu gampang curiga? Gampang ngamuk? Sepertinya, semua orang yang ngsajak bicara sama Mama… langsung dicurigai!

Pernah, sekali waktu Mama melakukan satu kesalahan kecil. Gara-gara mengomeliku dengan kalimat; “Iiih, nih anak, dasar kucriiit!”

Tiba-tiba Papa membanting sebuah kaca besar ke kepala Mama. Aku masih SD dan berbadan kecil. Abang selalu berpesan sebelum pergi sekolah.

“Butet harus lindungin Mama. Apapun yang terjadi, oke Dek?”

Seketika dengan tubuh cekingku merangsek maju, menghadang Papa dengan satu cara: aku menggigit kakinya yang besar. Tahu tidak sih? Aku seketika melayang ke udara; puuuung, serius terbang, meeen!

Yeah, tidak benar-benar terbang sih. Dia cuma menendangku jauh-jauh, sampai aku menghantam ujung tembok. Seluruh tubuhku (kalau rambut bisa patah, gue yakin, dia bakal ikutan) serasa patah.

Untunglah, gigitanku membuahkan hasil. Papa sibuk selama beberapa detik. Saat itulah Abang pulang sekolah, tanpa babibu lagi langsung mengambil alih. Untuk pertama kalinya dalam hidupku, aku melihat wajah Abang yang jail, lucu dan baik itu berubah. Geram, marah dan penuh benci!

“Jangan pernah sentuh Mama, kriminaaal!”
Abang pun menggunakan jurus taekwondonya; hiaaaaat!

Sampai sekarang aku masih belum mengerti, kenapa Abang bisa sekeren itu, ya? Terus, Abang ‘mengunci’ Papa. Sampai Papa tidak bisa bergerak. Sebagai catatan; badan Papa tuh gede banget dan kuaaaat!

Lalu satu hal superkeren yang bikin aku langsung bertekad untuk memuja Abang selamanya: Dia melempar Papa hingga terbang.

Sumpah mati!
Papa terbang dengan sekali lempar ke ruangan lain. Pokoknya jauh banget!

Kemudian, Abang mengangkut Mama yang bersimbah darah. Suer, ini bukan buku silat, men! Tapi kenyataan yang sama sekali tidak dihiperbola. Sementara aku buru-buru mengintil dengan kaki pincang-pincang.

Tahu tidak, apa yang Mama katakan beberapa jam kemudian di kamarnya?
“Ini salah Mama barangkali, ya anak-anak. Papa kalian bermasalah, lagi sakit parah, semacam depresi, paranoid. Mungkin skizoprenia? Tolong ya, anak-anak yang saleh dan salehah. Kita harus memaklumi kelakuan Papa kalian.”

Mama, Mama, ibuku tercinta; aaargggghhh! (Adzimattinur Siregar, ditulis saat umur 14 tahun)

@@@

3 Komentar

  1. Astaghfirullah T.T
    Andai ini hanya fiksi... :(

    BalasHapus
  2. subhanallah.... disaat dianiaya pun masih tetap menjalankan tugasnya sebagai seorang istri terhadap suaminya, setiap pasangan itu pakaian satu sama lain, saling melindungi, istri yg shalihah, luar biasa!

    BalasHapus
  3. Ini tulisan non-fiksi mbak Butet umur 14 tahun? super sekali, mbak.. sangat bertenaga!

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama