In-Coma: Ketika Berada di Ambang Kematian




Anno, 2009
Aku masih terus berlari, berlari, berlari untuk ke sekian kalinya, tiada pernah sudi henti. Aku melintasi lorong-lorong yang panjang sekali bak tiada berujung. Aku pun melewati lembah, ngarai, jurang kemudian tiba-tiba terperosok di dalamnya, dan sungguh harus berjuang keras untuk bisa kembali ke tempat yang aman.

Duhai, lelah, lelahnya seolah takkan pernah berkesudah!
Jangan pernah menyerah, ayo, bangkitlah!
Ada seberkas cahaya yang mengintip malu-malu di lelangitan kalbuku.

Aku sebagai selembar nyawa tak berharga, maka menggeliat perlahan. Kurentangkan tangan-tangan jasmaniku, sayap-sayap ruhaniku dengan semesta enerji yang masih kumiliki.
“Bagaimana ini, Dok, tensinya belum stabil….”
“Tidak teraba….”
“Tapi HB-nya mulai meningkat, ini sudah 5,2….”
“Setelah ditransfusi sebanyak itu?”
“Iya, Dok….”

“Berapa trombositnya?”
“Mulai naik juga, Dok, sudah 2000-an….”
Oh, itu masih sangat rendah, standar terakhir yang disebut oleh dokter hematologiku dalam kisaran; 150 ribuan!
Nah, sekarang aku harus bangun, haruuuuus!

Beberapa saat lamanya kukumpulkan segenap enerji yang masih kumiliki.  Ini sebuah perjuangan dahsyat yang harus kutempuh, di antara rasa sakit luar iasa di sekujur tubuhku, aku berjuang, berjuang dan berjuang tanpa henti.

Kemudian, enerji itu kusalurkan ke bagian kaki-kakiku yang telah terbebas dari selang infus. Kaki kanan, ayo, bergeraklah!

Aku merasa berhasil mengangkat kakiku, kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Seketika seberkas cahaya menerobos melalui kisi-kisi hati, menyergap jantungku, dan menohok langsung memori di kepalaku. 

Cahaya yang maha indah adalah mengingat kembali keberadaan kita, siapa diri kita, nama kita, dan keluarga kita. Ya Allah, sungguh!

Aku bisa mengenang kembali dua bintangku, dua belahan jiwaku; Haekal dan Butet. Dan menantuku Seli serta dua cucuku; Zein dan Zia!
“Janji, ya, janjiiiii….. Mamaniniii!”

Nah, itu suara Zein yang pernah memintaku berjanji. Agar aku sehat, kemudian mengajak dia jalan-jalan kembali, dan membelikannya mobil-mobilan.

“Yang gedeee bangeeet!” katanya serasa terngiang-ngiang di telingaku.
“Zeiiiin! Ziaaaa!” Kudengar jeritanku sendiri, menggema ke mana-mana.
“Haekaaaal! Buteeeet!”

Ini juga jeritanku, dan kusadari itu sesungguhnya tidak baik, tidak sopan. Aku telah mengganggu ketenangan siapapun!
Seseorang menepuk-nepuk pipiku agak kuat. “Bu, Bu…, sadar, ya Bu!”
“Iya, Dokter. Aku sadar benar ini. Aku seorang nenek, seorang ibu, pasien kelainan darah bawaan,” aku kembali mengerang dan meracau. “Dokter, mohon, maafkan aku lahir batin, ya. Mohon ikhlasnya, ya, izinkan anakku datang ke sini, kumohooon….”

Tak ada jawaban, entah berapa lama itu berlangsung. Mereka tak memedulikan permintaanku. Seorang perawat berjanji akan mengabari keluargaku, jika mereka ada di luar ruangan ICU. 

Namun, aku tak tahu apakah ia melaksanakan janjinya, atau bahkan melupakannya sama sekali.

Otakku terus berputar, mencari akal, bagaimana caranya menarik perhatian dokter. Seorang dokter muda, bukan dokter Kris, entah siapa namanya, tahu-tahu telah berdiri di samping ranjangku. Kurasa ia seangkatan dengan dokter Kris.

“Ibu, jangan hebohan terus dong. Itu tidak baik untuk kondisi Ibu sendiri. Juga sudah mengganggu pasien-pasien lainnya di ICU ini….”

Aku tidak menyahut sampai ia berlalu. Otakku masih terus berputar, terus memikirkan banyak hal, merekam semua hal di sekitarku. Di sini waktu tak bisa kuperkirakan, entah siang entah malam, semuanya tak jauh berbeda.

Nuansanya senantiasa berbau kesakitan, penderitaan dan kematian. Kutahu, satu demi satu di sebelah-menyebelahku akhirnya menyerah, berjabat tangan dengan sang malaikat maut yang segera membawanya pergi, entah ke mana.

Aku selalu berusaha menanyakan waktu kepada perawat, beberapa kali, tak peduli disebut nyinyir dan cerewet.

“Ini bulan suci bulan Ramadhan, Bu,” kata seorang perawat muda.
“Oya, aku ingat sekarang, terima kasih, Suster.”

Sesaat aku merasa senang, seperti telah menemukan suatu celah baru. Tentang waktu, lihat saja bagaimana mereka berbuka puasa atau makan sahur. Namun, hanya satu-dua orang saja yang berpuasa di sini. Selebihnya senang sekali bicara tentang makanan sesuka hatinya, kemudian mengajak makan dan minum di ruangan sebelah, tempat mereka rehat.

Mereka, para perawat di sini, ternyata punya kebiasaan yang sama dengan ibu-ibu tetanggaku di kampung Cikumpa, yakni; ngerumpi. Kalau sudah kumat ngerumpi, woooow!

Mulai dari menggunjingkan artis yang selingkuh, Gus Dur yang dirawat di lantai 3, doyan menghilang setiap tengah malam, membandingkan ponsel masing-masing sampai urusan THR.

Suatu saat seorang dokter lelaki, kulihat dengan jelas tagname di dadanya; dokter Hadi, melakukan pemeriksaan sekilas terhadap diriku.

“Sekarang, apa yang Ibu rasakan?” tanyanya.
Sesungguhnya aku merasa mulai tenang. Mungkin masih dalam pengaruh obat anti nyeri dosis tinggi. Pokoknya, aku merasa “baik-baik” saja, terbebas dari rasa sakit yang merejam sekujur tubuh.

Namun, entah mengapa, aku iseng menyahut begini; “Semuanya sakit dan pikiranku kacau-balau.”

“Oh, itu biasa, Bu. Namanya juga habis dioperasi besar. Sabar, ya Bu.”
Aku segera mengacungkan tangan kiriku. Telapak tangan dan jari-jemariku yang tertutup perban tampak bulat-bulat, serasa kebas, nyaris tak bisa kurasai sakitnya lagi.

“Lihat, Dokter, mengapa tangan-tanganku jadi bengkak begini? Aku masih ingat, asalnya tidak seperti ini,” ujarku bernada menggugat.

Ia mencermati tanganku, kaki-kakiku, wajahku kemudian berkata: “Oke, Bu, nanti aku beri obatnya, ya. Biar tidak bengkak-bengkak lagi.”

Tak berapa lama kemudian seorang perawat mendatangiku. Ia membawa tiga spuit berisi tiga macam obat, sekaligus diinjeksikan kepadaku melalui vena.
“Ini disuntik apa, Suster?”
“Antibiotik dan vitamin C, Bu.”

“Aduuuuh!” seruku tertahan, rasa pedas dan sakit dalam sekejap menyerbu urat-urat nadiku. Hawa panas pun terasa meruap di tenggorokan dan hidungku.
“Maaf, obat apaan sih ini, Suster?” tanyaku penasaran.
“Ibu ini kok cerewet, ya. Tadi kan sudah dikasih tahu….”

“Belum jelas, apa?” buruku mencegahnya pergi.
“Itu tadi, Bu, namanya lasik, antibiotik dan vitamin C. Sudah, ya Bu, masih banyak kerjaan nih!”

Mengapa aku diberi lasik? Setahuku obat itu sering diberikan kepada pasien gagal ginjal yang pernah tetanggaan denganku di lantai 8. Lagipula, aku ini pasien kelainan darah bawaan. 

Tidak boleh diberi obat sembarangan. Pemberian banyak obat antibiotik malah mengakibatkan HB-ku hancur!
Ini konspirasi!

Mereka memang tak menyukaiku, hanya karena aku terlalu banyak bertanya, nyinyir dan cerewet. Suka membuat kehebohan dengan jeritan-jeritan, erangan-erangan tak berguna!
Mereka hendak melenyapkan diriku!

Coba, lihatlah, itu dokter Mira, berkasak-kusuk dengan rekan-rekannya. Mereka mengganti catatan-catatan di statusku, ya, menggantinya dengan keterangan yang mengacaukan. Tidak sampai di situ saja, bahkan mereka kemudian menukar statusku dengan status pasien di sebelahku.

Aduh, mereka akan menghilangkan keberadaanku dari tempat ini!

Sejak saat ini, segalanya kembali ngedrop, demikian menurut perasaanku. Takaran darahku bergeming di tataran 5, meskipun entah berapa puluh kantong darah telah ditransfusikan. Trombositku seolah-olah stag di angka 3000.

Sesungguhnya yang paling mencemaskanku adalah tensiku melejit ke angka; 200/120. Bapakku meninggal karena struk, aku anaknya yang sulung, mungkinkah mewarisi “kestrukannya”, ya?

Meskipun demikian, aku masih mencatatnya dalam memori otakku, berbagai hal yang berseliweran di sekitarku. Pasien kanker rahim di seberangku dinyatakan telah “lewat”. 

Demikian pula pasien kanker otak di sebelahku, menyusul beberapa menit setelahnya.
Sementara pasien lelaki di ujung sana, setiap saat menjerit, mengerang dan mengaduh, lebih hebat daripada yang pernah kulakukan tanpa sadar. Ia terus jua meracau.

“Dokteeeer! Susteeer! Sini, biar kutandatangani di atas segel bermaterai. Aku ini seorang komisaris perusahaan bonafid! Aku mau tawarkan 100 juta, asalkan kalian bisa menghilangkan rasa sakitku ini. Toloong!”

Kurasa takkan ada yang memedulikannya. Karena semua pasien dianggap tidak waras otaknya. Kami, para pasien di ICU ini hanya dianggap sebagai nomer, atau objek separo hidup yang boleh diperlakukan dengan semena-mena.

Mengapa bisa demikian? Ya, karena pasien dan keluarganya telah menandatangani persetujuan tindakan apapun yang akan diambil oleh tim medis.

Menit demi menit, jam demi jam terus merangkak. Kondisiku dinyatakan dalam istilah medis sebagai pracoma. Namun, otakku terus jua bekerja, berputar, merangkai-rangkai satu kejadian dengan kejadian lainnya.

Apabila aku sedang tidak kehilangan kesadaran, maka kugemakan zikrullah dalam dadaku. Aku mengulang-ulang bacaan surah pendek, terutama ayat Kursi dan Al Fatihah.

Anehnya, ada suara yang sering menyuarakan bahwa aku akan keluar dari situasi jahim ini jika bisa merapal surah Yassin. Maka, aku berjuang keras untuk membaca surah Yassin, meskipun selalu terbalik-balik dan tiada pernah hafal seluruhnya. Detik inilah penyesalanku yang terdalam muncul, mengapa sampai seumurku ini, aku tak mampu menghafal surah Yassin? 

Sungguh, bercucuran air mataku sambil berbaring dalam kesakitan, penyesalan yang pedih-perih, luka maha. Ampunilah hamba yang lemah ini, ya Allah, ampunillah, demikian kugeremangkan perasaan sesal dan permintaan ampun kepada Sang Khalik.

Ada suatu masa di mana diriku terbebas dari siksaan rasa nyeri itu. Tiba-tiba aku mendapati diriku berada di tengah gelombang manusia yang sedang melakukan tawaf di Tanah Suci. Bersama rombongan perdana Smart Hajj Cordova, begitu bahagia rasanya aku bisa berjalan, mengelilingi Kabah. Perasaan itu, kebahagiaan yang memuncak telah menyilih segala siksa, segala pedih-perih pasca operasi.

Subhanallah, nikmatnya tiada tepermanai!
Sayang sekali, saat-saat seperti itu hanya sekejap-sekejap kurasai. Dan aku kembali dilambungkan ke dimensi aneh, lorong-lorong berbau anyir, berbau darah, berbau nanah.

Seekor naga raksasa siap mengerkah-ngerkah diriku tanpa ampun!
Ini malam kedua pasca operasi. Jam dinding, ya, akhirnya mataku bisa melihat jam dinding menempel di tembok sebelah kananku. Pukul enam sore, kurasa, tampak beberapa perawat masuk ke ruangan rehat. Mungkin mereka hendak berbuka puasa.

Seketika aku melihat kesibukan luar biasa terjadi di sekitar ranjangku.
“Hei, hei, apa yang kalian perbuat?” seruku tak dapat menahan rasa terkejut dan ingin tahu.
“Tenang saja, ya Bu. Ibu sudah boleh dilap, iya kan, dokter Mira?” cetus seorang perawat, kutandai ia paling judes di antara semua perawat di ruangan ini. Tanpa menunggu jawabannya. Tiba-tiba ia menggulingkan tubuhku ke arah kanan.
Gubraaaakkkk!

“Ampun, sakitnya luar biasa!” lengkingku.
“Si ibu ini sudah cerewet, cengeng pula!”
“Aduh, jangan! Aku tak mau dilap! Tak mau diapa-apakan!” seruku tak peduli, mulai merasa panik.

Beberapa menit sebelumnya, dokter cantik, atasannnya dokter Mira mengatakan kepadaku: “Belum boleh banyak bergerak, ya Bu. Ibu baru menjalani bedah umum. Jangan dilap dulu, jangan dipakaikan sabun, parfum. Intinya harus serba suci hama!”

Perawat itu tak memedulikanku. Ia menggosok-gosok punggungku dengan cara yang kasar sekali. Bukan sebab sakit digaruk bengis di punggung yang kurasai, melainkan sakit lain di dalam dada ini. Perlakuan kasar, galak dan tanpa perasaan yang kuterima begini, sungguh melukai hatiku yang terdalam.

Aku merasa tidak dianggap sebagai sosok manusia yang punya pikiran, harga diri, kehormatan dan martabat.
 “Kita sudah baik-baik memperlakukan Ibu. Tapi Ibu malah jahat begitu, ya!” dengusnya serasa mendesir di belakang telingaku.

Sementara tangannya terus jua menggosokkan handuk kecil ke punggungku, semakin kuat tanpa perasaan sama sekali.

Bahkan naga yang selama ini mengangkang di atas badanku langsung menghilang, entah ke mana. Aku tak tahu lagi, apakah lebih baik dikangkangi seekor naga atau dianiayai seorang perawat.

“Suster, mohon maaf kalau aku ada kekhilafan, ya,” aku mencoba berbaik sangka, bertutur kata dengan santun. “Maafkan juga keluargaku….”
“Sudahlah, Bu, penyesalannya sama sekali gak berguna. Munafik, tahu!”

Astaghfirullah al adzim, gumamku membatin. Suaranya terdengar menyimpan kebencian dan antipati yang dalam terhadap diriku.

“Mengapa membenciku, Suster? Apa sebenarnya yang sudah kulakukan?”
“Percumalah dikasih tahu, sebentar lagi juga diulang! Sudah, jangan banyak omong lagi, ya!”
“Suster…, jangan zalimi aku, ya, kumohooon….”

“Huh, heboh melulu kerjaannya, capeeee deh!” sahutnya seraya ngeloyor, menjauhiku.
Seorang rekannya dari belakang meja pembatas, sudut jaga perawat, berbicara agak keras: “Ada apalagi tuh si nenek lampir?”

Apa? Dia mengataiku nenek lampir?
“Dia bilang, kita semuanya ini tukang jagal!”
Masya Allah, apa yang dikatakannya Itu?
“Hiiiiih, makin gelow sajah mulutnya!”
“Memangnya dia minta apalagi, Kak?” timpah rekannya yang lain.
“Mau be-a-be, katanya, minta dipompa!”

“Ya wis, biar aku saja!”
Perawat itu mendorong rak kecil berisi obat-obatan dan peralatan medis, seperti jarum, perban, alkohol dan lainnya. Dalam sekejap ia telah berada di sisi kanan ranjangku. Siap melaksanakan hasratnya; menyingkirkan diriku!

“Sudah saatnya minum obat. Tapi sebelum minum obat, harus makan dulu, ya!” ujarnya sambil menyambar semacam gayung kecil terbuat dari almunium, berisi air bening.
“Nah, ini minum, ya, minum yang banyak! Habiskan, hmm, habiskan!” ceracaunya seraya menarik selang kecil yang menggantung di leherku.

Ia melakukan semuanya itu seperti seorang peternak memberi minum sapi-sapinya. Persis dan…, byuuuur!

Entah berapa liter air digelontorkan langsung ke lambungku. Dalam hitungan detik aku sudah bisa merasai pengaruhnya. Serasa ada yang runtuh di dadaku, kemudian ambruk, meluncur terus ke bagian bawahku, membarengi rasa sakit luar biasa!

“Allahu Akbaaar…., sakiiiit!” Aku melolong-lolong kesakitan.
Ia tak memedulikanku, tangannya kini menyambar botol obat bernama dulkolax. “Dan ini obatnya, biar gampang buang air besar, oke!”  

Lagi: byuuuur!
Aku terus melolong-lolong, menjeritkan asma-Nya, hingga suaraku kembali tertelan di tenggorokan, dan hanya bisa mengucap lirih: “Allaaah…. Allaaah….”

Bayangan anak-anakku melintas di tampuk mataku. Haekal dan Butet menggedor-gedor pintu ICU. Keduanya berteriak-teriak, ya, akhirnya mereka teringat akan ibunya ini. Kudengar dengan jelas, keduanya menyebut-nyebut nama asliku, nama penaku dan sebutan terakhirku di rumah: Manini!

Namun, tiada yang memedulikan mereka. Bahkan ketika seorang perawat senior memberi intruksi, agar nomer 9 diberi morphin lagi, untuk ke-3 kalinya. Sejauh itu tiada pula yang berkenan mengulurkan bantuan untukku.

Maka, aku pun kembali terbang, melayang-layang, merambah jomantara, melintasi rimba raya, membelah samudera luka, penuh dengan darah, penuh dengan nanah.

Dimanakah gerangan benteng cahayaku, duhai semesta gulita?

@@@

2 Komentar

  1. Astaghfirullahaladzim...rumah sakit apa bunda namanya? mesti dikomplain tu..sebut aja namanya bund, harus diberi peringatan perlakuan mereka..supaya bisa memanusiakan manusia...syafakillah ya bunda..mga bunda segera diberi kesehatan kembali :) msh banyak yg menunggu karya2mu ;)

    BalasHapus
  2. mengapa kita yg selalu "dicap" ramah oleh orang barat ternyata senjata makan tuan terhadap saudara nya sedniri. sy tinggal di negara barat, mbak, sy pun pernah di operasi kecil, gratis lagi. tp maa shaa ALLAH suster2 barat itu bgitu ramah, sabar dan sopan. mereka memandikan sy dgn lembut seakan sy sebuah porselen. semoga ALLAH memberi kemudahan untuk mbak Pipiet.

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama