Nonton Sandiwara: Kuntilanak Kepingin Kawin


Mengenang masa kecil di Shen Zhen, Berobat Lever

Cimahi, Kenangan Masa Kecil, 1962
Emih, demikian kami para cucu menyebut nenek dari pihak ayahku, suka sekali mendongeng. Hingga beberapa waktu lamanya aku sempat sangat terpengaruh dengan dongeng pewayangannya. Bahna terpengaruhnya otakku, sampai aku berangan-angan suatu saat bisa juga bertemu dengan tokoh-tokoh pewayangan. Terutama tokoh Gatotkaca dan Kresna, idolaku ketika bocah. 
Pikiran itu buyar saat aku membaca komik pewayangan. Terutama karya RA. Kosasih, komikus pewayangan yang sangat memukau. Membuat kita bisa mengerti silsilah dunia pewayangan, asal-usul karya besar Mahabrata dan Ramayana.
Ketika aku membacakan komik-komik itu kepada Emih, dia tetap bersikukuh dengan pemikirannya sendiri.
“Dunia pewayangan itu pernah ada. Hidup. Nyata. Bahkan sampai kapan pun akan tetap demikian. Emih pernah ketemu seorang kakek yang baru turun gunung Manglayang. Kakek itu mengaku ketemu Arjuna dan Batara Guru di puncak Manglayang,” katanya keras kepala.
Biasanya aku memilih menyingkir untuk mengalah, iyalah, daripada berbantahan dengan nenekku yang satu ini. Bisa-bisa aku kehilangan jatah surabi panas dan cemilan, oleh-olehnya tiap pagi dari pasar.
Setiap liburan, aku akan diajak Bapak ke Cimahi. Acara yang aku sukai ialah menonton sandiwara Sunda. Semacam pementasan Srimulat. Gedung sandiwaranya lumayan bagus untuk ukuran kala itu.
Konon, di zaman Belanda suka dipakai pertunjukan opera. Tontonan nonih-nonih dan menir-menir Belanda. Letaknya tak jauh dari alun-alun dan Mesjid Agung. Macam-macam lakon digelarkan oleh mereka.
Di Cimahi nama kelompok sandiwaranya aku tak ingat lagi, tapi mereka bermain bagus sekali, menurut kacamata anak kecil. Kecanduan Emih akan sandiwara ini menurun kepadaku. Dua kali sepekan dipastikan kami akan menonton sandiwara. Pilihannya pada malam Jumat dan malam Minggu. Malam Jumat biasanya melakonkan cerita-cerita seram, misteri. Sedangkan malam Minggu lakonnya dramatis, tragedi keluarga.
Kalau kebetulan tak punya duit, Emih sampai bela-belain menggadaikan kain batik tulis simpanannya.
Satu hari, adikku En bersikukuh ingin ikut.
“Janji, ya, nanti kamu jangan minta pulang pas lagi rame-ramenya,” tuntutku kepada En.
“Iya, janji, pokoknya ikut!”sahutnya sambil cengengesan.
Meskipun Emih dan aku meragukannya, akhirnya kami bawa juga En. Kalau tidak, pasti akan terjadi kehebohan. En akan menangis berkepanjangan, dan itu hanya menimbulkan ketaknyamanan orang serumah.
Benar saja, tepat saat lakon Kuntilanak Mau Kawin akan dimulai, En merengek ketakutan.
“Pulang, takut, iiih, pulaaang!”
“Diiiiih, kamu ini sudah ingkar janji!” kataku gemas sekali, rasanya kepingin mencubit pipinya yang mulus itu.
“Pokoknya mau pulang, Emih, hayu!”
Emih membujukku agar mau mengalah.”Emih akan titipkan kamu ke Ceu Imas, ya, Neng. Tidak lama. Nanti Emih akan buru-buru balik ke sini.”
Terpaksa aku mengiyakannya dengan mulut cemberut. Ceu Imas seorang janda, pemilik kios makanan di areal gedung sandiwara. Ia memperlakukanku dengan baik, diberinya aku segenggam permen warna-warni dan sebungkus kacang goring.
Namun, tak berapa lama kemudian datanglah seorang anak muda. Mereka berbisik-bisik, menunduj-nunjuk ke arahku, entah apa yang dibicarakan.
“Ada apa, Ceu Imas?” tanyaku ketika dia menghampiriku.
“Ini ada perlu dengan teman lama. Duduk saja yang manis di sini, ya Neng. Ceuceu mau pergi dulu sebentar,” kata perempuan berbusana serba ketat dengan rias wajah menor mencolok itu.
“Jangan lama-lama, ya Ceu Imas,” pintaku mulai kebat-kebit.
Sandiwaranya sudah dimulai dengan suara babaung, anjing melolong tengah malam, bercampur dengan bunyian menyeramkan. Nuansanya mengesankan segala makhluk halus akan bermunculan.
Awalnya aku tenang-tenang saja, duduk manis dan menonton dari kejauhan di dalam kiosnya Ceu Imas. Waktu terus berjalan dan lakon sandiwara pun bergerak terus.
Hingga suatu saat, ndilalah, sosok-sosok menakutkan sebangsa kuntilanak, perempuan berambut panjang dengan gaun putih pun semakin banyak bermunculan di panggung sandiwara.
Aku keluar kios Ceu Imas, berbaur dengan para penonton lainnya, merangsek terus ke depan. Makin lama makin menakutkan rasanya. Akhirnya aku merasa tersesat di tengah para penonton.
Tiba-tiba aku menghebohkan seisi gedung sandiwara, menjerit-jerit histeris. “Toloooong! Toloooong! Aku anak hilaaaang!”
Hatta, Emih menemukanku sedang dirubungi para pengasong dalam keadaan antara eling tidak eling. Kabar itu sampai juga ke kuping ayahku. Kontan saja Bapak marah, dan melarang keras aku tidak boleh ikut Emih menonton sandiwara lagi.
Untuk beberapa waktu Emih menghentikan kegiatan menonton sandiwaranya. Kalau tidak, Emih akan sembunyi-sembunyi dari anak-anak. Namun, setelah kejadian itu tak ada yang mengingatnya lagi, ndilalah, Emih kembali mengajakku. Aku pun akan dengan sukacita mengintil di belakang Emih, menuju gedung sandiwara. Hehe.
Aku rasa saat-saat itulah otakku, jiwa seniku mengalami pengayaan batin dengan berbagai cerita sandiwara; dramatika, romantika dan suspense, pokoknya, segala hal yang berhubungan dengan cerita scenario, lakon novel.
***

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama