Ilustrasi: dari betawirempug.org
Kalau
bicara urusan hantu, jin belau, kuntilanak, genderewo, rasanya tidak bakalan
ada habisnya, ya Sodara?
Ada
yang mengalaminya sendiri, ada juga yang sekadar mendengar kisah dari temannya
yang entah benar atau tidak, wallahu alam.
Ini
pengalamanku yang sering bolak-balik ke rumah sakit, dan tiga kali mengalami
masa yang disebut "in-coma" oleh paramedis.
Rumah
Sakit Dustira di Cimahi, pertama kali menjadi pasiennya ditempatkan di kamar
untuk kelas perwira menengah, karena waktu itu ayahku seorang Kapten. Dari
kamarku bisa kulihat bangunan bangsal 13, tempat pasien sakit jiwa.
Entah
mengapa harus ditempatkan di bangsal bernomer 13, tapi kutahu, beberapa rumah
sakit menempatkan mereka memang di ruangan bernomer 13.
Acapkali
kudengar lolongan menyayat dari arah bangsal 13, mereka menyebutnya Blok Zal.
Tepatnya meratap, tak sudi menerima diri mereka disebut orang gila.
Suara-suara
jeritan, lolongan yang terdengar mengerikan itu terutama akan semakin sering
menggema dari Blok Zal ini, tengah malam sampai subuh.
Acapkali
kubayangkan mereka sengaja saling sahut menyahut, mungkin menjeritkan
kekecewaan dan kemarahan terhadap dunia. Mulailah segala imaji liarku
bermain-main di benak, meskipun saat itu aku tak bisa menuangkannya.
Namun,
suasana macam itu sungguh melekat dalam kenangan dan memori otakku. Kelak,
bertahun kemudian aku akan menuangkannya dalam bentuk cerpen, novelet atau
novel.
Suatu
hari, aku ditransfusi, entah untuk ke berapa kalinya, lah wong sudah 17-an, sedang
aku ditransfusi sejak umur 9 tahun. Emak sedang gering, adik-adikku sibuk
sekolah dan ujian. Jadi, aku harus membiasakan diri tidak ada yang menjaga,
harus mandirilah sebagai pasien penyakit kelainan darah bawaan, seumur hidup!
Oya,
waktu itulah aku baru menyadari betul bahwa diriku ini pasien yang takkan
tersembuhkan. Intinya, jika disiplin berobat bisalah bertahan, tetapi jika tak
pedulian dipastikan bakal gameover sebentar lagi.
Dokter
Prie keturunan Tionghoa, dialah yang menanganiku ketika itu, tengkiyuuuu,
mhuuuaaa!
Nah,
di sebelah kananku pasien entah apa penyakitnya, sudah sepuh dan kabarnya telah
tiga minggu dalam kondisi; mati ogah, hidup pun enggan. Dia pun tidak ditunggui
keluarganya. Padahal, konon beliau ini ibu seorang Gubernur di Sulawesi sana.
Kalau
suuzon, kemungkinan sekali keluarganya sudah tak bersedia merawatnya, maka
dititipkanlah si Oma di rumah sakit nun jauh di mata. Bayangkan saja jarak
Cimahi-Sulawesi, woooow, apa bukan dibuang tuh namanya, Gubernur?
Aku
sedang menerima botol yang keempat menjelang malam itu. Darahnya belum dicuci,
jadi masih darah lengkap yang sering membuatku menggigil setengah mati, dan
berhenti sebentar diganti infusan, kemudian dilanjutkan kembali setelah reda
demamnya. Demikian prosesnya bias berhari-hari dan bermalam-malam.
Pukul
sepuluh malam, kudengar bunyi dentang lonceng dari kejauhan. Di Cimahi ada
beberapa gereja tua peninggalan Belanda, maklum kota tentara sejak zaman
kolonial.
Mendadak dari arah pasien di sebelahku terdengar ngorok yang berbunyi
keras sekali; groooook, groooook, groooook!
"Oma,
ngoroknya pelanikan saja, ya Oma," pintaku bagai orang gila saja, kan gak
mungkin juga disahuti. Wong sudah koma berpekan-pekan.
"Gheeeerrrrr!"
Ops, dia menyahuti, meeen!
Iseng
kusibak pelan tirai putih yang menghalangi kami. Oya, bangsal itu terdiri dari
tiga pasein, ya, aku di tengah-tengah. Ranjang sebelah kiriku kosong melompong.
Hmm,
dia ternyata masih dalam posisi semula yaitu; terbujur tak berdaya dengan
selang oksigen menempel di hidung, selang-selang lainnya menempel di mana-mana.
Ya, di bagian perut, di bagian bawah juga untuk mengalirkan urine ke
kantongnya, selang infus berwarna kuning dan putih. Halaaah!
"Oma,
marah, ya?" tanyaku pula masih iseng.
"Gheeerrrrr!"
Benar
loh, ada yang menyahutiku begitu saja; gheeer, gheeer, tetapi tak tahu dari
mana munculnya. Wong hidungnya dan mulutnya ada selang-selang!
Mendadak
bulu kudukku meremang. Kayaknya bukan si Oma yang menyahuti. Hiiiy, kutarik
selimut yang melorot, bruuuk, kututup wajahku. Kemudian aku berusaha keras tak
mau peduli dengan sekitarku. Ya wis, merem, mereeeem!
Ehh,
beberapa saat kemudian ada yang berdehem;"Eheeeeem!" demikian bunyinya.
Tanpa
sadar kubalas;"Eheeem!"
Mendadak
ada yang balas dehemku:"Ehem! Eheeeemmm!"
Darah
mudaku sontak naik ke ubun-ubun. Meskipun lagi ditransfusi dan takaran darahku
cuma 5 saja, tetapi aku dididik gaya militer oleh bapakku sang pejuang 45.
Jadi,
kukuakkan selimut, tanganku kembali menggerayang tirai pembatas, kuintip si
Oma. Kelakuannya masih seperti sebelumnya, terbujur kaku dan lemah, kunampak.
Napasnya tinggal satu-satu, woaaaaaa!
Lantas
siapa itu yang dehem-dehem dan bilang; gheeer-gheeer?
Malam
terasa sangat panjang. Mataku sungguh tak bisa terpejam barang sedetik pun.
Perawat datang memeriksaku. Seorang perawat cantik, aku biasa memanggilnya Teh
Elly.
"Teh,
temani aku saja di sini, ya, pliiiis," pintaku memelas.
"Sebentar
saja, ya sayangku. Di kamar sebelah ada pasien gawat baru datang. Aku
ditugaskan di sana."
"Memang
yang jaga berapa orang?"
"Hanya
tiga orang..."
"Untuk
50 pasien?" seruku kaget.
Dia
mengangguk dan tersenyum. Beberapa saat aku punya teman. Kami ngobrol
ngalor-ngidul sampai sekitar pukul satu malam, seketika si Oma kembali ngorok
keras-keras, sekeras-kerasnya!
“Ghroooook,
ghrooook, heeekkkkk!”
Tiba-tiba
terjadi kesibukan luar biasa. Suster Elly memanggil teman-temannya dan dokter
jaga. Mereka pun melakukan tindakan, entah apalah nama medisnya, yang jelas,
aku tak mau menyaksikannya.
Kututup
mata, meskipun kubiarkan suara-suara itu memasuki gendang pendengaranku.
Innalilahi,
si Oma akhirnya pergi juga menghadap Sang Penctipa pukul 01.36. Demikian
perawat Elly menyatakan.Ia kemudian dibantu temannya mengurusi Oma, sehingga
rapi dikafani.
“Oke,
selesai. Tunggu dua jam lagi kita angkat ke kamar jenazah,” entah suara siapa
itu yang jelas mendesir di telingaku.
Setelah
para perawat pergi, tinggallah aku dengan jenazah si Oma di kamar yang semakin
hening itu. Kurasa hatiku sudah kebas dari rasa takut dan ngeri. Ini bukan kali
pertama diriku berada satu kamar dengan jenazah.
Bahkan pernah di dalam satu
kamar untuk tiga orang, dirikulah yang masih bernapas. Artinya, aku berada di
antara dua jenazah!
Malam
itu, masih kuingat adalah malam Selasa. Aku pun berusaha melanjutkan sisa waktuku,
meskipun aneh bin ajaib, secara samar-samar kupingku masih saja mendengar suara
menyeramkan itu;"Gheeerrrr, ghrooook, gheeeer, ghrooook!"
Entahlah,
suara apakah gerangan itu. Sampai pulang sekalipun, bahkan sampai detik kutulis
postingan ini dan kusajikan kepada kalian, sobatku di manapun; aku tak pernah
tahu milik siapakah suara itu.
Wallahoalam
bissawab.
hiiii... kira2 siapa ough?
BalasHapusLagi-lagi...
BalasHapusBenar-benar mendebarkan, Bundaaa.... T-T
*hawa mistis menyelimutii
Feri; sakit apa naaaak, jangan lama lama di rumah sakit ya, nanti ada jurig grokgroookkk nah loooh hehehehe
BalasHapusAn Maharani: ini mah bukan mistisan, lah itu yang kualami, gak tahu juga itu bunyi siapa yeeeh...hihi
BalasHapusPosting Komentar