Ilustrasi:
Salut dengan anak-anak berkebutuhan khusus asyik melukis
Suatu
masa di tahun 1961.
Kejadiannya
di Cimahi, kampung halaman Emih. Mak sering mengalami sakit kepala, sakitnya
lumayan parah. Mak harus diopname di RS Dustira. Sebelumnya telah dirawat juga
di RS Sumedang. Tetapi tak banyak perubahan.
Dokter
menyarankan untuk melanjutkan pengobatannya ke rumah sakit yang lebih lengkap.
Untuk beberapa waktu lamanya aku terpaksa ditinggal di Sumedang. Karena saat
itu aku sudah sekolah di Taman Kanak-Kanak Persit Kartika Chandra.
Pada
kesempatan liburan Bapak mengajakku menengok Mak. Saat itulah aku baru
mengetahui, pekerjaan Emih adalah bakul sayuran di Pasar Tagog.
Dini hari
Emih sudah berangkat ke Pasar Antri atau Pasar Atas. Sekitar pukul setengah
enam Emih sudah kembali. Langsung menggelar dagangannya di pinggir jalan. Emih punya
jongko sebagai lapak tempat
dagangannya.
Saban
petang kami akan diajak Emih untuk besuk Mak. Biasanya Uwak Titi, kakak sepupu
Bapak, dan seorang anak laki-lakinya ikut bersama kami. Biar ramai dan agaknya
Mak merasa hangat oleh nuansa kekeluargaan. Maklum, diopnamenya bukan
seminggu-dua minggu, tapi sampai berbulan-bulan.
Sementara
itu, Bapak sedang sibuk ikut pendidikan,
SECAPA atau sekolah calon perwira untuk kenaikan pangkat. Bapak tak bisa pulang
setiap hari. Hanya setiap akhir pekan Bapak bisa berkumpul dengan keluarga.
Kulihat
adikku En yang selalu lincah itu berkejar-kejaran dengan Gaga, anak semata
wayang Uwak Titi. En selalu bergerak, seakan-akanbi tak pernah merasa lelah.
Sedangkan
aku mudah sekali lelah. Belum ada yang memaklumi benar mengapa aku cepat lelah.
Mudah pusing dan gampang jatuh sakit. Paling mereka mengira aku bengek atau
paru-paru tidak normal.
Sepasang
mata Mak yang lembut tampak sendu. Memandangiku dan adik-adik bergantian.
Merabai pipi kami dan mengelus rambut kami.
“Kapan
Mak pulang?” tanyaku menatap kepala yang dibelit selendang kecil.
“Maunya
sekarang. Tapi kepala Mak masih sering sakit, sakiiit sekali,” keluh Mak sambil
menitikkan air mata.
Beberapa
hari kemudian Mak diperbolehkan pulang. Keluarga Bapak menyarankan mencari
pengobatan alternatif buat Mak.
Suatu
hari datanglah seorang pintar. Mereka menyebutnya Amih Lala. Seorang perempuan
separo baya dengan dandanan dan rias muka yang seronok. Rambutnya keriting
kecil, perawakannya tinggi besar, bibirnya tebal dan jebleh dengan lipstik murahan.
Aku dan
adikku En suka lepas dari pengawasan orang tua, berdua kami akan diam-diam mencari
sudut yang aman agar bisa menonton pengobatan Mak.
“Sediakan
tiga butir telur ayam kampung. Kembang tujuh rupa dan air putih sebaskom,”
pinta Amih Lala kepada sanak kerabat yang sedang mengunjungi Mak.
Mak tidur
di atas kasur di tengah rumah, sekilas kondisi Mak seperti orang sehat saja.
Namun, kalau sudah kambuh sakit kepalanya… wuiiih… kasihan sekali!
Kami sering
ikut merasakan kesakitan, panik dan bingung dibuatnya. Kurasa Mak ingin sekali
sembuh. Maka, apapun yang dikatakan orang, bila itu menyangkut demi
kesembuhannya, Mak mau saja melakukannya.
“Penyakit
ini sengaja didatangkan oleh orang yang iri dengki kepada Kang Koko,” ujar Amih
Lala sesaat memeriksa Mak. “Guna-guna ini sebetulnya ditujukan untuk Kang Koko.
Tapi karena si Ayi Alit ini lemah, yah… kenalah dia!”
Amih Lala
kemudian menempel-nempelkan sebutir telur ayam kampung ke sekujur tubuh Mak.
Terutama lama sekali ditempelkannya di selitar dahi, kepala, dan tengkuk Mak.
Lantas, dia pun memijat beberapa titik anggota tubuh Mak. Agaknya pijatannya
itu sangat menyakitkan.
“Lepaskan
Maaak!” sergahku dan adikku En tak tahan lagi.
Kami pun
menyerbu dari balik gorden. Tetapi para orang tua segera menjauhkan kami dari
Mak. Bagaimana pun kuatnya kami berontak, tapi apalah daya kami, anak kecil
ini, untuk melawan dua-tiga orang dewasa?
Emih
membiarkan kami duduk di balik punggungnya, sehingga kami bisa menyaksikan
gerak-gerik Amih Lala selanjutnya.
“Naaah,
sekarang kita pecahkan ketiga telur ini. Lihat dan perhatikan apa isinya!” ujar
Amih Lala.
Trek,
trek, praaang!
Ratusan jarum
kecil keluar dari telur pertama. Belasan lintah, cacing, dan lipan keluar dari
telur yang kedua serta segenggam rambut keluar dari telur ketiga. Semua yang
hadir berdecak, takjub, kaget, heran, ngeri dan macam-macamlah!
“Benar kan, apa kataku tadi?
Ini namanya santet atau guna-guna orang. Bukan penyakit sembarangan. Penyakit
kiriman orang jahat,” Amih Lala nyerocos.
Kemudian kepada Bapak, Amih Lala berkata; “Air baskom ini disiramkan simpangan
jalan di depan sana,
ya Kang Koko!”
“Sekarang?”
“Ya,
tentu saja sekarang.”
“Itu
isi telur-telurnya diapakan, Amih?” tanya Emih.
“Hmmm,
aku akan kembalikan kepada si jahat itu!”
Entah
diapakan, aku tak melihat apa-apa lagi. Keburu loncat mengikuti Bapak, membuang
kembang air bekas mandi Mak. Hasilnya? Entah memang berkat Amih Lala atau sudah
saatnya Mak sembuh. Beberapa minggu kemudian kami pulang bersama Mak ke Sumedang.
Bukan ke rumah melainkan ke rumah sakit kembali.
“Kalian
akan punya adik baru,” kata Bapak suatu hari sepulang dari rumah sakit…”
“Apaaa…?
Adiiik?” seruku dan En.
“Iya,
kali ini mudah-mudahan adik laki-laki!” ujar Bapak terdengat penuh dengan
harapan. (Kenangan lama, Halim, Pipiet Senja)
Posting Komentar