Bukan Sekadar Hari Ibu
Setiap kali ada pertanyaan, "Kangen gak sama Mama?"
Aku selalu berpikir sebentar kemudian menggeleng.
Beberapa mungkin akan menganggap aku anak sadis.
Tapi kenyataannya, aku memang nggak kangen Mama.
Bagaimana bisa kangen?
Mama selalu ada bersamaku, di mana pun ia berada.
Ia ada di senyuman ompong nenek-nenek yang sering kutemui di
pinggir Victoria Park. Ia ada di setiap tas ungu, sepatu ungu, rok ungu, gamis
ungu, jilbab ungu, dan sejuta barang ungu lainnya yang kutemui di jalan, di kepala
orang tak berdosa, serta di kaki emak-emak orang. Ia ada di SMS, tawanya selalu
menyambutku setiap kali aku membuka handphone.
Karena ia mejeng di wallpaper blackberryku, menyeringai di
sebelah figur Papa Batakku yang seumur-umur gak pernah nyengir di foto. Ia ada
di setiap pekerjaanku, kala aku menengok orang sakit di Princess Margareth
Hospital, ia ada di anganku.
Ingin sekali aku membawanya ke sini, agar tidak perlu lagi
berjubel-jubel duduk di lantai RSCM mengantri mati-matian. Tapi disitulah ibuku,
dimana-mana. Karena ia selalu kubawa di hati.
Jadi setiap ada yang bertanya, "Apa kamu kangen Mama?"
jawabanku selalu sama, "Tidak. Karena aku tidak pernah jauh dari
Mama."
Aku menulis ini di atas bus 112, dari Jordan ke Causeway Bay.
Bertanya-tanya dalam hati, ke mana hidup akan membawaku. Bersama siapa aku akan
menghabiskan hidupku. Dan di mana pun kelak aku berada, aku akan membawa ibuku
bersamaku.
Butuh waktu seharian untuk aku kemudian sadar bahwa hari ini
adalah hari Ibu. Sedari subuh, aku terus disibukkan dengan segala persiapan
sidang besar salah satu penghuni shelter Dompet Dhuafa, Nurhidayatun, di Labour
Tribunal, daerah Jordan.
Pagi-pagi sudah ngos-ngosan
ke Christian Action untuk mendampinginya. Dingin-dinginan di ruang sidang.
Deg-degan menunggu conciliation result,
etc.
Sungguh, kalau saja Bu Mia tak bertanya, "Sudah telepon
Mama hari ini?"
Aku cuma mengernyit, "Buat apa?"
Beberapa jam kemudian otakku yang tulalit itu baru nyambung: Ya
Tuhan, ini kan Hari Ibu!
Bergegas aku menghubungi ibuku yang ada di Indonesia.
Seperti biasa ia memaklumi kekuranganku, kepelupaanku.
Aku bertanya-tanya dalam hati, apa sekiranya yang bisa aku
belikan untuk ibuku.
Hadeuh, sangat sulit untuk membahagiakan Mama!
Tahun kemarin pas dia ulang tahun, aku membelikannya gelang.
Menurutku bagus, lah iyalah, harganya sejumlah uang saku seminggu. Eh, tapi apa
yang terjadi, coba, Saudara?
Gelang yang keesokan harinya aku tanya keberadaannya itu, cuma
dibalas gelengan malu. Kabarnya sih, diam-diam diberikan kepada anak buahnya
yang melirik penuh minat secara terus-menerus ke arah gelang di tangan ibuku.
“Kasihan tauk! Dikasihkan sajalah, daripada dia nangis. Kan
berabe. Masa sudah nenek-nenek masih saja bikin nangis anak orang, hayoooo?”
kilahnya lucu, bikin aku ngakak, jungkir-balik.
Tahun sebelumnya aku belikan Mama kue cheesecake, yang dananya susah
payah pula aku tabung. Cheesecake itu kemudian teronggok berhari-hari,
berminggu-minggu di kulkas tanpa ada yang mencolek. Akhirnya aku makan semuanya
sampai habis!
Tahun ini, hmm, aku bingung mau membelikan Mama apa, coba?
Karena aku lagi-lagi serakah, ingin membelikannya berlian, sepeti emas,
segudang sepatu, sedunia dan seluruh isinya ingin sekali kubungkus untuk dia
simpan sendiri.
Tapi ada yang spesial entah tahun ini atau tahun-tahun
mendatang. Aku berjanji akan kuhadiahi Mama seorang menantu yang mencintai,
menyayangi dan menghormati beliau. Yang akan meninggikan beliau seperti aku
juga akan meninggikan orangtuanya. Itu janjiku.
Selamat malam, ibuku tersayang.
Soal tas, baju, dan oleh-oleh lainnya, anggap saja hanya
aksesoris tambahan dari kado terbesar dariku: doa. Selalu. Di setiap shalatku.
Tak pernah sekalipun kulupakan namamu ketika kubisikkan doaku pada-Nya.
(Nostalgia Adzimattinur Siregar, Hong Kong, 2011)
@@@
Posting Komentar