Begitu Mudah Kau Membuang Keluargamu

Judul Asli:: Kau
Oleh: Adzimattinur Siregar














Kuamati jemari keriputmu menggoreskan pena di atas surat cerai itu. Lagi-lagi dengan hati kebas. Ah, hendak lebih kebas seperti apa lagi hati ini. Sudah habis kau sabeti cangkangnya, sudah mati rasa kau hiasi dengan bilur-bilur biru sedari kecil. Kuamati, terus dan terus, berpikir keras apa kau sebenarnya sadar, surat apa yang tengah kau tandatangani ini? Surat putusnya hubungan kekeluargaan kau dan dia, aku dan mereka yang dulu kau sebut keluarga. Teringat bagiku begitu kau bersikeras susah-payah memperjuangkan surat itu. 
Segala pukulanmu, sabetanmu, cubitanmu, senyumanmu, curahan sayangmu, marahmu, bencimu, terkunci rapat di memori masa kecilku, namun tak berarti tak pernah merembes keluar ke masa kiniku. Melalui pekikan tengah malam saat semuanya menelusup dari dunia mimpi. Melalui lirikan sekilas kala mandi, menelusuri luka kecil penuh cerita di tubuhku. Melalui satu demi satu barang yang kerap kau lemparkan padaku, dia dan mereka. Bungkus mie yang salah beli, ujung kaca besar, gulungan koran, sendok nasi besi, piring, gelas, teko, ranting bambu…
Ada juga hal-hal yang memicu senyumku kala mengingat senyummu. Seperti sebuah pohon jambu klutuk. Yang kerap aku naiki untuk menyendiri. Pernah kau dan aku bertarung melawan serbuan ulat bulu demi mencari  jambu-jambu enak. Kukumpulkan hingga menumpuk untuk buka puasa nanti meski sebenarnya gigi mungilku toh belum kuat untuk mengunyah jambu yang keras. Kau pilihi satu per satu. dengan tawa. dengan senyum. sebuah kemewahan untuk diri kecilku.
Kusia-siakan tahun demi tahun mudaku untuk berjuang. Demi memperoleh kebanggaanmu yang entah kau simpan dimana untuk siapa. Bahkan hingga titik ini pun, UI kupersembahkan, Hong Kong kuarungi, LBH, perusahaan besar hingga perusahaan kecil, hingga titik ini. Titik apa ini namanya selain titik selesai?
Kupandangi tanganmu yang sudah selesai menandatangani surat itu. Tak kulirik wajahmu, karena aku tahu akan beku seperti biasa tanpa ekspresi. Sekali lagi kutanya, “Benar kau ingin cerai?” Meski dalam hati, pertanyaanku tidak sesederhana itu.
“Benar kau ingin buang keluargamu yang sekarang? yang sudah susah payah bertahan puluhan tahun menghadapi kegilaanmu? Demi apa? Demi wanita lain yang lebih cantik? Demi anak yang lebih hebat? Lebih membanggakan dari aku dan Abang? Dua manager muda yang memang masih hijau, tapi kami tidak bodoh. Tak sabarkah dirimu akan menunggu kesuksesan kami?
Maafkan aku mencoreng kebanggaanmu dengan menikah sedemikian dininya. Dengan tak menjadi apapun yang kau inginkan dariku. Maafkan Ibuku yang memang penyakitan sedari dulu. Toh kau nikahi juga meski sudah tahu. Mengapa pula harus disesali sekarang setelah ia menjadi tua, keriput dan tak lagi cantik? Tak bisakah kau terima keluargamu ini apa adanya, seperti kami menerima kau apa ada?”
Kau pandangi aku. Tak pedulikan badai di hatiku dan airmata kaca yang hendak meledak keluar. Dengan sigap dan bergegas, kau berujar, “Ya! Tentu saja!”














0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama