Ini titipan catatan harian seorang mantan BMI/TKW Hong Kong.
Namanya Suprapti, tapi lebih dikenal dengan nama pena; Prapti Banjar, karena berasal dari Banjarnegara-Jawa Timur.
Usai berjuang sebagai seorang BMI di negeri beton, Prapti kemudian bergabung dengan Dompet Dhuafa pada Divisi Migrant Institut di Surabaya.
Usai berjuang sebagai seorang BMI di negeri beton, Prapti kemudian bergabung dengan Dompet Dhuafa pada Divisi Migrant Institut di Surabaya.
Prapti termasuk gencar melayangkan protes dan kegeramannya atas kezaliman dan ketakadilan yang masih saja diterima rekan-rekan TKW.
Belum lama ini, Prapti bersama Lea Jaladara (salah satu penulis kisah inspirasi Surat Berdarah Untuk Presiden) duet membacakan suara hati BMI Hong Kong di depan istana Merdeka pada Hari Buruh Indonesia, 18 Desember 2011 yang lalu.
Kini, Prapti bersama teman-temannya sesama mantan BMI Hong Kong terus bergiat memberikan penyuluhan terhadap calon ataupun mantan BMI, melanjutkan perjuangannya untuk mengangkat derajat makhluk yang dijuluki; Pahlawan Devisa, tetapi kenyataan malah senantiasa mendapat perlakuan tak manusiawi ini.
Berikut ini, curahan hatinya yang saya minta dari Prapti Banjar.
Tabik dan salam peerjuangan!!
@@@
Tahun 2011 sudah berlalu namun sejuta kisah yang dialami oleh Buruh Migran Indonesia masih terpahat jelas di ingatan kita semua. Meski para pendiri negeri ini sudah mengamanahkan kepada pemangku kekuasaan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 27 ayat 2 bahwa tiap warganegara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, tetapi realisasinya masih jauh panggang dari api.
Alih-alih menyediakan lapangan pekerjaan yang layak di dalam negeri pemerintah justru sibuk mencari peluang untuk mengekspor sebanyak-banyaknya tenaga kerja kita ke luar negeri dengan mematok target perolehan devisa pula. Perbaikan perlindungan yang dijanjikan pemerintah nyatanya masih sebatas wacana belaka.
Awal 2011 kita sudah disuguhi kisah Darsem, seorang BMI asal Subang yang mendapatkan vonis hukuman mati dengan tuduhan membunuh majikan warganegara Yaman. Pembunuhan ini Darsem lakukan untuk membela diri karena ia hendak diperkosanya. Setelah melakukan negosiasiasi akhirnya hukuman mati untuk Darsem dibatalkan, namun ia diharuskan membayar diyat (denda) sebesar 4,6 milyar. Jumlah yang tentunya sangat banyak bagi seorang BMI.
Dalam pidato di Konfrensi ILO yang ke- 100 Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mendapatkan "standing ovation" setelah menyampaikan pidatonya yang bertajuk "Forging A New Globl Employment Framework for Social Justice and Equality".
Hatta, pemerintah Indonesia telah memberikan perlindungan yang sangat baik kepada warganegaranya yang bekerja sebagai buruh migran.
Belum genap sepekan pidato ini disampaikan publik dikejutkan dengan dipancungnya Ruyati binti Satubi, Buruh Migran Indonesia asal Bekasi yang bekerja di Arab Saudi pada tanggal 18 Juni 2011. Ruyati dituduh membunuh majikannya.
Publik marah, perlindungan yang disampaikan oleh pemerintah nyatanya hanya pepesan kosong belaka!
Dipancungnya Ruyati jelas merupakan bukti nyata kelalaian dan absennya pemerintah dalam melindungi warga negaranya. Reaksi atas pemancungan Ruyati sangat dahsyat, berbagai elemen yang peduli akan nasib buruh migran menggelar aksi. Berbagai media massa pun memberitakannya selama berhari-hari.
Tragedi ini membuat khalayak teringat kembali nasib Darsem. Sikap pemerintah yang diam melihat nasib Darsem memunculkan kekesalan masyararakat. Kemudian setelah dimotori oleh sebuah stasiun televisi yang mengadakan program pengumpulan dana bagi pembebasan Darsem, akhirnya dapat terkumpul uang sejumlah 1,2 milyar.
Entah karena malu atau apa yang jelas setelah aksi ini digelar baru pemerintah mengajukan dana pembebasan Darsem ke DPR yang kemudian disetujuinya dan Darsem pun akhirnya bisa dibebaskan.
Buntut dari dipancungnya Ruyati, pemerintah membentuk Satgas TKI yang mempunyai tugas untuk membebaskan Buruh Migran Indonesia yang terancam hukuman mati. Satgas yang pembentukannya konon menghabiskan anggaran 100 milyar ini ternyata juga tak punya gigi. Beberapa Buruh Migran yang sudah mendapatkan vonis tetap hukuman mati sampai saat ini belum juga bisa dibebaskan.
Saat ini ada dua Buruh Migran Indonesia yang nasibnya sudah diujung tanduk. Yang pertama, Tuti Tursilawati asal Majalengka dan Satinah asal Semarang. Satgas TKI konon sudah melakukan lobby-lobby ke pemerintah Kerajaan Arab Saudi namun belum ada titik terang pembebasan mereka. Upaya yang terakhir, pemerintah mengirimkan mantan presiden BJ Habibie yang mempunyai hubungan dekat dengan kerabat kerajaan untuk melakukan upaya pembebasan Tuti Tursilawati.
Carut-marutnya mekanisme penempatan TKI hingga 2011 berakhir belum juga bisa diselesaikan. Di desa-desa calo-calo atau lebih dikenal dengan PL masih bergentayangan mencari mangsa. Pemalsuan dokumen baik yang dilakukan oleh PL maupun PPTKIS masih banyak sekali terjadi.
Pemalsuan hasil uji kompetensi oleh oknum-oknum terkait, BMI yang mestinya belum mempunyai ketrampilan yang cukup untuk bekerja di luar negeri, karena hasil uji kompetensinya dipalsukan tetap diberangkatkan. Akibatnya sudah bisa ditebak, mereka kerap mengalami tindak kekerasan maupun PHK dini karena dianggap tidak mampu bekerja, maupun berkomunikasi dengan baik dengan pihak pengguna yakni majikan.
Tingginya biaya penempatan (cost strucure) masih menghantui para BMI. Modus interminite (PHK) setelah mereka selesai membayar potongan gaji yang notabene adalah biaya penempatan yang tidak masuk akal itu masih marak terjadi. Kasus-kasus penganiyaan yang dialami oleh BMI juga masih banyak terjadi.
Entah apa yang ada di pikiran pemerintah, saya sendiri sangat heran, ketika para BMI mengeluhkan biaya penempatan yang sangat tinggi, lalu pemerintah menjawabnya dengan KUR yang realitanya sama sekali bukan jawaban. Ketika para TKI meminta perlindungan maka pemerintah memberikan telepon genggam. Kebijakan yang sama sekali tidak lucu.
Asuransi TKI yang diatur dalam Permenakertrans no 7 tahun 2010 mestinya adalah salah satu bentuk perlindungan yang diberikan kepada BMI, nyatanya tak lebih sebagai lahan untuk mengeruk keuntangan secara terorgansisir. Tidak adanya sosialisasi yang diberikan oleh pihak konsorsium asuransi kepada calon BMI menjadi salah satu sebab ketidak tahuan BMI tentang isi polis asuransi dan pengajuan klaim.
Seorang calon BMI tidak bisa mengelak atau menolak untuk membeli premi asuransi TKI padahal semestinya adalah kewajiban pemerintah untuk melindungi setiap warga negaranya baik yang tinggal di dalam negeri maupun yang tengah berada di luar negeri.
Kenyataannya, setelah membeli premi tersebut ketika mereka mengalami musibah yang dicover dalam polis asuransi yang dibelinya, pengajuan klaim tidaklah semudah yang mereka bayangkan bahkan pihak konsorsium asuransi cenderung mempersulit pengajuan klaim tersebut.
Terminal khusus yang dibangun pemerintah untuk melindungi BMI yang lebih dikenal sebagai Terminal IV nyatanya tak lebih sebagai tempat pemerasan yang sudah sangat tersistematis dimana para BMI yang pulang ke tanah air tak punya hak sama sekali untuk melewati terminal penumpang umum, mereka digiring agar melewati terminal IV.
Sejak naik bis yang membawa mereka dari terminal kedatangan internasional ke terminal IV sudah terjadi pemerasan yang dilakukan oleh oknum yang mengantarkan mereka. Tarif angkutan resmi yang ditetapkan oleh BNP2TKI yang besarnya bisa sampai 5 (lima) kali lipat, bila dibandingkan jika naik kendaraan umum sampai pemerasan yang dilakukan oleh oknum sopir dan yang mengantarkan mereka ke tempat asal.
Masih segar tentunya dalam ingatan, Rusmini, seorang BMI asal Sidoarjo yang bekerja di Hong Kong, selama sembilan bulan dia bekerja sama sekali tidak pernah mendapatkan libur, dia dikurung. Pekerjaan yang dilakoninya juga tidak sesuai dengan yang tertera dalam kontrak yang ditanda-tanganinya. Ia yang mestinya merawat bayi ternyata harus merawat anjing. Nasib malangnya tidak berhenti sampai di sini.
Anak majikannya yang berusia 11 tahun sangat kejam. Rusmini kerap ditendang dan dipukulinya, begitu juga dengan kelakuan majikan perempuannya. Rusmini kerap disiksa tanpa alasan yang jelas, Rusmini bahkan pernah dipaksa untuk meminum cairan pemutih dan matanya ditaburi dengan bubuk merica hingga bengkak. Siksaan demi siksaan yang dialaminya membuat Rusmin depresi berat.
Beberapa bulan yang lalu, lagi-lagi seorang BMI Hong Kong yang bernama Nurhidayatun juga mengalami penyiksaan yang sangat berat oleh majikannya, dia kehilangan pendengarnya dan sempat koma selama dua bulan namun mirisnya ketika kasusnya disidangkan dipengadilan Hong Kong majikannya justru dibebaskan dari segala tuduhan. Saat persidangan digelar ternyata KJRI Hong Kong pun absen, tidak memberikan perlindungan pada Nur Hidayatun.
Namun, di atas segala permasalahan yang membelit buruh migran kita, masih ada setitik harapan bahwa revisi UU No 39 tahun 2004 tentang PPTKLN, payung hukum yang mengatur perlindungan dan mekanisme penempatan BMI di luar negeri sudah hampir selesai. Meski tiap-tiap fraksi mempunyai draft revisi yang mereka kehendaki dan banyak
Tarik ulur kepentingan dari berbagai pihak yang ada di dalamnya tapi kita masih bisa berharap bahwa payung hukum yang konon revisinya mencapai 90% itu akan berpihak pada BMI tidak seperti yang telah lalu yang ternyata lebih banyak mengatur mekanisme penempatan ketimbang pengaturan mekanisme perlindungan dan menempatkan BMI sebagai komoditas penghasil devisa.
Pada 2012, dan saya yakin sekali bahwa kiamat belum akan terjadi di tahun ini maka tak ada salahnya kalau kita masih berharap bahwa nasib BMI dan keluarganya akan membaik dan akan tiba masa di mana tak ada lagi pengiriman tenaga kerja kita ke luar negeri karena pemangku kekuasaan negeri ini bisa mengatur pemerintahan dengan baik, pengelolaan sumber daya alam kita yang melimpah benar-benar dipergunakan dengan sebaik-baiknya untuk kemakmuran rakyat sehingga negeri kita yang gemah ripah loh jinawi ini benar-benar akan menjadi sebuah negeri yang baldatun thayibun warrabbun ghafur. Amien.
(Narasumber: Prapti Banjar-Surabaya)
Posting Komentar