Jejak Cinta dan Sepasang Bintang
Pipiet Senja
Siapa
bilang tinggal di kampung bisa hidup tenteram, adem-ayem dan tiada kerusuhan? Aku telah membuktikannya sendiri
bahwa anggapan kampung adalah lambang kerukunan, dan aman tenteram itu; tidak
benar!
Setidaknya untuk kampung bernama
Cikumpa yang kami huni dan menjadi bagian dari warganya. Demikianlah yang
kualami sejak hari-hari pertama menjadi orang kampung Cikumpa.
Menyingkir dari Jakarta, awal 1985,
kami memutuskan untuk melanjutkan hidup berumah tangga yang sempat
bercerai-berai di kawasan Depok. Ini pun dengan berbagai pertimbangan, antara
lain, agar bisa membangun rumah sendiri, dan memutus mata rantai sebagai tukang
kontrak abadi.
Entah karena ini kampung pinggiran
Ibukota dengan warga sebagian besar etnis Betawi, sisanya adalah pendatang.
Terasakan sekali ada aura iri, dengki, tatapan tak bersahabat, tatkala pertama
kali kami memasuki kawasan ini. Seakan-akan kami pendatang, bapak anakku asli
Tapanuli Selatan, patut dicurigai sebagai penjajah baru. Alamak!
“Kira-kira apa yang membuat mereka tidak
menyukai kita, ya?” seruku berang sekali, ketika Abang yang baru berumur 4
tahun, kepalanya benjol karena ada yang menimpuk dari luar pagar.
“Alaaah, sudahlah, jangan pula
dijadikan masalah. Biasalah itu anak-anak, benjol sedikit saja, jangan
cengeng!” komentar bapak anakku.
Sekali, dua kali, dan entah ke
berapa kalinya anakku diperlakukan tidak adil, di-bulying oleh anak-anak kampung. Kalau tidak benjol jidat, besot-besot mukanya, akibat dikait kakinya,
sehingga tersungkur mencium tanah.
"Ini harus dilawan!” demikian
komentar ayahku ketika tak tahan lagi kuadukan perihal kelakuan anak-anak
kampung terhadap cucunya. “Sini, Bang, biar Opa kasih jurus-jurus andalan.”
Ketika itu Abang baru masuk SD,
dadanya dihantam dengan kedua kaki bersepatu, kuat-kuat, oleh seorang temannya
yang juga sekampung alias anak tetangga. Sepanjang malam aku merasa ikut tersiksa
sekali melihat anak usia 5 tahun itu sesak napasnya. Kupikir, ada baiknya
anakku memiliki ilmu bela diri. Jadi kubiarkan saja, bahkan kudukung penuh
anakku belajar silat kepada pejuang ’45, kakek kandungnya ini.
Sejak saat itulah anakku membela
diri dengan jurus-jurus silat yang diwariskan ayahku. Berkat jejak cinta yang
ditorehkan ayahku, anakku hampir tak pernah lagi mengalami tindak kekerasan
dari teman sebayanya.
Demikian pula yang terjadi dengan
adiknya, Adek, awalnya diajari jurus-jurus ringan membela diri oleh abangnya.
Kemudian kudukung sepenuh hati, meskipun harus berbantahan dengan bapak mereka,
agar keduanya masuk dojo, yakni tempat latihan taekwondo.
Satu kali, terjadilah insiden luar
biasa yang menghebohkan di dalam rumah kami. Abang kelas 3 SMA, taekwondoin
tingkat Nasional, kedudukannya setara Sabam, sebutan untuk guru taekwondo.
Sementara Adek kelas 6 SD, baru mengenakan jilbab.
Agaknya penyakit skizoprenia campur
paranoid yang menghinggapi lelaki itu, ayah mereka, sedang kumat parah. Ada
yang mengabarinya, entah siapa tak jelas bagiku, rumah kami telah kedatangan
seorang tamu lelaki, orang sekampungnya. Sesungguhnya aku telah menyampaikan
hal ini, bahkan ada dua-tiga kali, tetapi dia tidak menggubris.
Aku sedang menyapu ruang tengah
ketika serangan tak terduga dan brutal itu tiba-tiba menghajarku telak. Awalnya
tinjunya yang kuat dan telak itu menghantam dada sekali-dua kali.
Aku langsung
tersungkur, pelipisku menghantam ujung meja yang terbuat dari kaca. Semua itu
dilakukannya sambil meracau dengan penuh amarah dan kebencian luar biasa.
Dikatakannya bahwa aku perempuan tidak benar, telah berbuat cabul di rumah
sendiri, dan perkataan yang sungguh tak senonoh lainnya.
Belum sadar dan sungguh tak mampu
berkata apapun, segera pula kulihat sekilas kakinya yang kanan dilayangkan ke
mukaku. Aku mencoba berkelit sambil berteriak-teriak menyeru asma Allah.
Meskipun akhirnya masih juga sebagian kaki itu mengenai pahaku. Rasa sakit
seketika merajam sekujur tubuhku. Sakit di mana-mana, dada, paha, pelipis,
kening, membuat duniaku serasa jumpalitan dalam sekejap.
Teriakanku rupanya terdengar juga
oleh Abang dan Adek yang sedang berada di kamarnya masing-masing. Keduanya
serentak keluar, berlarian menghampiriku, bahkan Adek spontan
teriak-teriak:”Papa jahaaaat! Jangan sakiti Mama, jahaaaat!”
Pandanganku mulai nanar tak jelas,
darah mengucur dari pelipis yang terbentur kaca. Aneh, ada darah pula yang
mengalir dari sudut mata kiriku. Belakangan baru tahu bahwa itu akibat hantaman
kepalan tangannya.
“Pengecuuuuut! Beraninya menyakiti
perempuan, ya! Dasar pecundang! Lawan aku kalau berani, Pa, lawan aku!”
Kudengar suara Abang bagaikan raungan seekor harimau yang terluka.
Aku masih tak bisa melihat dengan
jelas, tapi Adek berusaha keras membangunkanku. Awalnya aku merangkak-rangkak
ingin menggapai pintu keluar, barangkali ada yang berkenan mengulurkan tangan,
demikian pikiranku yang lugu. Ternyata tak seorang pun tetangga yang sudi
muncul, apalagi membantu.
Entah bagaimana kejadian persisnya. Hanya
saja dari ambang pintu, sambil tanganku dipegang kuat-kuat oleh Adek, aku masih
bisa melihat bagaimana Abang melumpuhkannya.
Braaak! Tubuh tinggi tegap itu melayang,
kemudian bagaikan terlempar, punggungnya menghantam dinding ruang tamu.
Sehingga dalam beberapa detik terasa bumi bergetar hebat.
“Ya Allah, Nak, jangan melawan, Sayang.
Dia bapakmu, jangan jadi anak durhaka, Nak!” jeritku mengawang langit.
Namun, tiada suara lagi yang
terucapkan. Lidahku kelu, sekelu dan sebuntu otakku. Beberapa saat masih
kudengar suara bakbukbakbuk dari dalam,
dan Adek terus jua menyeretku, menjauhi rumah. Samar-samar kudengar suara
bagaikan mengaum, ya, itu seperti suara seekor macan tutul, pikirku.
Seketika ingatanku kembali kepada
ayahku yang telah tiada saat kejadian ini. Zaman revolusi ayahku dibekali ilmu kadugalan, sakti mandraguna oleh seorang
Ajengan di Garut. Apakah Opa mewariskan jejak cintanya kepadamu, berupa ilmu
itu pula, Nak? Hanya mampu bertanya di dalam hati.
Ketika mulai tersadar sepenuhnya,
kutemukan diriku di antara Abang dengan Adek. Kami berada di ruang tunggu
sebuah poliklinik di kawasan Depok Dua. Dokter kemudian melakukan tindakan
medis, menjahit luka di keningku. Sedangkan sebelah mataku, bagian kiri,
diobati dan diperban rapi.
“Harus diperiksa lagi, lusa, ya Bu.
Takutnya ada infeksi atau pendarahan di dalam,” berkata dokter Paliyama.
Aku hanya mengangguk perlahan, baru
menyadari, kira-kira dari manakah anakku mendapatkan dana pengobatan ini?
“Abang tuh, Ma. Dia memaksa si Papa
mengeluarkan uangnya. Dikasih 300 ribu, katanya, Ma,” jelas Adek sambil
membetulkan jilbab kaosnya yang suka miring kiri-kanan.
Kulirik sulungku yang lebih banyak
terdiam, tapi posisi tubuhnya dalam siap siaga, tak ubahnya seorang prajurit
yang sedang mengawal ratunya. Aku tak berani menyelidik, apalagi mengorek
rincian seluruh kejadian itu. Kedua anakku, bintang-bintang hebatku ini pun
terkesan ingin segera melupakan semuanya.
Demikianlah kami mempertahankan diri
dalam diam, dalam hening, dalam doa dan saling menguatkan yang tak perlu
terucapkan. Jika kini kedua bintang kecilku telah menjadi sosok-sosok yang
tangguh dan mandiri, kurasa bukan karena memiliki ibu seperti diriku.
Ketangguhan
dan kemandirian mereka diperoleh dari kampus kehidupan itu sendiri. Demikianlah
sebuah pembelajaran, dan sebuah proses panjang. Bagaimana mereka memaknai
situasi dan kondisi setiap lakon yang dihadapi dengan bijak dan cerdas.
Terbukti kemudian, tukang amuk itu, akhirnya bisa dijinakkan oleh kehadiran
cucu-cucu dari Abang.
Ananda, Cinta, terima kasih, dan
maafkan Mama yang sering merepotkan kalian. Mama doakan setiap langkah kalian
dilimpahi keberkahan dan kasih sayang-Nya.
@@@
Posting Komentar