Negeri Jiran, Jumat, 8 April 2011
Sampailah rombonganku di Sekolah Indonesia Kuala Lumpur pukul 11.15 waktu Malaysia. Ada rasa sedih juga saat harus berpisah dengan keluarga anak angkatku ini. Sayang sekali hanya semalam, gumamku. Tetapi, sungguh, aku sudah lega dan sukacita mengetahui kondisinya dan keluarga kecilnya aman, sejahtera dan harmonis.
Kupeluk Diana erat-erat, semoga selalu menjadi istri yang istiqomah dan ibu yang tangguh buat ketiga anaknya. Nostalgiawan mencium tanganku dengan sayang, kurasakan juga keharuan mendalam di matanya. Seorang anak yatim yang tangguh, inilah buktinya dia sedang merajut cita di jenjang S3 di negeri jiran.
“Nah, kami serahkan Teteh kepada pihak SIK. Mohon dijaga keselamatan dan kesejahteraannya,” demikian kira-kira yang tidak terucapkan dari Nostalgiawan, ketika serah terima diriku kepada pihak SIK.
Mujur, dia tidak bilang kalau daku doyan suasana tenang dan makan enak. Hihi.
Maka, sosok yang sudah pernah kukenal di Citos-Jakarta itupun menyambutku dengan senyuman manisnya. Aninda Lokeswari, mantan pramugari dan istri seorang pilot Malaysia Airline. Dialah Ketua Komite Sekolah Indonesia KL. Di dalam pembawaannya yang tenang itu ternyata tersimpan jiwa kepemimpinan, dan berkat ikhtiarnya pulalah acara ini bisa terselenggara.
Bisa kubayangkan, bagaimana dia harus wara-wiri dan menghadapi urusan birokrasi, permohonan izin dari KBRI dlsbnya itu. Waktu jumpa pertama kali di Citos, Maret yang lalu, kudengar sekilas curhatannya untuk urusan; menyebar virus menulis di kalangan siswa SIK. Kutangkap kelelahannya, meskipun ia tetap tersenyum, apalagi sambil traktiran makan segala. Hehe.
“Bagaimana perjalanannya, Bu Pipiet?” sapanya ramah, seraya membimbingku menuju ruang tamu sekolah. Kujawab bahwa tak ada masalah, setidaknya tak ada yang berani menyebutku sebagai nakerwan from Indonesian.
Sosok Bunda Eya pun tampak di depan mataku. Kami jumpa sebelumnya di Pasaraya Blok M. Penampilannya sungguh akhwat banget dengan jilbabnya yang melambai indah. Dia memelukku erat dan berbisik:”Selamat datang di Malaysia, Teteh.”
Kemudian diperkenalkan oleh Aninda kepadaku. seorang bapak guru berperawakan tinggi kekar dengan cambang jarang di dagunya.”Nah, beliau inilah Ketua FLPI,” kata Aninda.
“FLPI, ya?” aku menahan tawa. “Maksudnya, Forum Lingkar Pena Indonesia, begitukah?”
Setahuku, FLP di mana pun berada, ya, pake nama FLP sajalah, tanpa embel-embel tempatnya. Komunitas paramuda penulis Islami ini telah membukukan namanya di dunia sastra, organisasinya ada dan berkibar di pelosok dunia. Suatu anugerah bagi bangsa Indonesia, kata Taufik Ismail.
“Iya, Bu Pipiet. Kan orang KBRI bertanya, waktu saya bilang kerjasama dengan FLP Malaysia. Mengapa ada unsur Malaysia-nya? Ya, sudah, ditambahkan saja Indonesia di belakang FLP-nya.”
Kepala Sekolah SIK, yakni Bu Elsle, menyalamiku dan menyampaikan permintaan maafnya. Karena ia harus segera ke KBRI, ada rapat menanti di sana, katanya.
Acaranya dimulai setelah Jumatan, pukul 14.30, di aula di lantai dua. Audiensnya pelajar SMP dan SMA. Mereka sudah siap menyimak, kulihat sekilas wajah-wajah serius dan penasaran. Sama sekali tak ada kesan boring, terpaksa atau lelah, sebagaimana sering kulihat di sekolah-sekolah kita di Tanah Air pada jam-jam begini.
Menanti acara dimulai dan Jumatan usai, aku silaturahim dnegan para guru di SIK. Ternyata banyak juga guru yang berasal dari Tanah Parahiyangan. Ada Bu Dewi, Aan, ini dia menantunya senior Uun Wijaya, budayawan asli Cimahi dan masdih famili mendiang ayahku. Dunia sungguh kecil, ya!
“Bagaimana, sudah siap menerima virus menulis dari saya, anak-anaaaak?” seruku sebagai pembuka penyemangat.
“Siaaaaaap!” sahut mereka serempak, kian semangat.
“Kalian anak-anak yang luar biasa,” pujiku tulus.
“Horeeeeee!”
Ketika akan kulanjutkan langsung bongkar buntalan virus menulis yang kumiliki, eeeh, ndilalah, mendadak suaraku menghilang!
Batuk-batuk, kucoba bicara, seret dan jelek nian terdengar. Jika kupingku saja tak nyaman mendengarnya, nah, apalagi anak-anak ABG? Terpaksa, minta maaf, minta waktu dulu, minta air putih sekalian kepada Bu Hanum yang mendampingiku sebagai moderator. Bu Hanum pun pernah jumpa dua kali di acara bedah buku bareng Asma Nadia di PDS HB Jassin, TIM, beberapa tahun yang lalu.
Setelah minum aqua bergelas dan zikir dan doa tentu saja, bissmillahi…
Maka, acara pemboman teror virus menulis ala daku pun tergelar. Seru, heboh, khas sebagaimana rteaksi dan komentar anak baru gede dan remaja.Ketika digelar sesi dialog interatif, makin antusias, makin seru dan makin heboh.
Tak ade lah itu macam teori-teori akademis, hehe!
Puncaknya adalah ketika digelar praktek menulis, hasil yang diperoleh; tulisan anak-anak bagus-bagus. Padahal mereka hanya diberi waktu 20 menit saja. Apatah oula jika diberi waktu leluasa, mereka niscaya akan mengekspresikan imaji dan kreativitas yang lebih mantap rrrruuuuuar biarrrrra!
Tema yang kuberikan; Andaikan Aku Menjadi Presiden. Dengan unsur kata-kata antara lain; Presiden, Istana Cikeas, hobi, musik, lagu, Indonesia….ops, lupa lainnya!
Sesungguhnya banyak sekjali yang bagus-bagus, tetapi, karena hadiahnya hanya 5 novel (dua dari Bu Kepala), maka terpaksa hanya terpilih lima tulisan terbaik. Sengaja tidak diperingkat, karena masing-masing punya kelebihan dan kekurangan yang serupa. Sungguh beragam yang mereka tulis, tapi yang tertangkap; semangat tinggi, cinta Indonesia, rasa kebangsaan yang luhur dan cita-cita menegakkan kebenaran serta demokrasi setinggi langit.
Salah satu pemenangnya menulis tentang kegeramannya dengan kondisi Indonesia saat ini. Kekecewaan dan kesedihannya, mengapa para pemimpin kita sudah banyak yang mengingkari makna semangat ’45. Mengapa cinta menjadi tipis, mengapa demokrasi menjadi liberal….subhanallah!
Anak-anak SIK memang hebat!
Kudoakan dari sekolah ini akan berlahiran para seniman, para penulis handal di masa mendatang.
Salam cinta dan demokrasi, anak-anak yang hebat!
@@@
Posting Komentar