Jejak Cinta Sevilla: Novel Pipiet Senja yang Mengobar Semangat Juang Mahasiswa


Inilah Jumat yang kelabu, tulis Garsini di buku hariannya.
Ada banyak kejadian yang dialaminya hari ini. Pukul tiga dini hari, dia mengantar ibunya ke RSCM. Mpok Simah dan Bang Acep, pasangan yang baik hati itu, turut mengantar. Memang tak bisa ditunda-tunda lagi. Ibunya mengalami pendarahan hebat. Darah keluar dari hidung dan mulutnya. Darah membasahi seprai dan baju. Darah, darah, daraaah!     
Masya Allah, rasanya darah ada di mana-mana!
Duh, apa penyakit Mama sebenarnya?
            “Sudah selesai? Apa gak diperiksa lagi?” tegur Gilang saat Garsini menyerahkan kertas ujiannya.
            “Hmm....”
            “Yakin seratus persen, nih yeee?” godanya pula.
            “Insya Allah....”
            Berjalan cepat keluar dari ruangan, dia bermaksud segera kembali ke rumah sakit. Kasihan Mama, sakit parah dan tak berdaya ditinggal seorang diri. Bagaimana kalau perlu sesuatu? Saat ditinggalkan olehnya subuh tadi, Mama sedang ditransfusi. Dia berhasil mendapatkan darah dua kantong dari PMI Pusat. Tentu tak akan cukup mengingat banyak darah yang telah dikeluarkan Mama.
            Adik-adiknya ditinggal di rumah. Ucok, apa dia masih mau ke sekolah? Biasanya kalau tak diingatkan, dia suka malas. Bangunnya sering kesiangan. Lantas Butet, apa siang ini sudah makan? Garsini memang sempat menitipkan adik-adiknya itu ke Mpok Nyai. Tapi Mpok Nyai sibuk juga dengan lima anak dan warung gado-gadonya. Mengapa jadi karut-marut begini, ya?
            “Buru-buru amat, Non? Baru juga jam sebelas?” seseorang menjejerinya.
            Garsini menoleh. “Eh, Bang Anwar.... Ada apa?”
            “Ada mentoring di Canopy sehabis Jumatan. Ikutan yuuk?” Kacamata Anwar yang tebal tampak seperti akan melorot ke hidungnya yang besar.
            Garsini tak menyahut. Resah gelisah, sekujur tubuhnya tadi seketika terasa lemas sekali. Hidupnya serasa tak bersemangat. Ia mengisi soal-soal ujiannya asal saja. Mujurnya, soal-soal itu sudah sering diotak-atik, sehingga ia tinggal menuangkan saja dari otaknya ke atas kertas ujian.
            “Anwar! He, jangan suka maksa, dong!”
Dari kerimbunan pohon ada yang berteriak, tak jauh dari danau yang airnya bersih, bening. Sekilas Garsini masih bisa melihat di pinggir danau itu ada anak-anak FISIP. Juga anak-anak Sastra. Banyak mahasiswa yang suka kongkow-kongkow di situ. Namun, rasanya takkan ada yang menandingi anak-anak Sastra. Mereka sudah seperti mbahurekso danau saja. Entahlah, mungkin cari inspirasi? Maklum, anak Sastra.
            “Jawab dong! Bisa gak?” Anwar bertanya lagi.
            Garsini merandek, menatap Anwar dengan tajam. Lelaki itu menyebalkan seperti ayahnya. Coba saja pikir, istri sakit parah, malah morang-maring. Kemarin sempat pulang. Entah apa yang dikatakannya kepada Mama. Tapi Garsini bisa melihat betapa ibunya jadi lebih menderita.
Sorenya dia sengaja menyusul ayahnya ke Bogor. Ia ingin mengingatkan ayahnya, agar sedikit perhatian kepada Mama yang sedang sakit. Namun, apa yang terjadi di sana?
            “Pergi dari sini! He, pergi kubilang!”
            “Tapi, Pa, tolong dengar dulu. Kesehatan Mama semakin buruk, Pa,” Garsini memelas memohon.
            “Aku tahu itu!” sergah ayahnya. “Mama kau itu dari dulu pun memang penyakitan. Sudah, enyah kau dari sini!”
            Garsini masih sempat melihat seseorang berkelebat dari balik gorden. Dia pun masih bisa melihat sepasang sepatu perempuan, tas, dan pakaian di sofa ruang tengah. Dia mengenali semua benda itu. Ya, sumpah!
Matanya belum lamur dan tahu persis itu milik siapa. Milik Sintia!
Sejak kapan ayahnya punya affair dengan gadis tengil itu? Mau-maunya dia menjadi kekasih ayahnya? Gusti, jeritnya dalam hati. Kalau memperturutkan amarah, ingin rasanya dia meneriaki mereka. Dua orang itu, pasangan kumpul kebo! Tidak, tak ada gunanya. Itu tindakan konyol. Lagi pula, dia tak sampai hati jika harus membeberkan kebobrokan ayah sendiri. Mencelakai kakak kelas yang suka dengki itu? Tidak juga!
Setidaknya kini dia mengetahui penyebab antipati Sintia terhadap dirinya.
            “Ssst, astaghfirullahal’adzhiiim.... Ayo, istighfarlah!”
            Garsini bagai baru tersadar dari mimpi buruk. Dilihatnya orang-orang merubungi dirinya tak jauh dari danau.
            “Ikut Teteh dulu, ayo?” Selly menggandengnya.
            Dari kejauhan Anwar berseru-seru. “Sori, Garsini, sori! Aku gak bermaksud menyakiti dirimu! Sumpah!”
            “Ada apa ini, Teteh?”
            Selly tak menyahut, terus menggandengnya. Gadis itu membawanya ke selasar masjid UI. Setelah duduk di teras samping tak jauh dari kamar mandi, Selly minta rekan-rekannya meninggalkan mereka berdua.
            “Ayo, sebutlah asma Allah, Dik Sin! Istighfarlah!”
            Garsini menurut. Terasa tangannya dipijiti. Selly mengeluarkan minyak telon dari tasnya. Tangan, kaki, dan dahi Garsini dibaluri minyak telon itu dengan rasa simpati mendalam.
            “Barangkali kemasukan setan danau, ya, Teh... aku ini....”
            Beberapa saat yang lalu mendadak dirinya histeris. Anwar diberingasi olehnya sambil teriak-teriak. Dia mengeluarkan jurus-jurus taekwondonya. Anwar sampai lari terbirit-birit ketakutan dibuatnya.
Iiih, kasihan banget tuh orang Medan!
            “Yang sudah biarlah berlalu,” bujuk Selly. “Gimana kalau sekarang ambil wudhu dulu?”
            “Ya, ya, itu bagus. Biar minggat segala dedemit yang merasuki tubuhku tadi,” katanya sambil tersenyum pahit.
            Kemudian dia bergegas ke kamar wudhu. Saat kembali ke sisi Selly, tampaklah dua bungkus teh kotak dan beberapa potong roti. Selly memberinya pula handuk kecil. Garsini geleng kepala menyadari betapa lengkap isi tas kakak kelasnya. Selain mukena dan buku, ada juga Al-Quran mungil.
            Sambil mengisi perutnya yang keroncongan, Garsini tak tahan lagi untuk mencurahkan isi hatinya. Tentang situasi di rumah yang berantakan, perkawinan orang tuanya yang tak harmonis. Tentang ayah yang temperamental, egois, pelit, dan selingkuh. Ia pun menceritakan tentang ibunya yang masuk rumah sakit dini hari tadi, mengantre darah di PMI Pusat berjam-jam. Tapi ia bungkam perihal Sintia yang dipergokinya sedang menginap di rumah peristirahatan ayahnya.
“Kalau begitu, ayo kita ke RSCM sekarang!” ajak Selly saat menyatakan rasa simpati atas penderitaannya. Kemudian dia menelepon rumah dengan ponselnya, mengabarkan bahwa dirinya akan pulang terlambat.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama