Setiap Insan Adalah Camat: Mayat... Siapa Takut?!



Mayat.... Siapa Takuuuut?!

Ini kejadiannya malam menjelang operasi, 09-9-2009

Dinihari aku terbangun oleh suara berisik dari pasien di seberangku. Ia seorang lansia, 64 tahun, pasien diabetes melitus dengan berbagai komplikasi. Ia sudah ada sebelum aku datang, menurut anaknya telah tiga pekan dirawat dengan kondisi incoma.

Selama lima hari di ruangan ini, kupingku dan tiga pasien lainnya, tiada pernah henti diusik oleh bunyi bising mesin pencatat jantung di sebelah ranjangnya. Bermalam-malam pula aku tak bisa tidur dengan tenang, sehingga tensiku naik-turun tidak karuan. Namun, seperti pasien kelas tiga lainnya, apatah pula yang bisa kami lakukan?

Anakku Haekal tak ada di tempatnya lagi, waktu terakhir kunampak tergeletak di lantai samping ranjang. Mungkin mencari makan untuk sahur. Tak seperti adiknya si Butet yang selalu membawa bekal untuk makanan pembuka dan sahur, tepatnya hanya sekali makan pada tengah malam.

Ada beberapa suster dan dokter hilir-mudik mendatangi pasien yang namanya sama dengan nama ibuku itu: Siti Hadijah. Penasaran aku bangkit, kemudian mengintip melalui tirai.
Tampaklah pemandangan yang mengenaskan. Dokter jaga dan suster sedang melakukan kejut listrik (istilah medisnya apa, ya?) pada pasien yang malang itu.

“Ya, sekali lagi, Sus!”

“Satu, dua…, tigaaa!”

Tuuut, tuut, tuuuuut!

Bunyi mesin pencatat jantung itu mengalun dalam satu nada datar dan panjang. Sama sekali tak ada bunyi lain seperti selama ini sering kudengar. Tampak dokter menghentikan kegiatannya, kemudian sekilas melihat arlojinya.

“Catat, ya, Sus, tiga lewat tiga puluh dua menit.”

Seorang anaknya yang sejak tadi berdiri di sebelah perawat, dan memperhatikan semua tindakan dokter, sepertinya sudah memaklumi apa yang terjadi. Ia menelepon seseorang dengan suara gemetar, mengabarkan kepergian ibunya tercinta.

Perlahan kututup tirai dan kubaringkan kembali tubuhku. Ingin ke kamar mandi untuk mengambil wudhu, tetapi tanganku terikat dengan selang infus. Dibutuhkan tenaga ekstra untuk membawa-bawa botol infus turun dari ranjang, dan berjalan sendiri ke kamar mandi.

Beberapa saat kutunggu anakku, lama sekali tak kunjung datang. Waktu kutelepon, katanya masih makan, tempatnya lumayan jauh.

“Mama tidur saja lagi. Jangan ikutan heboh, apalagi latah dengan orang yang sudah menghadap-Nya itu, ya Ma. Seriuuuus, jangan latah!” pesannya sesaat membuatku bingung, tak paham maksudnya.

Seketika terjadi hingar-bingar di sekitarku. Entah dari mana asalnya, begitu cepat orang-orang berdatangan. Suara mereka sama sekali tidak tertahankan, semuanya bicara dengan nada keras, bahkan ada yang mengomel-ngomel. Bila kusimak, mereka merasa tak puas dengan pelayanan rumah sakit.

“Sudah jual motor dua, tetap saja….”

“Makanya, kan udah gw bilang dari kapan tauk, bawa pulang aja!”
“Iya, sudah…, sekarang kita bawa pulang kok!”

Aku harus berjuang keras untuk tidak memedulikan semuanya itu. Besok aku akan dioperasi. Jadi, aku sungguh membutuhkan kesiapan dan ketenangan. Siap secara fisik, mental dan spiritual.

Nah, spiritual!
Kuambil headset yang sengaja ditinggalkan oleh Butet. Kujejalkan benda mungil itu ke telingaku, dan kusetel murotal dari laptop. Kututup mata dan mencoba mengikuti lantunan ayat-ayat suci itu. Alhamdulillah, lambat-laun mataku lelah dan terlena, entah berapa lama.

Sesungguhnya pasien meninggal yang pernah kusaksikan selama aku dirawat bukan sekali-dua kali. Dalam enam bulan terakhir bolak-baik dirawat, tak bisa dihitung lagi dengan jari. Bagaimana cara mereka menghadapi kematian, aku pun sudah pernah menyaksikannya.
Ada yang harus bermalam-malam mengerang, menjerit-jerit kesakitan dulu, baru melepas nyawanya. Ada juga yang diam-diam tertidur lelap, sekali bunyi batuk, tahu-tahu telah tak bernyawa lagi begitu suster memeriksa tensinya.

Pernah suatu kali di rumah sakit Polri, pasien jantung di sebelahku mendadak tampak sehat, segar-bugar, setelah sepekan kondisinya payah sekali. Ia mengajakku curhatan, ngobrol ngalor-ngidul secara terus-menerus, hampir tiada hentinya sepanjang hari itu.
Hingga aku terpaksa menyatakan keberatan, mengatakan bahwa sudah saatnya kita istirahat, jangan bicara terus. Keesokan harinya, pagi-pagi saat pasien lain sudah dibersihkan, dan sebentar lagi dokter datang, perawat menemukan si Ibu itu sudah tidak bernyawa lagi!

Belakangan aku menarik satu kesimpulan tentang kematian yang dialami oleh pasien dengan penyakit parah. Bahwa sesungguhnya mereka pergi selamanya agar tidak merepotkan keluarga lagi. Bukankah itu lebih baik, mungkin memang demikian yang terbaik menurut Sang Pencipta.

Jika aku mati, ya Allah, gumamku membatin, kuingin mati dalam khusnul khotimah. Tidak berada di ranjang rumah sakit dengan segala peralatan medis yang canggih tapi menakutkan, melainkan di rumah, di tengah anak-cucu yang menyayangiku. Di antara lantunan dan gema ayat-ayat suci, ya Allah, kumohon kabulkan pintaku ini.

“Sudah subuh, Ma,” usik anakku Haekal, mengguyah-guyah tanganku.

Kulirik jam di dinding, pukul 05.30, artinya aku hanya terlelap selama satu jam saja. Tidak mengapa, alhamdulillah, terima kasih, ya Robb.

Dan hari ini, Kamis, 9 September 2009, aku akan menjalani suatu episode dalam hidupku, yakni; pengangkatan limpa dan kandung empedu sekaligus.

Catatan Cinta Ibu dan Anak;
Buku kolaborasi antara saya dengan putriku Adzimattinur Siregar, kami tulis menjelang dan pasca operasi. Acapkali kami menulisnya sambil bercucuran airmata, tetapi tak jarang kami pun mesem-mesem,  bahkan ketawa-ketiwi terutama saat mengenangnya. Pengalaman ini, lakon ini semoga menginspirasi mereka, terutama bagi para pasien yang sudah dinyatakan nyaris "game-over". Semangat, ya, semangat inilah yang ingin sekaali kami bagikan kepada masyarakat pembaca Indonesia.

Bisa pesan langsung via SMS 085717221803, harga 40 ribu belum ongkir.

2 Komentar

  1. iya naaaak....kebanyakan karya saya kebanyakan berangkat dari kisah nyata

    terimakasih telah mampir ya

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama