Novel Anak: Mamaku Tukang Ojek






Selamat Berjuang, Papa!

Hari itu, masih pagi di rumah keluarga Rahman.
Mereka terdiri dari Rahman, Sati dan Laras. Tampak ketiganya sedang bersedih. Maklum, kepala keluarga hendak pergi jauh ke Malaysia.
Cuaca di luar sedang mendung berawan. Sebentar lagi dipastikan bakal hujan. Ini memang musim penghujan. Di mana-mana terjadi banjir.
“Ada banjir hebat juga di hatiku ini, Bang,” berkata Sati kepada suaminya yang sudah siap berangkat.
Sebuah ransel gendong telah siap diangkut. Rahman memilih bawaan tak seberapa. Sebab tujuannya untuk bekerja, hanya bekal pakaian alakadarnya. Jika berhasil kelak, ia berharap akan membawa macam-macam buah tangan. Semuanya untuk istri dan anak tercinta.
“Banjir bagaimana?” suaminya menatapnya terheran.
“Banjir sedih, banjir air mata….” Suara Sati tersendat.
“Sabarlah, Ma, aku mengerti. Tapi mohon, jangan perlihatkan kesedihan di depan anak kita.” Rahman mengerling ke arah seorang anak perempuan.
Laras menyaksikan  itu dari tempat duduknya di ruang tamu. Ia menggigit ujung bibirnya. Meskipun ia sudah berusaha keras menyembunyikan kesedihannya. Namun, akhirnya ia tak bisa membendung air matanya lagi.
Jebol sudah!
Perlahan anak perempuan berumur sepuluh tahun itu berjingkat. Ia menghampiri ayah dan ibunya.
“Papa, mengapa harus pergi ke Malaysia?” tanya Laras sambil berurai air mata. 
Rahman menggapai tubuh putrinya. Ia membungkuk dan menggenggam erat kedua tangan Laras. Untuk sesaat ia tak bisa berkata-kata. Dipandanginya mata Laras lekat-lekat. Sungguh berat harus meninggalkan anak-istri untuk waktu lama.
“Gara-gara Papa dicopot dari perusahaan, ya?” tanya Laras lagi.
“Iya, Laras sayang. Papa harus bekerja. Karena kita membutuhkannya, Nak….”
“Apa di sini tak ada pekerjaan lagi buat Papa?” Laras menukas.
“Dalam beberapa bulan ini Papa sudah berusaha keras mencari pekerjaan….”
“Iya, aku tahu itu.”
Papa selalu pulang lesu. Di kota ini, Depok, ayahnya sulit mendapatkan pekerjaan. Demikian pula di Jakarta. Pergi pagi, pulang petang, tiada hasilnya, Hanya menghabiskan uang untuk ongkos belaka.
Memang ada tabungan keluarga. Yaitu, pesanggon Papa dari perusahaan. Namun, lama-kelamaan habis juga. Karena dipakai terus, sedangkan pemasukan tidak ada.
Selama ini Papa bekerja sebagai karyawan pabrik elektronik. Tahun ini terjadi krisis ekonomi global. Banyak perusahaan mengalami pailit. Termasuk pabrik tempat Papa bekerja.
Selama ayahnya menganggur, ibu Laras telah berusaha bekerja. Ia berjualan kue-kue buatannya. Kemudian ia titipkan ke warung-warung. Namun, menurut Mama penghasilannya tak seberapa.
Mereka harus menata kehidupan lebih baik!
“Bagaimana kalau kita pindah saja ke kampungku, Pa?” Mama pernah mengusulkan demikian.
“Ke Indramayu, Ma? Waduh, kita kan tahu sendiri bagaimana kondisi keluarga Mama di sana. Maaf, ya Ma, aku keberatan,” tolak Papa.
“Mengapa dengan keluarga Mama?” Laras ingin tahu.
“Keluarga Mama sudah tercerai-berai sejak lama. Nenekmu masih di Arab Saudi sebagai TKW. Kakekmu entah pergi ke mana. Tiga saudara Mama juga tak ada lagi di sana,” kesah Mama.
“Kalau ke kampung Papa, bagaimana?” Laras sempat menyelidik.
Tampak Mama dan Papa saling berpandangan.
“Ya?” desak Laras.
Papa menggeleng dengan wajah muram.
“Mama yang menjawab, ya,” ujarnya enggan sambil cepat berlalu.
Ketika Laras mendesak terus, Mama hanya mengatakan; “Keluarga ayahmu tak menyukai Mama, Nak.”
“Oh!” Laras hanya bisa melengak.
Dengan nalar anak kecil, ia mencoba menerka-nerka.
Patutlah, mereka tak pernah diajak Papa ke kampungnya di Sumatera.
“Karena itulah, aku tak pernah tahu bagaimana kakek-nenekku dari pihak Papa. Demikian juga dari pihak Mama,” demikian Laras menyimpulkan sendiri.
Makanya, jika lebaran mereka tak pernah mudik. Di Depok inilah kampung halamannya kini.
***

Beberapa pekan yang lalu, Papa bertemu dengan seorang familinya. Uwak Soritua, dia teman sekampung Papa yang telah lama bermukim di negeri jiran. Uwak Soritua kini telah berhasil sebagai petani. Terakhir mereka bertemu di sebuah pesta pernikahan. Uwak Soritua mengulurkan tangan. Ia mengajak Papa agar bekerja bersamanya di perkebunan kelapa sawit.
Papa telah membujuk Mama agar ikut bersamanya. Namun, Mama merasa keberatan. Selain belum ada kepastian tentang situasi di sana. Dokumen perjalanan hanya bisa diupayakan untuk Papa seorang.
Terutama sekali adalah mengenai pendidikan Laras. Ini akhir tahun, belum dibagi raport. Lagipula tanggung, sebentar lagi Laras kelas enam.
Akhirnya, diputuskanlah Rahman berangkat sendiri. Nanti dibahas lagi di kemudian hari jika ada perubahan, janji ayahnya.
“Jaga Mama, ya Nak?” pinta Rahman memecah hening di ruang tamu yang merangkap tempat belajar Laras itu.
“Masa aku yang jaga Mama, Pa? Yang ada juga aku dijaga Mama,” protes Laras.
Ia sesungguhnya berusaha menghalau kesedihan dengan bercanda.
“Bukankah selama ini kamu sudah sering bantu Mama?” Papa mengusap kepala Laras sepenuh sayang.
“Iya, Laras sudah pintar bikin nasi goreng spesial,” puji ibunya.
“Tapi aku masih kecil. Tangan-tanganku ini belum kuat.”
“Masa? Bukankah kamu suka olah raga?” Papa selalu menyemangati.
“Ehm, iya juga ya….”
“Nah! Coba kita buktikan ya, Pa?” Mama ikut menyemangatinya.
Seketika Laras memeragakan jurus-jurus ala pendekar yang suka dilihatnya di film silat Mandarin. Gerakan-gerakannya yang lucu tak urung membuat Papa dan Mama tertawa.
“Haaaps, hapss, haaaps… ciaaaattt!”
“Baaak… buuuk… baaak, ciaaatttt!”
Beberapa saat mereka bertiga tertawa riang.
“Kamu ini anak yang lucu dan periang, Laras,” puji Mama tersenyum haru.
“Iya, tetaplah demikian, ya Nak,” pinta ayahnya. “Hiburlah Mama kalau sedang sedih dengan gurauanmu.”
“Insya Allah, Pa,” sahut Laras menyanggupi.
Meskipun sesungguhnya ada keraguan di dalam hatinya.
Duh, bagaimana bisa tetap riang? Jika harus berjauhan dengan Papa?
Nanti, tidak ada lagi yang akan mengingatkannya untuk sholat tepat waktu. Itu sudah jadi kebiasaan Papa.
Tidak ada lagi yang akan membawakannya oleh-oleh.
Tidak ada lagi sosok yang dinanti di ujung gang sana setiap petang.
Sungguh, pedih rasanya hati Laras!
Beberapa saat ketiganya hanya berdiam diri. Mereka sama tidak ingin bersedih. Ingin menyembunyikan kesedihan di hati masing-masing.
“Nah, Papa harus berangkat sekarang,” ujar Papa sejurus kemudian.
“Iya, pesawatnya berangkat pukul sebelas. Papa harus naik Damri di Pasar Minggu. Semoga tidak macet,” jelas Mama saat melihat Laras berat hati melepas ayahnya.
“Sampai kapan Papa di Malaysia?” tanya Laras tiba-tiba.
Padahal, ayahnya sudah berada di angkot Bang Udon, tetangga mereka.
“Dua tahun….” Suara ayahnya terdengar mengambang di telinga Laras.
“Ya Allah…. Dua tahun, dua tahun….”
Laras menggumam bagai orang linglung. Lama sekali!
Namun, Laras tak mampu mencegah kepergian ayahnya.
“Ini semua demi masa depan kita,” demikian Mama berulang kali mengatakannya.
Pagi itu, di teras rumah mereka yang sederhana di kampung Rangkapan.
Laras dan ibunya berdiri mematung. Mata keduanya tak pernah lepas dari bayangan Rahman. Sampai angkot yang membawa Rahman melaju, melaju dan semakin menjauhi mereka. Kemudian menghilang dari pandangan mereka di ujung gang sana.
“Selamat berjuang, Papa,” bisik Laras nyaris tak terdengar.
“Semoga Allah Swt selalu melindungi dan memberkahi setiap langkah Papa,” doa Mama.
“Amin ya Robbul alamin,” cepat Laras mengaminkannya.
Mama kemudian menggamit lengannya agar masuk rumah kembali.
“Mari, Nak, kita sholat dhuha. Kita doakan agar ayahmu selamat di perjalanan. Selama di Malaysia ayahmu dimudahkan semua urusan.”
Hujan telah turun dengan deras, membasahi semuanya. Desember yang basah. Di mana-mana air menggenang. Di mana-mana ada banjir dan air bah.
Bahkan di hati Laras dan ibunya. Terasa basah oleh air mata kesedihan.
Namun, hidup memang harus tetap berjalan.

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama