Mom & Me Backpacker::Menyebar Virus Menulis Keliling Negeri






Kamis, 24 Pebruari 2011
Akhirnya gagasan untuk road show dan bedah buku keliling ranah Minang pun terwujudkan sudah. Mulai pagi itu, tiba di Bandara Minangkabau pukul 08.15, aku resmi diboyong ke berbagai acara beraroma sastra di pelosok Sumbar.

Dijemput oleh Joni Ardi dan seorang temannya yang mengemudikan mobil Kijang keluaran 90-an, aku sempat meledek kepala cabang penerbit Zikrul Hakim (ZH) itu.
“Mana Avanza-nya nih, Uda Jon? Jangan kalah sama Surabaya dong!”
Joni terkekeh dan menyahut.”Insya Allah, Teteh, semoga tahun ini sudah dapat.”
“Semarang, kudengar sudah mau dapat juga kan,” cetusku mengomporinya.
“Di Rakor kemarin baru pertengahan tahun ini, katanya, Teteh,” kilahnya. “Tahun ini kami menempati urutan kedua setelah Semarang.”

Kendaraan membelah jalanan Padang Pariaman yang masih lengang. Bandaranya memang terletak di kawasan Papiko alias Padang pinggir kota, istilah ini kudengar dari Nancy, stafnya Sastri Bakry. Nuansa ranah Minang mulai meruap, dilatarbelakangi pegunungan, hawa yang sejuk dan bersih, lalu-lintas yang lengang, sama sekali tak terlihat kemacetan.
Wooooi, seandainya demikian di Ibukota ya, eheeem, mimpi ‘kali yeee!

Kami sarapan dulu di kawasan bypass, nasi goreng khas orang Padang agaknya; nasi digoreng dengan sambal pedas, ceplok telor, ditaburi teri goreng serta bawang goreng yang harum. Lumayan enak dan menyegarkan, tapi, kelak ketika sampai di rumah, ndilalah, lumayan pula dampaknya; diaree!

Sambil sarapan, aku menanyakan berbagai hal tentang kampus Adzkia. Ini patut kuketahui, setidaknya aku harus mengetahui lebih dahulu; kira-kira tipikal macam apa audiensnya. Perguruan Adzkia baru beberapa tahun didirikan, mulai dari Taman Kanak-Kanak hingga perguruan tinggi. Ternyata pembinanya tak lain tak bukan adalah Iwan Prayitno, yakni Gubernur Sumbar saat ini.

“Oh, syukurlah, jadi ketemu kawan-kawan liqo, ya,” gumamku tersenyum kecil, jadi teringat Ustazah Yoyoh Yusroh. Kangen, sudah lama pula tak jumpa beliau yang semakin superduper sibuknya. (Ops, maafkan belum sempat sowan ke majlis taklimmu, Umi Umar.)

Joni Ardi beberapa kali menerima telepon dari panitia Adzkia, sehingga dia harus menenangkan dan meyakinkan mereka:”Tenang saja, kami sudah ada bersama Teteh Pipiet Senja. Sebentar lagi kami tiba,” katanya dengan logat khas.
 
Kembali melanjutkan perjalanan dengan segar dan semangat juang ‘45, eh, tepatnya semangat Tukang Teror Penyebar Virus Menulis. Maklum, sehari sebelumnya aku baru saja ditransfusi. Istilah Butet; ngedrakuli, dicharger, sebagai pasien kelainan darah bawaan yang harus ditransfusi secara berkala per 3 bulan sekali.

Di pintu gerbang kampus Adzkia terbentang spanduk dalam ukuran besar (di mataku ukurannya guedeee buangeeet!). Bedah Buku Catatan Cinta Ibu dan Anak, lengkap dengan potret diriku yang sedang dipeluk oleh Butet alias Adzimattinur Siregar. Duhai, terharu nian rasanya!

Jadi teringat masa-masa kritis, hanya ditemani putriku, Butet yang rela bolak-balik ambil darah ke PMI Pusat. Bahkan tengah malam, dinihari, Butet berjuang sendiri mengambilkan darah untuk ibunya yang terkapar tak berdaya di ranjang rumah sakit. Tak bisa kubayangkan, andaikan aku tak memiliki seorang anak yang sangat berbakti ini. Entah bagaimana nasibku, duhai, Cinta, terima kasih, Nak!

Tanpa terasa ada butiran bening menitik di sudut-sudut mataku. Butet memutuskan akan menyusulku nanti malam. Itupun karena kasih sayangnya dan baktinya, dia tidak tega membiarkanku keluyuran seorang diri di Sumatera.

“Biar Butet temani Mama, ya,” janjinya kemarin. “Mana tega, baru kemarin Mama ditransfusi, coba! Gimana kalo ada yang nyulik Mama, hoho, Mama kan seleb geto loh!” Husy!

Seorang perempuan bergamis dan berjilbab anggun menghampiri dan menyalamiku. “Ini Bu Mira, Kepala Sekolah,” kata Joni Ardi
“Silakan, Teteh, kami senang sekali dikunjungi Teteh. Seperti mimpi rasanya,” sambutnya ramah sekali.

Aula itu ternyata sebuah GOR, berukuran luas sekali, lengkap ada podium. Audiensnya terdiri dari mahasiswa dan SMA. Kebanyakan muslimah muda, cantik-cantik dengan gamis dan jilbab ungu. Sama dong kita, aku mengenakan gamis Tazkistan pulas ungu dari butik Ratih Sang.

Nah, di sudut sebelah kanan GOR itu, tampaklah baliho Gubernur Sumbar Iwan Prayitno berdiri megah, lengkap dengan senyum berikut visi dan missinya.

Sebelum tiba pada acara inti yang disebut bedah buku, meskipun kenyataannya hanya sekadar presentasi tentang proses kreatif Catatan Cinta Ibu dan Anak, ada beberapa sambutan dari panitia, ketua yayasan dan dua orang lagi.       

Belakangan baru kusadari bahwa urusan sambutan ini ternyata memang menjadi “trademerck” kawasan Sumbar. Di setiap sesi yang kuhadiri sebagai pemateri, senantiasa ada sambutan-sambutan, dan itu bukan hanya sekadar satu-dua, melainkan bisa beberapa orang. Ya, khas urang awak agaknya.

Hampir satu jam berlalu, akhirnya tibalah giliranku memaparkan tentang tema yang diangkat untuk buku karya kolaborasi antara aku dengan Butet. Bahwa buku ini kami berdua tulis sepanjang aku mengalami situasi dan kondisi sangat buruk, menjelang dan pasca operasi limpa dan kandung empedu, 2009.

Untuk beberapa saat aku jadi terbawa kembali pada situasi “sekarat” beberapa kali masuk rumah sakit, dan beberapa kali pula mengalami keadaan gawat-darurat, kehabisan darah merah, trombosit dan leukosit. Ya, sistem darahku hancur lebur, tidak karuan. Hampir tiap dua hari sekali harus ditransfusi; haemoglobin dan trombosit.

Dan untuk itu semua melibatkan keluargaku, terutama putriku Butet, gadis tangguh yang senantiasa siap mendampingi ibunya di kala para dokter pun sudah menyerah, sempat mengisyaratkan:”Sudahlah, Dek, kita hanya bisa berdoa. Semua ikhtiar sudah dilakukan, ya, hanya berdoa, ya Dek…”

Begitu aku selesai prolog, kulayangkan pandangan ke sekitar GOR itu, eh, ndilalah, banyak yang terisak-isak, diam-diam menyusut mata. Ya, mereka menangis, Sodara!
Waduuuh, ini tidak boleh kubiarkan, protesku dalam hati.
Jadi, kembali kuminta mike dari moderator, dan tiba-tiba aku berteriak lantang: “Bagaimana, adik-adik…. Masih semangaaaat?”

“Ya, semangaaaaat!” balas mereka seketika menggema.
“Luar biasaaa!”
“Allahu Akbaaar!” entah siapa yang menyeru asma Allah dari pojokan sana.

Begitulah, suasana kembali semangat dan ceria melanjutkan sesi tanya jawab. Antusias sekali para peserta yang terdiri dari mahasiswa dan guru itu dalam melemparkan jawaban atau sekadar sharing; kesulitan, kendala untuk menulis.

Beberapa hal kutangkap kegalauan mereka tentang langkanya novelis handal berasal dari Sumbar yang punya nama di tingkat Nasional. Hatta, dalam kurun beberapa tahun belakangan ini, nyaris belum muncul lagi novelis sekaliber Hamka, Sutan Takdir Alisyahbana. Menurut beberapa peserta, sekarang nama-nama besar para novelis itu telah bergeser ke Pulau Jawa.

“Kalau begitu, mari kita lahirkan para novelis hebat dari kampus Adzkia ini. Bagaimana?” tantangku, kemudian kupaparkan bahwa untuk menjadi seorang novelis itu sesungguhnya hanya satu modal dasarnya.
“Satu? Masa iya, Bunda, apa itu?” tanya seorang peserta di barisan belakang.
“Ya, modal dasarnya hanya satu; Muka Tembok!”
“Haaaah?” terdengar dengung tak percaya, mungkin juga keheranan.

“Iya Muka Tembok itu artinya, tidak perlu malu kalau naskah kita ditolak. Poles lagi, revisi lagi, pokoknya pantang menyerah. Karena semuanya butuh proses, apalagi menulis novel, yah, tidak seperti bikin goreng pisang. Begitu digoreng, matang, kemudian bisa langsung dimakan. Menurut Butet, nulis novel itu bisa ibarat kita bikin kerupuk dan rendang….”
“Looooh?”

“Iya, kata Butet, ehm, besok baru nyusul, ya…. Kalau bikin novel gaya kerupuk, sebentar dibuat, begitu jadi langsung makan, sekaleng pun tidak kenyang. Coba kalau bikin rendang, disiapkan dulu berbagai bumbunya, diulek-ulek, digodog berjam-jam, lama pokoknya. Tapi hasilnya, sungguh nikmat dan mengenyangkan. Benar gak, meeeen?” ceracauku, kumat habis gaya bicara gaul ala si Butet.
“Iyaaaa…, meeeen!” sahut hadirin sambil diikuti ketawa yang ramai sekali. Heboooh!

Alhamdulillah, satu sesi menularkan virus menulis usai sudah. Mereka tampaknya sangat terkesan dengan materi yang kusampaikan, meskipun tanpa makalah tertulis, hanya slide-slide cover buku yang telah kuciptakan.

Sungguh, aku cinta menyebarkan ilmu yang kumiliki ini; virus menulis yang tidak akan didapat dari kampus, melainkan dari hasil praktek, diangkat dari pengalaman sendiri. Betapa ingin hal ini bisa kulakukan, keliling Tanah Air, pelosok negeri; demi anak-anak bangsaku yang kucintai penuh seluruh, segenap hati yang kumiliki.

Nah, masih mau virus menulis lagi?
Tunggu kehadiranku dan Butet dalam Catatan Cinta Ibu dan Anak! (Pipiet Senja)
@@@




0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama