Luka Itu Kembali Berdarah-Darah




Luka lama itu sungguh kini berdarah-darah kembali dan meremas kalbu Maria. Menghancurkan benteng nurani yang tengah dibangun, ditata kembali dalam dua tahun terakhir. Telak dan kejaaam!
“Andrea sudah sering melakukannya, ya Teteh?”
“Jangan bicarakan itu, jangaaan!”
Maria bangkit menghindarinya dengan wajah mengapas.
Zakia memburunya. “Tolong, Teteh, di mana Za bisa melakukannya? Nggak apa-apa kalaupun kita mesti pergi ke Bandung…”
Maria melotot dengan tubuh menggigil. Terbayang kembali dirinya mengantar Andrea ke suatu tempat. Rumah dukun aborsi yang entah sudah berapa kali dikunjungi adiknya dan teman-temannya sebelum itu…
“Ini mumpung masih tiga minggu, Teteh, belum ditiupkan ruhnya ya kan?”
Ya Allaaaah, jerit Maria mengawang langit. Berapa lagikah remaja putri yang akan mengucapkan kata-kata nista seperti baru saja terluncur dari mulut Zakia? Mau ke manakah generasi bangsanya melangkah bila mereka harus sering melalui tahapan nista macam ini?
“Teteeeeh…!” Zakia menggedor-gedor kamarnya yang terkunci.
Maria berurai air mata. Ia memaksakan kupingnya untuk menyerap pernyataan-pernyataan di balik pintu.
“Jangan tinggalkan Zaaa!”
“Kalau tidak… Za akan bunuh diriiii!”
“Za tahu segalanya tentang Andreaaa…”
“Za akan ikuti jejak Andreaaa…”
“Tapi buat apa kamu mau lakukan perbuatan setan itu, Za?”
Maria keluar dan mencoba menghadapi anak berumur 16-an itu.
“Za nggak mau jawab kecuali sudah diantar ke tempat itu…”
Maria terperangah. Tempat itu lagi, dukun aborsi lagi… Allahu Akbaar
Ternyata segala kemanjaan dan kekenesan itu hanya kamulfase belaka. Untuk menyembunyikan segala kerapuhan diri, carut-marut masalah yang mesti dihadapi di dalam keluarganya.
Hmm… Za, Zakia Subarkah!
Di mana sang ayah kala putri semata wayang diterjang putus asa begini? Sedang asyik-masyuk dalam nafsu syahwati di kafe remang-remang, milik Markesah di pantai Carita sana?
Ini adalah hari ketiga Maria diteror oleh ulah Zakia. Ke mana pun ia pergi, anak itu selalu mengintil di belakangnya. Tak pernah mau pulang ke rumahnya. Tak mau pergi sekolah. Bersikeras tinggal di pavilyun Maria.
Kelakuan Zakia yang nyeleneh begitu tentu saja menarik perhatian anak-anak lain. Anehnya, mereka seperti sepakat untuk tidak terlalu menggubrisnya. Mereka seperti mendapat hiburan baru dari aksi Zakia.
Kota kecil ini amat jarang mendapat hiburan unik. Pusat hiburan dan rekreasi harus didatangi di Pandeglang, Serang atau Banten. Ini adalah propinsi baru. Bukan lagi bagian dari propinsi Jawa Barat. Derap pembangunan telah menggeliat. Tapi belum merambah ke mana-mana.
Nah, kembali ke si Zakia…
Adakalanya anak-anak itu meneriakinya, “Zakia pengen dikawinkaaan!”
Adil dan Akbar menjadi gerah.
“Mau apa sih anak manja itu?” gemas Akbar.
“Mo dikawinkan katanya, Aaaa…” goda Adil.
Annisa dan Maya ikut gerah. Mereka komplain kepada Maria.
“Kalau ada masalah dengan anak itu, tolong diselesaikan secepatnya, Teteh,” pinta keduanya. Wuuuiih, kompak banget!
Mereka nggak tahu sih, apa mau anak itu. Akhirnya Maria pun merasa tak tahan lagi untuk terus-menerus mengelak, menghindar. Hanya karena takut Zakia minta diantar ke dukun aborsi.
“Baik, kita selesaikan urusanmu!”
Sekarang dihadapinya Zakia. Berduaan di kamarnya siang itu.
“Naaah… gitu dong! Bantu Za, ya Teeeh?” ujar cewek yang tetap merasa sebagai anak metropolitan itu.
“Katakan siapa yang sudah berbuat begini kepadamu, Za?”
“Itu nggak penting lagi, Teteh, nggak penting!” elak Zakia.
“Kenapa nggak penting? Dia sudah berani berbuat…”
“Nggak berarti mesti tanggung jawab kan? Soalnya kan atas dasar suka sama suka… Lagian, Giovani itu…”
“Hmm, Giovani namanya, ya! Baik, nanti akan kutemukan dia!”
“Teteeeh… he, hei, mau ke manaaa?”
Tapi Maria sudah bergegas, menyambar jilbabnya, membenahi gamisnya. Dan ngeloyor meninggalkan Zakia yang tebengong-bengong.
Ugh, Teh Maria nggak tahu siapa si Giovani itu, desis Zakia jengkel.
***

Pantai Carita malam Minggu.
Suasana tempat rekreasi di mana pun selalu mengasyikkan. Semarak dengan lampu warna-warni, suara musik, pasangan-pasangan yang… Ugh!
            Maria memasuki lobi hotel kelas melati itu dengan langkah tegas-tegas. Pandangannya lurus ke depan, ke bagian resepsionis di mana tampak tiga bule sedang dilayani.
Di mana sih Aa Fathur, tanyanya dalam hati. Kok janjian di tempat rawan begini. Nguji iman Dede, ya Aa?
“Waswissswoos, wassswiswoos…”
“Cassciiscuus, cassciiscuus…”
“Hallo  Miss… can you speak English?”
Tiga bule jantan itu sudah bikin repot sang resepsionis.
“Sebentar… Saya cuma gantikan teman, sebentar ya… Ugh, ke mana tuh Kang Ariel…” gugup sang resepsionis dan mulai panik.
Maria merasa iba juga melihat gadis sebaya Zakia itu nyaris nangis. Sekaligus menyesali kebijaksanaan pemilik hotel, menempatkan orang tak paham bahasa Inggris di tempat strategis begini.
Tanpa babibu lagi ia mengulurkan bantuan. Melayani cecaran tanya para bule yang mengaku turis asal Belanda itu. Mereka cuma ingin tahu, ke mana sopir taksi langganan. Biasanya si sopir setia menunggu di depan sana. Sekarang pas mereka butuh kok lenyap?
“Well, he’s come here…”
Maria menunjuk seorang anak muda berkostum taksi Arimba.
“Aduh, punten pisan atuh1… Ada urusan keluarga sebentar… Bagaimana, Menir? Ooh, iya ya mau diantar ke Cilegon ini teh… Sok bae atuh, Menir, nggak masalah lah,” ceracaunya dalam logat Sunda.
Kemudian dihampirinya Maria dengan wajah sarat terima kasih.
“Nuhun pisan atuh, nya Teteh, atos ngabeberah si Menir…”2
Tapi ia tak bisa berlama-lama lagi, gegas-gegas menyusul ketiga bule itu.
Maria membalas lambaiannya dengan anggukan kepala. Tiba-tiba ia merasa ada yang tengah memperhatikannya dari arah sofa sebelah kanan. Iiih, Aa Fathur… Pasti dari tadi sudah memperhatikan kelakuannya yang sok guide.
Fathur tertawa-tawa waktu Maria meninju perutnya. Sementara cewek di belakang meja resepsionis tersipu-sipu. Entah merasa jengah atau jangan-jangan lagi berprasangka-ria, ya? Menganggap mereka adalah pasangan kekasih, begitukah? Astaghfirullah…
“Kita makan malam di sana, yuuuk? Kamu pasti belum makan, ya kan? Perut Aa juga udah keruyukan nih…” Fathur riang sekali.
“Di klub itu?”
Maria tertegun mengawasi klub malam yang ditunjuk oleh kakaknya.
“Iya, memangnya kenapa? Risih, ya?”
“Aa ini kok…?” Maria memelototinya.
Fathur maklum. “Baiklah, Ustazah Maryam… Aa cuma bercanda kok!”
Maria menghela napas lega. Dipandanginya lekat-lekat penampilan Fathur. Gaya sekali dengan jasnya yang perlente. Ini baru penampilan seorang Presdir… Hmm, apa itu nama baru bisnisnya?
“Bukan nama baru. Nama perusahaan yang udah mapan begitu susah juga digantinya… Hanya ganti logo dan mottonya saja,” jelasnya enteng.
Maria sudah melihat iklannya di koran-koran nasional. Bersama kami meraih berkah.
Mereka santai di rumah makan Parahiyangan. Para tamunya sopan-sopan, tampaknya langganan yang terdiri dari para keluarga kecil. Suami-istri dan satu-dua anak. Orang kaya dari Jakarta, sengaja cari nuansa baru di sini, bisik Fathur menjelaskan tanpa diminta.
Fathur sekilas menceritakan reformasi total di perusahaannya. Ia bersama dua orang kepercayaannya, Hikmal dan Abrar memancangkan tonggak itu. Mereka merubah begitu banyak peraturan dan kebijaksanaan perusahaan. Nuansa Islami merambah di mana-mana!
Bahkan ada peraturan untuk mengenakan baju Muslimah bagi karyawati pada hari Jumat. Pada hari-hari tertentu selalu ada kajian Islam, mengundang para dai kondang. Sebuah ruangan besar telah disulap menjadi mushala di lantai 33. Dan sebuah mesjid permanen tengah dibangun di samping pabrik mereka di kawasan industri Pulo Gadung.
“Apa Aa nggak takut sama Tante Elena?” Maria tak bisa membayangkan, bagaimana angkara Elena dengan segala konsep Islami seorang Fathur.
“Hmm, kenapa mesti takut pada sesama ciptaan-Nya?” Fathur diplomatis.
Betapa ingin Maria mengetahui lebih banyak kehidupan Fathur. Bagaimana sesungguhnya statusnya? Betulkah ia telah menikahi Keke? Secara apa? Tentu bukan di KUA. Ya, pasti di catatan sipil. Mengingat mereka berbeda keyakinan. Dan bagaimana kehidupan rumah tangganya sekarang?
Begitu kasih dan bakti Aa Fathur kepada ibunya. Demi melaksanakan amanat sang Bunda, melindungi nama baik Papa, Aa rela melakukan semuanya itu. Meskipun bayi itu bukan anaknya! Lantas bayi malang itu anak siapa, ya? Mendiang Papakah? Aaah, tidaaak! Nggak mungkin Papa Zack Muzaki yang sudah mengalami stroke lama dan pikun itu mem…Duhai!
Kenapa juga kasus penganiayaan Keke hingga menimbulkan fitnah bagi Aa Fathur itu, dipetieskan? Aduuh, Maria penasaran sekali! Tapi kakaknya lain ibu ini rapat menyimpan rahasia pribadinya. Maria harus menghormati keputusannya.
“Hanya rumah makan ini yang pas buat kita,” kesah Fathur.
            Maria tertawa renyah. “Seharusnya Aa buka kafe di kawasan ini…”
“Yang bernuansakan Islami, begitu?”
“Tentu saja, kenapa tidak? Orang Banten kan mirip suku Aceh, Mandailing, Minang, Islamisnya kental!”
“Itu yang aslinya. Gimana dengan para pendatangnya, hayooo?”
“Yaah… kita Islamkan mereka atuuuh!”
“Gayamu makin Islamisasi aja!”
Fathur terkekeh melihat semangat jihad adiknya yang menggebu-gebu.
Maria menceritakan tentang masalah yang tengah dihadapinya. Zakia menyeretnya ke dalam situasi tak mengenakkan. Ia bersama beberapa rekannya di taklim Al-Fikri, nyaris bentrok dengan si Giovani dengan geng Ze Xuplux itu!
Melintas lagi di benaknya, bagaimana ia hanya buang waktu belaka bolak-balik mencari Giovani. Mengunjungi tempat-tempat yang biasa dijadikan kongkow-kongkow anak itu bersama gengnya. Tapi ia tak pernah bisa mendekatinya. Anak-anak Ze Xuplux selalu menghalanginya. Agaknya mereka menganggap Giovani sebagai bos yang wajib dilindungi. Bahkan dari seorang gadis berjilbab!
Sekalinya bertemu, Maria lagi mengaji di Mesid Al-Fikri. Giovani bersama gengnya berteriak-teriak, menyuruh Maria ke luar. Ketika itulah bentrokan anak-anak rohis dengan geng Ze Xuplux nyaris terjadi!
“Mujur, patroli pas lewat ke tempat itu,” Maria mengakhiri pengalamannya kemarin.
“Oooiii, syeraaaam!” komentar Fathur.
Maria mendelik. “Apa nggak ada komentar yang lebih canggih?”
“Tenang aja, biar Aa yang hadapi anak itu!”
“Tenang-tenang gimana… Tahu nggak Aa, si Gio itu ternyata pastur yang lagi menyamar!”
“Dan dia sudah banyak mengorbankan gadis Muslimah. Mula-mula dipacari, dihamili lantas dinikahi… Dikristenkan deh!”
Maria membelalak. “Aa tahu banyak soal beginian, ya?”
Fathur tertawa getir. “Itu sih pola mereka yang sudah kedaluwarsa. Dari generasi ke generasi begitu terus caranya. Tapi sekarang memang tampak lebih ekstrim…”
Untuk beberapa saat tak ada yang berkata-kata lagi. Persoalan ini ternyata lebih rumit dan gawat dari perkiraan Maria. Lagi pula ini sangat sensitif. Menyangkut SARA!
***










0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama