Kenangan Umroh Travel Cordova 2006




12 April 2006
Dikabari oleh Dewi semalam bahwa pesawatnya delay. Jemaah umroh Cordova Abila akan berangkat pukul lima petang, semula direncanakan pukul satu siang. Pukul sepuluh pagi aku masih ngiterin pasar Agung bareng emakku, untuk beli kunci gembok mini dan sandal sepatu, karena sepatuku kurasa tak ada yang pas buat umrohan.
Ternyata kami tak berhasil menemukan sepatu yang pas, meskipun kubeli juga sepasang, tapi waktu kupake terasa kedodoran dan licin-licin begitu… Bisa-bisa aku nyuksruk ketinggalan sepatu. Pendeknya belibeeet!
Akhirnya kuberikan saja buat adikku Rosi di Cimahi. Dialah yang menemani emak kami dalam setahun terakhir di rumahku yang butut, kubeli dari emak yang mau pergi haji tahun 1997.
“Dasar… emang kudu pake si Dukun,” aku setengah mengeluh. “Tapi ya sudahlah… kayaknya gak esensi deh, ya…”
“Iya Mom… ‘kali doi mo nyaksiin nyokap gw umrohan,” komentar Butet sambil ngikik melihat iparnya segera berjibaku, mengelem sepatu sandal Yongky yang emang sudah mangap bagian depannya, dua-duanya pula.
“Yeee… gini-gini juga sudah Mama bawa ke Singapura, Malaysia, malah Mesir segala nih si Dukun,” ujar Seli.
“Iya… tauk, tauuuk! Nih santu (sandal-sepatu) emang bagus aming nasibnya. Udah keliling pelosok negeri… Kalah deh gw, hihi!”
Aku cuma cengiran mendengar komentar Seli dan Butet, dan ngebayangin diriku kucluk-kucluk ke Mekah dengan sepatu sandal butut. Tapi emang cuma itulah yang kupunya. Diam-diam kucuci bersih tuh si Dukun biar gak kelihatan kumuhnya. Lumayan nginclong… dikiiit!
Umroh ini memang sungguh serba mendadak, hanya tiga hari persiapan. Gak ada uang dan aku memutuskan untuk tidak pinjam sana-sini, seadanya saja. Setelah terkumpul dari honor ponpes Husnul Khotimah dan jadi juri lomba cerpen di Man Cendekia, total 900 ribu. Untuk belanja kuserahkan kepada mantuku 200 ribu, buat emak 150 ribu, bensin dan tol 100 ribu. Bekal buat anak-anak di jalan menuju bandara 50 ribu.
“Empat ratus… mm, ditambah sisa belanja 100 ribu, totalnya 500 ribu! Lillahi taala, halaaal!” tekadku dengan semangat jihad untuk umrohan.
Tapi kemudian yang sungguh kubawa umroh totalnya hanya 250 ribu. Sebab aku tetap merasa bersalah, meninggalkan anak-anak dalam situasi tak karuan, kuatir pula mereka sampai kelaparan.
Kemudahan pun kian banyak diperlihatkan, setelah paket umroh dari Cordova Abila. GM GIP mengizinkanku untuk memakai kendaraan kantor. Diantar Pak Minto dari GIP dengan Panther, aku boleh membawa emakku dan si Euceu (yang suka bantu nyuci) dengan suami serta dua bocahnya.
Di bandara sudah ada yang jemput dari Cordova Abila, para kru anak-anak muda yang memakai jaket hitam dan keren-keren. Terpaksa aku tak bisa membawa emakku dan keluarga Euceu masuk ke ruang tunggu hotel. Kami berpisah di lobi bandara, kupeluk erat-erat tubuh sepuh bundaku tercinta. Kulihat matanya menggenang air bening.
“Diduakeun nya sing salamet, sehat… sing sehaaat,1” lirihnya terasa bergetar di kupingku. Beliau janji akan menemani anak-anak selama aku pergi.
Selama menanti boarding pas, jemaah Cordova Abila direhatkan di hotel bandara dengan makanan dan minuman yang wuah, wuaaah deh!
Snada pun mulai bereksyen, cie, cieee… merdunya suara kalian!
Ikhsan, Teddy, Lukman, Alamsyah, Erwin dan Iqbal… cool man!
Kelak di hotel Dar Al Tawhid Intercontinental Hotel, pas di depan Masjidil Haram kami komitmen untuk bersinergi, insya Allah, aku akan menyunting buku Snada 15 Tahun.
Di restoran bandara (entah apa namanya, maaf lupa!) aku sempat cenga-cengo tuh.  Marlen yang semula menemani, pamitan untuk sholat Zuhur. Terus terang, aku suka geer beneran kalo masuk lingkungan elite. Saat itulah seorang wanita muda menghampiri, dengan ramah langsung menyilakanku duduk di sebelahnya.
“Mbak Pipiet sehat-sehat saja kan?” tanyanya sambil memandangi wajahku.
“Eeee… iya, alhamdulillah…” aku pun duduk santai di sebelahnya.
Kami langsung ngobrol ngalor-ngidul, seolah-olah telah lama bersahabat.
“Mbak Dina kan seangkatan Dianti dari Forum Lingkar Pena, ya?”
“Iya Mbak… saya sudah kenal kok dengan nama Mbak, sering saya baca novel Mbak.”
“Waaa… terima kasih atuh...”
Kupikir, kini aku kenal satu lagi saudara yang bersahaja, walau sudah memiliki banyak hal dalam kehidupannya. Dari dialah kuketahui sedikit banyaknya tentang Travel Cordova Abila. Maklum, suaminya Mbak Dina ini kan Ustaz Muslim Abdullah, rekanan kerjanya Pak Faisal Sukmawinata.
“Abinya sudah lama berkecimpung di dunia pelayanan jasa jemaah umroh dan haji,” tutur Mbak Dina. “Tapi saya baru sekarang umrohnya… Saya pikir anak-anak masih kecil… Disemangati terus sama abinya tuh sampai akhirnya saya memutuskan umroh,” lanjutnya, kemudian dia segera sibuk melayani putri dan putranya.
“Yang besar ini namanya Diah, adiknya yang jagoan ini nih biasa dipanggil Aya… Anak-anak sayang, ayo kenalan sama Umi Pipiet Senja. Beliau ini seorang penulis, bukunya pernah Diah baca loh…”
Kedua anak cantik dan ganteng itu berebutan menyalamiku.
“Waaa… lucu-lucu, imut-imutnya!”
Memandangi kedua anak yang masih di bawah umur, hatiku seketika teringat kepada anak-anakku sendiri. Haekal, Butet… Seli, semoga kalian pun bisa berangkat ke Tanah Suci, gumamku.
Acara dibuka oleh Pak Muharom, kemudian ada ceramah dari Prof. DR. Achmad Satori Ismail. Menjelaskan tentang esensi dan makna ibadah haji bagi umat Islam. Satu demi satu jemaah yang pernah kulihat, dan berkenalan pada acara silaturahmi sebelumnya, bermunculan dan bergabung. Lengkaplah, kukira!
Ketika kami dipersilakan naik pesawat Garuda (GIA) yang kudengar kemudian suka diplesetkan sebagai Garuda Insya Allah; artinya sering delay semaunya, jadi insya Allah berangkat, insya Allah… delay kapan saja dan di mana saja, uuppps!
Nah… kucermati, ternyata ada beberapa jemaah yang membawa serta keluarganya. Dalam kelompokku ada sebuah keluarga yang membawa serta rombongan; tiga anak, paman, bibi, ibu-bapak. Ada yang sebaya putriku, Butet, duh, tiba-tiba aku pun teringat anakku, apa nanti kelaparan dia selama kutinggal? Kenapa aku tega nian ninggalin anak-anak justru pada saat-saat kritis begini… Iiiih, diam-diam aku sesenggukan saja nangis, Sodara, pediiiih, aaah!
Perlu waktu bagiku untuk menenteramkan tangisku sendiri, akhirnya ku-sms Butet.
“Maafkan Mama, ya Nak… gak bisa membawamu ikut umroh, maafkan… Mama akan berdoa di Multazam supaya kita punya rezeki untuk umroh bareng, doakan juga Mama, Nak, Cinta…”
Jawabannya: “Yeee… tenang aja lageee! Iye, didoain rame-rame nih, mhuuuaaah!”
Bibirku mulai senyum biarpun seulas, sangat beruntung punya anak yang bijak bestari, meskipun kerap rada-rada gimana gitu…
Aku sudah berkenalan dengan dua teman sekamar; Marlen dan Aisha. Marlen Keswari, gadis Minang (46) masih lajang konon pernah brokenheart, wanita karier yang berhasil; umrohnya sudah belasan kali dan haji sekali. Aisha, nama aslinya Lisa Mulia (52) single parent, seorang mualaf keturunan Tionghoa. Cantik jelita dengan penampilan modis sekali. Sama sudah pergi umroh dan haji sebelumnya.
“Nah… kalo gitu kita trio lajanger, ya!” cetusku disambut tatapan heran keduanya.
“Apaan tuh?” tanya Aisha yang suka memanggilku Teteh, sementara daku memanggil dia Aisha Adinda kita… plesetan dari lagu ciptaan Taufik Ismail yang juga bareng umroh.
Mulailah perjalanan panjang dari Jakarta menuju Jeddah langsung ke Madinah.
@@@






1 “Didoakan biar selamat, biar sehat.”

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama