Lakon Kehamilan Pertama: Jadilah Bintang Kecilku, Cinta!

Bumi Langit Saksiku

Memasuki bulan kedua, aku menyadari ada yang aneh dengan tubuhku. Serasa semuanya serba mengembang, dibarengi dengan perasaan enek setiap pagi, gelisah… Waaa, mungkinkah aku hamil, jeritku membatin.
“Mau periksa ke mana, ya?” gumamku selang kemudian menimbang-nimbang sendiri.
Tiba-tiba aku baru menyadari lagi bahwa Askesku selama ini tanggungan bapakku, hingga aku bisa dirawat di RSPAD. Sejak menikah tentu saja tak berlaku lagi. Suami yang harus menanggungnya… apakah dia mau melakukannya untukku?
Bukankah aku sendiri telah berjanji, tidak akan bergantung kepadanya dalam hal finansial?
“Itu hakmu sebagai seorang istri. Dia kan sekufu, sama-sama muslim. Masa iya sih gak tahu syariat Islam, hukum perkawinan…”
Demikian komentar seorang teman, satu-satunya teman yang masih bisa kubagi curah hatiku. Karena sejak resmi menjadi istrinya, aku nyaris tak diperbolehkannya berhubungan dengan teman-temanku. Temanku itu, perempuan halak hita, maka dari dia pulalah aku banyak belajar tentang adat dan kebiasaan orang Batak.
“Aku harus ke rumah sakit, bisakah diurus Askes-nya, Yang?” tanyaku hati-hati sebelum dia berangkat kerja pagi itu.
Wajahnya seketika berubah mengelam. Ada tersirat keengganan dan beban, seakan-akan dia harus memikul tanggungan yang beratnya ribuan ton. Melihat reaksinya kurasai ada yang berguguran jauh di dalam dadaku.
“Inilah yang paling aku tak suka dari perkawinan. Kamu menjadi bergantung kepadaku!” dengusnya seraya memandangi wajahku dengan sorot mata; beban, penghinaan dan tak berguna.
Demikian tak bermaknanya diriku untuknya!
Aku berusaha sekuat daya menahan kepedihan hati yang mendesak butiran bening di sudut-sudut mataku untuk berloncatan. Jangan menangis, jangan pernah menangis di hadapannya, demikian aku memerintahkan diriku sendiri untuk bersikap perkasa.
“Oh, ya sudah, kalau jadi beban… Biarlah aku urus diriku sendiri,” itulah akhirnya yang terucapkan dari bibirku yang pasti telah semakin memucat karena sudah terlewati jadwal transfusiku, beberapa bulan.
Tiba-tiba ibuku datang dari Cimahi, mendengar penuturanku tentang kemungkinan aku berbadan dua, dia segera merespon.
“Kita urus dulu surat-surat keterangan penyakitmu dari Dustira. Nanti baru pindah ke RSCM…”
“Apa tak bisa diurus Ma saja?” pintaku, tak bisa kubayangkan harus meninggalkan rumah tanpa izin suami.
Memang akhirnya surat-surat rekomendasi penyakitku diperoleh ibuku tiga hari kemudian. Bukan dari rumah sakit Dustira, melainkan dari RSPAD, tempat pertama kali aku didiagnosa. Berbekal pengantar dokter itulah aku pergi ke klinik Hematologi RSCM.
“Betul positif hamil… delapan minggu, mana suaminya? Ini harus dibicarakan dengan suaminya,” berkata dokter M dengan tegas.
Dengan terpaksa suami akhirnya mau juga kuajak menemaniku menghadap dokter M. Bahkan di depan dokter itupun sikapnya tampak acuh tak  acuh, terkesan sombong sekali!
“Saudara sudah tahu kan istri Anda ini pasien… bla, bla, bla…”
Bagiku itulah sebuah percakapan yang sungguh menyebalkan. Sebab bukan solusi yang kudengar, melainkan suatu kondisi yang hanya menjerumuskan diriku ke dalam lembah keputusasaan.
“Jadi, singkat sajalah, Dokter! Apa yang harus dia lakukan?” tanya suamiku seakan-akan dia tak berperan sama sekali dalam urusan kehamilanku.
Oh, dia memang mendudukkan dirinya di luar kehamilanku, kurasa.
“Istri Saudara, mengidap kelainan darah bawaan, sekarang HB-nya cuma 4 % gram. Yang penting harus ditransfusi dulu…”
Dokter M memberi gambaran yang sungguh menakutkan, bahkan untuk diriku sendiri yang telah menerima takdir sebagai penyandang penyakit kelainan darah bawaan.
“Bagaimana kemungkinannya, Dokter?” selaku.
Intinya dokter itu pesimis bahwa aku bisa melahirkan dengan selamat. Kalau bukan aku yang mati, kemungkinan bayinya yang cacat atau mati pula. Limpaku memang sedang membengkak, secara logika, memang tak mungkin ada makhluk lain dalam perutku dalam kondisi lemah begini.
“Ya sudah… kalau begitu tidak perlu dilanjutkan saja!”
Kalimat ini sungguh membuat seluruh enerji yang masih tersisa, dan masih kumiliki, serasa hancur dlaam sekejap. Kami keluar dari ruang periksa sambil terdiam, membeku. Lidahku sungguh kelu, ke mana aku harus mengadu dan minta bantuan?
Beberapa saat lamanya nyaris tak ada yang bicara, bahkan sampai di rumah pun saling mendiamkan. Rasanya aku ingin menjeritkan seluruh kepedihan hatiku ini… aaah, tetapi kepada siapa?
Di tengah kegalauan itulah, malamnya, tiba-tiba suami memintaku untuk mengucapkan sumpah. Intinya, aku harus bersumpah dengan kesaksian kitabullah, bahwa janin dalam kandunganku itu adalah benar darah dagingnya.
“Baik, kita lanjutkan saja…. Yang akan terjadi, biarlah terjadi!” gumamnya setelah ritual itu dilaksanakan.
Sementara kutahan sedemikian rupa segala kepedihan, perasaan terhina, perasaan terkoyak… Ah, jangan pernah menangis di hadapannya, aku meneriaki diriku sendiri.
Ternyata itu bukanlah sumpah yang pertama, sertiap kali ada kejadian yang membuatnya marah, cemburu, curiga, maka dia akan menuntutku untuk bersumpah.
Sementara itu aku berjuang mati-matian untuk mempertahankan perkembangan janin dalam kandunganku. Mulailah, siksa dan derita itu mendera hidupku. Pertengkaran, sesungguhnya ini bukan pertengkaran, lebih mirip dia menjadi seorang Hakim, sedangkan diriku adalah terpidananya.
Aku belum menyadari bahwa dia menderita suatu penyakit seperti laiknya seorang paranoid. Setiap saat, setiap gerak-gerikku bahkan perkataanku, begitu cepatnya akan ditafsirkan menurut persepsinya sendiri.
“Kamu memang perempuan murahan!”
“Apa tak malu kamu kepada bayi dalam perutmu itu? Sementara matamu jelalatan ke semua laki-laki?”
“Aku yakin, anak-anak muda itu sedang mengantri…”
Banyak lagi kalimat-kalimatnya yang sungguh tak berperasaan, menyudutkan, menghina dan melecehkan harga diriku. Di matanya aku hanyalah perempuan murahan, sama sekali tak berguna, bahkan tak patut untuk melanjutkan hidup!
 Apapun yang terjadi, life must go on, maka aku pun tetap melanjutkan keseharianku sebagai seorang penulis. Segala kepedihan, ketakberdayaan dan perasaan nyaris putus asa, biasanya aku lampiaskan ke dalam tulisan; artikel, cerpen, novelet dan novel. Aku mulai menyadari bahwa menulis adalah salah satu terapi jiwa yang sangat jitu.
Aku yakin, apabila aku tidak menuliskan semua dukalara, kepedihan atau kemarahan terpendam itu, niscaya otakku sudah lama koclak alias sinting.
Kukira, di sanalah aku bertahan, memanfaatkan mesin ketikku yang telah tua, menulis hingga larut malam; menghasilkan karya yang dapat mengucurkan uang ke kocekku.
Saat-saat ini, hanya dua hal yang menjadi kekuatan hidupku yakni; bayi dalam kandunganku dan keyakinanku akan ke-Maha Kasih-an Tuhan.
“Nak, saksikan ini Mamamu lagi melakoni takdirnya. Mama juga tahu, kamu sedang berjuang tumbuh dan berkembang di perutku. Jadi, mengapa kita tidak gabungkan kekuatan yang kita miliki ini, Anakku?” gumamku acapkali sambil mengusap-usap permukaan perutku yang kian membukit.
Sementara ayah anakku telah menjaga jaraknya sedemikian rupa, antara diriku, anakku dengan dia… Harus diakui ada bentangan luas yang melaut, menyamudera dan suatu saat dapat menenggelamkan kami bertiga.
Meskipun demikian, ada sisi baiknya yang nampak yakni dia mulai menjalani sholat lima waktu. Bahkan sesekali dia mau juga menjadi imamku, tatkala menunaikan sholat tahajud. Setidaknya aku mulai menaruh respek terhadap perubahan sikapnya ini. Walaupun tak jarang perkataannya sangat melukai, beberapa detik setelah dia menjadi imamku.
“Baiklah, setidaknya ini demi bayi dalam kandunganmu… Entah anak siapapun itu, hanya Tuhan yang Maha Tahu,” dengusnya meninggalkan diriku dalam tangis yang tertahan.
Inilah azab yang tengah kurasai, kusadari betul hal itu, sebab suatu kekhilafan pernah kulakukan di masa silam.
***

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama