Kenanglah Mama Dalam Ingatanmu, Nak!


 


Sepanjang kehamilan anak pertama itu, waktuku lebih banyak dihabiskan untuk menulis, berjuang mempertahankan bayiku, mencari nafkah, diopname dan berlinangan air mata, menangis diam-diam.
Karena dokter mewanti-wanti agar takaran darahku minimal 10 % gram, maka aku harus ditransfusi hampir dua minggu sekali. Tak jarang aku terpaksa menurut kepada tim dokter, ini apabila ada komplikasi misalnya tensi naik dan jantungku dinyatakan tidak aman, harus menjalani rawat inap berhari-hari.
Acapkali suami menuntut haknya, mau tak mau aku mematuhinya, melarikan diri dari rumah sakit untuk beberapa saat menjalani kehidupan suami-istri di rumah. Tepatnya dia yang melarikanku dari rumah sakit malam-malam, kemudian mengembalikanku keesokan paginya.
Sampai suatu saat dokter Bambang memperingatkanku dengan keras.
“Ibu harus mengikuti aturan dan disiplin rumah sakit, tidak bisa seenaknya minggat-minggat begitu saja…”
“Maklumlah, Dokter, kami ini kan masih terbilang pengantin baru,” tukasku membela diri.
Setelah rembukan dengan tim dokter, dicapai kesepakatan bahwa aku bisa memulai perawatan di rumah, dan hanya akan rawat inap kalau menjalani berbagai tes atau ditransfusi. Sesungguhnya aku yang lebih banyak mengambil inisiatif dalam hal ini. Ayah anakku sudah lebih disibukkan oleh daya khayal, acapkali bagaikan tenggelam dalam dunianya sendiri, sebuah lahan subur bagi seseorang yang senantiasa bercuriga terhadap apapun dan siapapun…
Ajaibnya, ketika itu aku tak paham apa nama penyakit macam ini!
Suatu hari, memasuki usia kehamilan 28 minggu. Untuk kesekian kalinya aku diharuskan menjalani rawat inap, ditransfusi dan perawatan intensif. Sejak minggu sebelumnya sudah kuberi tahu tentang hal ini, dan dia menanggapinya dingin, acuh tak acuh. Jadi aku memutuskan untuk melakukannya sendirian.
Dimulai dari mencari dananya, karena tak semuanya bisa ditanggung oleh Askes, janji dengan dokter, antri darah di PMI sampai mengupayakan mendapat tempat untuk diopname. Begitu aku telah berhasil mendapatkan semuanya itu, tahu-tahu dia berang sekali bahkan menudingku telah berselingkuh…
“Ya Tuhan, astaghfirullah…” erangku pedih sekali.
“Tak mungkinlah kamu bisa melakukan semuanya itu sendirian, tak mungkin itu! Mengaku sajalah kamu sudah dibantu seseorang… pasti ayah anak kamu itu, ya kan!” ceracaunya dengan mata memerah dan wajah perseginya sarat dengan aura kebencian tak teperi.
“Demi Allah demi Rasulullah, biarlah aku celaka kalau melakukan perbuatan senista itu,” pekikku tertahan, dadaku serasa bergolak dan mendidih, antara kemarahan terpendam dengan ketakberdayaan.
Entah mana yang sanggup kuraih, dan sudut mana yang masih berkenan menerima ikhlas, dan semangat yang masih tersisa dalam dadaku.
Petang itu, aku tetap melanjutkan jadwal transfusi, meskipun dia telah berusaha keras menahanku. Bahkan mengancamku dengan mengataiku; perempuan murahan, ibu tak bermoral dan sebagainya. Tidak, ini demi kelanjutan hidup bayiku, pekikku mencoba mempertahankan sisa-sisa keberanian yang kumiliki.
Antri beberapa jam di PMI Pusat, akhirnya kuperoleh pula lima kantong darah cuci. Menenteng kantong plastik berisi darah, perut keroncongan dengan uang pas-pasan yang tersisa di dompet, kuayun langkah menuju RSCM.
Begitu menaiki penyeberangan, seketika langkahku terhenti tepat di tengah-tengah jembatan. Lama aku tertegun-tegun, sepasang mataku nanar memandangi mobil-mobil berseliweran di bawah kakiku. Tiba-tiba seluruh perlakuan tak adil… suami, orang tua, saudara, teman-teman, oooh, betapa dunia serasa menjadi kejam!
“Matilah kau, matilah kau!”
“Tak patut kau hidup di dunia ini!”
“Sudah penyakitan, jelek, murahan… matilah kaaaau!”
Inilah saat-saat mengerikan dalam hidupku, bahkan aku tak bisa membedakan mana khayalan dan mana kenyataan. Apakah aku sudah menjadi seorang psikosomatik, seorang skizoprenia?
Tiada jawaban!
“Baik, baiklah, kelihatannya aku harus menyerah,” desisku hampa dan putus asa.
Tubuhku kurasai sudah ringan, bagaikan melayang-layang, tinggal menyelinap ke lubang di bawah kakiku dan… pluuuung!
Duhai… bila itu kulakukan akan usaikah semuanya?
“Tidak! Bunuh diri takkan menyelesaikan masalahmu, malah akan menambah masalah baru untuk keluargamu!”
Maka, wajah-wajah yang pernah menyayangi diriku pun berkelebatan di tampuk mataku. Wajah ibuku yang lugu hingga banyak rentenir yang memanfaatkannya, wajah bapakku yang tegas dan terkadang terkesan angkuh dengan disiplin militernya, wajah adik-adikku yang tak berdaya… kemiskinan yang masih melilit mereka!
“Kamu masih memiliki harapan, ada sepotong nyawa lain di dalam kandunganmu!”
“Bangkitlah, jangan terpancing jebakan setan dari dasar neraka!”
“Betapa tak tahu berterima kasihnya kamu kalau mengakhiri hidup… bukan hanya satu nyawamu melainkan dua, ingatlah itu!”
“Jangan pernah menjadi pembunuh… anakmu sendiri!”
Wajah bayi mungil, meskipun belum tampak rupanya tapi sudah kudengar denyut nadinya berulang kali, kulihat perkembangan bentuknya melalui foto ultrasonografi. Dia anakku, belahan jiwaku, kepada siapa kelak aku bisa berbagi dukalara…
“Ya Tuhan, aku akan menjadi seorang ibu! Tidak berapa lama, tinggal beberapa pekan lagi!” jeritku dalam hati.
Degggh!
Seorang ibu sebaya bundaku, seketika berhenti dan menyentuh tanganku, ia menanyai keadaanku; “Neng, kurang sehat ya Neng? Pucat amat, Neng, apa yang bisa Ibu bantu?”
Ada nada cemas di sana, mengingatkan diriku bahwa masih kumiliki pula soerang ibu nun di Cimahi sana.
Tergagap aku menyahut, “Eee, iya, agak pusing… Mau ke rumah sakit, Ibu, bisa tolong saya?”
Aku ingin menangis, tapi masih mampu kutahan. Hanya di dalam hati, tangisku tentu telah melaut, menyamudera, tumpah-ruah dan membasahi relung-relung kalbuku. Entah bagaimana selanjutnya, kurasa memoriku mendadak tertutup rapat di sana. Yang kutahu adalah ibu itu telah lenyap, sementara diriku telah terbaring di ruang rawat inap, dan darah mulai menetes satu demi satu melalui pergelangan tanganku.
Belakangan kutahu dari para perawat, bagaimana ibu itu mengantarku ke ruang perawat sesaat mendengar ceracuanku yang sukit dipamahi. Betapa mulia, tanpa pamrih membantu sesama, terima kasih Ibu, siapapun dirimu!
Petang beranjak malam, baru satu kantong darah yang memasuki tubuhku saat sosok tinggi besar itu muncul, pulang kuliah tak menemukanku di rumah. Dengan dalih bahwa aku telah meninggalkan rumah tanpa izinnya, dia merasa berhak untuk memarahi, memaki-maki dan berakhir dengan diharuskannya sumpah setia dengan saksi kitabullah…
“Nah, sejak sekarang ke mana pun kamu pergi harus atas izinku!” dengusnya seraya meninggalkanku sendirian.
Saat itu aku memutuskan untuk tetap tinggal di rumah sakit sampai saatnya melahirkan. Aku merasa telah kehilangan segala kepercayaan diriku, takut suatu saat kembali menyerah dan melakukan perbuatan nista; mengakhiri hidupku. Hanya karena tak tahan lagi dengan segala caci-maki, kemarahan dan kebenciannya yang harus kutanggung.
Beberapa jam sebelum melahirkan, kembali peristiwa sumpah setia itu harus kulakoni. Tengah malam, ketika aku mulai merasai keanehan dalam perutku, dia mendatangiku khusus untuk melakukan ritual yang seakan telah menjadi lagu wajib pernikahan kami itu.
“Ini atas nama anak kamu dalam perut itu!” nadanya penuh ancaman. “Bersumpahlah pula demi dia! Kalau kamu melakukan sumpah palsu, dipastikan kamu dan anak kamu itu takkan selamat dunia akhirat! Bahkan kamu pun pasti takkan bisa melahirkan dengan selamat!”
Kucermati isi ancaman sumpahnya kali ini. Benar saja, dia menuliskan dengan jelas bahkan memakai spidol, bahwa kalau aku bersalah niscaya dosanya akan ditanggung oleh diriku dan anakku, demikian istilahnya; anakmu bukan anak kita apalagi anakku!
Kalau ada yang memperhatikan, niscaya akan terheran-heran melihat kelakuan kami. Bayangkan saja, tangannya meletakkan kitab suci di atas kepalaku, sementara aku membacakan poin-poin yang telah ditulisinya di atas karton.
Air mataku mulai mengering, kupikir, tiada setetes pun air bening yang menitik, membasahi pipi-pipiku malam itu.
“Aku pergi dulu, tak ada yang bisa kulakukan di sini,” ujarnya seraya membawa kembali karton berisikan sumpah mati, sumpah pocong, sebab kepalaku dibebat mukena dan dia menyebutnya demikian.
Aku ingin memintanya tidak pergi, agar mendampingiku karena mulai kurasai pertanda akan melahirkan. Perut mengembung, tak bisa buang air besar, dan sesekali keluar cairan bening dari rahimku. Namun, tidak, kupikir tak mungkin menahan dirinya berlama-lama lagi di sampingku. Selain sikap dingin, ketakpedulian dan pancaran kebencian yang menakutkan itu, sesungguhnya aku mulai merasa nyaman apabila kami berjauhan.
Pukul dua dinihari, aku bangkit dari ranjang dan mendirikan sholat lail. Beberapa saat lamanya kubiarkan seluruh diriku lebur di dalam doa panjang dan zikir tanpa henti. Saat inilah aku menangis berkepanjangan, lama sekali, semuanya kuadukan kepada Sang Khalik. Begitu nikmat kurasai pengaduanku dinihari itu, dalam keyakinan bahwa semua pengaduanku akan sampai ke kuping-Nya. Semua doa yang kuminta akan dimakbulkan-Nya.
“Ya Tuhan, kuserahkan segalanya ke tangan-Mu… Berilah yang terbaik bagi kami, ya Tuhanku yang Maha Menggenggam,” bisikku berulang kali, mengakhiri doa sekali itu.
Pukul enam pagi, ketika dokter dinas malam melakukan pemeriksaan, kontraksi pertama kualami dengan keterkejutan luar biasa.
“Dokter, saya merasa sebentar lagi akan melahirkan,” keluhku sambil menahan rasa sakit, kontraksi perdana bagi calon ibu mana pun, niscaya mengagetkan.
Dalam sekejap aku teringat akan segala pengorbanan yang pernah dilakukan ibuku untuk diriku. Kubayangkan bagaimana deritanya saat melahirkanku. Ya, demikianlah pasti rasanya, sakitnya, desisku.
Air mataku berlinangan, bukan karena kesakitan, ini lebih disebabkan perasaan bersalah atas segala kesulitan yang kutimbulkan, dan itu harus ditanggung oleh ibuku tercinta.
Namun, sekejap kemudian aku pun sungguh bisa menikmatinya dan mulai kurasai keindahan, keberkahan untuk menjadi seorang ibu. Ya, bahkan sebelum peristiwa persalinan itupun, aku telah menikmati anugerah-Nya ini!
Aku melahirkan dengan selamat dan hampir tak ada kendala sedikit pun. Kuberi anak laki-laki itu sebuah nama yang telah lama kusiapkan. Sebab sepanjang mengandung aku sangat menyukai buku sejarah Nabi Muhammad karya besar penulis Mesir, Muhammad Haekal.
Suami menambahkan nama ayahnya dan marga di antara nama itu. Maka jadilah; Muhammad Karibun Haekal Siregar, sebuah nama yang akan mewarnai setiap doaku di kemudian hari. Sebagaimana nama adiknya dan nama kedua orang tuaku di sepanjang doa-doaku, sepanjang hayat masih dikandung badan.
***


2 Komentar

  1. Bunda,.. kisah2 bunda selalu mengingatkanku pada sosok sahabiyah khaulah binti tsa'labah ...

    BalasHapus
  2. farel terimakasih deuh semoga menjadi pahala buat kita semua dengan menulis ini ya, amin ya robb....salam ukhuwah nak

    BalasHapus

Posting Komentar

Post a Comment

Lebih baru Lebih lama