Jejak Cinta Sevilla







Garsini tak pernah menceritakan peristiwa itu kepada Ayesha dan rekan-rekannya. Ia khawatir dengan reaksi mereka. Sebab ia mengenal betul bagaimana karakter kebanyakan rekan-rekannya itu; berpegang teguh pada prinsip!
Jika mereka tahu, niscaya akan lebih mempercayainya daripada siapa pun. Mereka tentu akan ikut terluka. Bisa-bisa mereka memutuskan silaturahim dengan keluarga Profesor Del Pierro. Ini sungguh tidak baik, sementara mereka sangat membutuhkan dukungan finansial yang telah dikucurkan suami-istri itu.
Lagi pula, Garsini yakin, Profesor masih mempercayainya!
Dalam setiap sujudnya, Garsini menyerahkan segalanya kepada Sang Khalik. Ia yakin bahwa yang benar itu pasti benar, sementara yang salah tetaplah salah. Suatu saat, meskipun tidak seketika, kebenaran itu niscaya akan terbukti. Dengan keyakinan dan keikhlasan itulah dadanya terasa lapang. Luka pun membaik dalam tempo relatif singkat.
Saat ini yang menjadi pusat pikirannya adalah membantu sesamanya, terutama anak-anak imigran Palestina, mereka korban kekejian Israel. Apabila memandang anak-anak yang telah kehilangan orang tua, keluarga, dan tak punya siapa-siapa, serasa ada yang meleleh dalam dadanya. Mereka tak memiliki apa pun demi masa depan, selain mengharap kedermawanan orang lain.
Nestapanya sungguh tak berarti jika dibandingkan derita mereka!
Ya, Ukhti…. Hal yajuzu li an akuna akhuki?24 cetus Fatah tiba-tiba dengan fasih sekali.
Ia seorang anak laki-laki berumur enam tahun yang telah kehilangan orang tua, keluarga, sanak saudara, bahkan sebelah tangannya. Ketika pertama bertemu, Garsini menangis pilu mengetahui tangannya telah membusuk, dan harus dioperasi secepatnya. Selama dirawat di rumah sakit, Garsini ditugasi untuk mendampinginya. Fatah sangat pendiam dan menutup diri, sehingga mereka kesulitan mengajaknya berkomunikasi. Garsini malah sempat mengira anak ini tak bisa bicara alias bisu.
Tiba-tiba sekarang ia menanyakan keinginan untuk menjadi adiknya!
Garsini menatap wajahnya lekat-lekat. Wajah seorang anak Palestina, tak ubahnya dengan wajah anak-anak di negeri Timur Tengah. Seraut wajah tampan dengan sepasang mata tajam bak elang dan hidung mancung serta rambut keriting. Kalaupun ada yang membedakannya, anak ini telah mengalami peristiwa keji yang tak kan pernah terlupakan sepanjang hidupnya.
Dalam suatu serangan mendadak yang dilakukan oleh tentara Israel di Jalur Gaza, keluarga anak ini tewas secara mengenaskan. Fatah berhasil melarikan diri sebelum serangan itu, bersembunyi di bawah reruntuhan bangunan, sampai bala bantuan tiba dan menemukan tangan kanannya nyaris hancur. Sekelompok pejuang bawah tanah kemudian berhasil mengevakuasinya bersama puluhan anak lain keluar dari kawasan Palestina.
“Kita memang bersaudara, Dik,” berkata Garsini terharu sekali, setidaknya dialah yang pertama kali mendengarnya berbicara. “Karena kita sama-sama cucu Adam dan Hawa. Bukankah begitu, Adikku sayang?”
Syukron, ‘ala sama hatiki!25 seru Fatah seraya meraih tangannya, kemudian menciumnya dengan sepenuh sayang.
Kemudian, tanpa dinyana Fatah melakukan tarian yang sangat dinamis, memutarkan tubuhnya dengan kedua tangan diangkat di atas kepala, sedang kaki-kakinya dihentak-hentak dengan gaya yang indah.
“Wooow!” teriak para sister dan anak-anak, serentak memberi tepuk tangan.
Suasananya mendadak meriah dan sarat dengan keriangan.
“Ini mengingatkanku akan tarian para santri di pesantren-pesantren tradisional di Indonesia,” komentar Garsini merasa ikut bahagia dengan keceriaan Fatah.
Sejak itulah keduanya jadi sering berbincang akrab. Sehingga rekan-rekannya menjadi keheranan, sekaligus salut terhadap Garsini. Pagi hari setelah shalat Shubuh berjamaah, Fatah akan memintanya untuk menemani berjalan-jalan mengelilingi pekarangan. Kadang Garsini mengajak serta anak lain, kemudian mereka akan jalan bareng. Sehingga lambat laun Fatah mau membuka diri dan berbicara dengan anak-anak, meskipun hanya menjawab pertanyaan dengan singkat-singkat saja.
Dorien sampai menyindirnya, “Apa mungkin kau memiliki tongkat penyihir, Garsini?”
“Tidak, Dorien sayang. Hanya cinta yang ikhlas senjata andalanku,” sahut Garsini tertawa renyah.
Suatu siang, Garsini mendapat sambungan langsung dari Marie Jane yang menyampaikan kabar baik: kebenaran telah terkuak.
Ada seorang pelayan yang memergoki Charlotte menyelinap ke kamar Garsini beberapa saat sebelum kejadian yang memalukan itu.
“Datanglah ke sini, Sayang. Hari ini ada pesta panen anggur,” undang Marie Jane.
“Terima kasih, Mom, tapi maafkan, kami sedang sibuk mengevakuasi anak-anak ke rumah yang kalian hibahkan.”
Lima tahun di Prancis, hubungannya dengan suami-istri itu terjalin indah. Hingga Marie Jane meninggal karena kanker otak. Beberapa hari menjelang detik-detik terakhir hidupnya, Garsini yang baru selesai meraih gelar Master IT, dijemput langsung oleh Profesor Del Pierro yang membawa serta Charlotte, putrinya.
“Anakku,” berkata Profesor dengan penuh rasa kebapakan. “Maukah kau menjenguk Marie Jane?”
“Maafkan, Profesor... aku sudah janji akan menemani rombongan anak-anak Palestina untuk berlibur keliling Eropa....”
“Kumohon, berbaik hatilah kepada Mom. Dia sangat merindukanmu,” pinta Charlotte terdengar memelas. Sepasang matanya yang indah tampak mengelam, sembap pertanda kurang tidur dan kelelahan. “Mom sakit parah, Kakak....”
“Oh, di mana dia sekarang?” Garsini terkejut sekali.   
“Di rumah kita.... Marilah, Kakak, kumohon tengoklah Mom,” pintanya pula mengulang, dan terbitlah dua butir air matanya.
Di rumah kita, katanya, ini berarti Charlotte memang sungguh-sungguh telah menyadari kekeliruannya, dan mengakuinya sebagai saudara angkat. Sebagaimana sering diucapkan suami-istri itu di tengah perjamuan keluarga besar mereka.
Garsini menunduk terharu. Ayesha mendekatinya dan menepuk-nepuk bahunya. “Ukhti sayang, pergilah temui ibu angkatmu.”
“Bagaimana ini.... Janjiku?” Garsini gamang. “Kami telah merencanakan hal ini sejak lama.”
“Insya Allah,” tukas Ayesha yang telah menjadi ibu bagi anak-anak bangsanya di negeri orang. “Bila Allah berkenan, kau masih punya kesempatan liburan bareng anak-anak di lain waktu.”
Saat itulah Garsini bisa mengenal keluarga sang Profesor lebih baik lagi. Marie Jane yang telah ringkih digerogoti kanker, tapi memiliki ketegaran luar biasa dalam menanggung rasa sakitnya. Profesor Del Pierro yang supersibuk, tapi tetap punya waktu untuk keluarga, dan sangat mengasihi istri, mendampinginya hingga detik-detik terakhir. Charlotte, si anak manja, telah berubah menjadi sosok dewasa, santun, dan memiliki kepedulian tinggi terhadap sesama dan lingkungannya.
Prosesi pemakaman Marie Jane terkesan sangat megah, dihadiri oleh rekan-rekan sesama perancang busana, baik dari Paris maupun mancanegara. Bahkan tampak beberapa bintang film Hollywood dengan para bodyguard masing-masing, relasi, dan para penggemar fanatiknya.
Sayang sekali, detik-detik terakhir yang seharusnya khidmat itu diwarnai kericuhan. Ini akibat ulah kaum paparazzi yang tak puas hanya dengan melihat dari kejauhan.

***


Pulang dari Rennes-le-Château, Garsini merasakan kesunyian luar biasa yang menelikung hati, jiwa, dan raganya. Kepergian orang yang telah begitu tulus menyayanginya di negeri orang, sungguh bak sembilu merejam dadanya. Sosok Marie Jane dalam beberapa tahun terakhir baginya lebih dari sekadar kenalan biasa. Ada kepedulian yang tinggi, kasih sayang yang tulus di dalam diri wanita cantik itu.
“Aduh, agaknya Mama harus merelakanmu menjadi putri wanita Prancis itu, ya?” sindir ibunya ketika mendengar curahan hatinya.
“Jangan khawatir, Mama,” bantahnya lesu. “Ini cinta yang berbeda, nantilah kuceritakan. Maaf, saat ini aku tak bisa mendeskripsikannya.” Ia segera menutup sambungan telepon pada dini hari yang hening itu.
Beberapa hari ia tinggal seorang diri di rumah hibah untuk imigran Palestina itu. Ayesha dan rekan-rekan telah membawa anak-anak tur keliling Eropa.
Suatu pagi buta Charlotte muncul di ambang pintu kamarnya. Melihat kondisinya yang kacau-balau, wajah pucat dengan rambut kusut-masai, luruh sudah hati Garsini.
“Maafkan aku, Kakak,” pintanya penuh sesal. “Aku tak sempat menyatakannya sewaktu Mom masih hidup. Jadi kumohon, jangan pernah membenciku. Aku takut perkataan Mom ada benarnya,” lanjutnya sambil berurai air mata.
Charlotte mengajaknya berjalan kaki ke arah tenggara. Garsini berusaha menenangkan dan menghiburnya. Ia meyakinkan Charlotte bahwa dirinya sudah melupakan dan memaafkan peristiwa memalukan itu. Mereka berdua kemudian melakukan suatu kegiatan yang terbilang gila, mendaki sebuah bukit tanpa perbekalan apa pun.
“Nah, di sekitar sinilah dulu Pierre diserang orang hingga tewas,” kata Charlotte ketika mereka tiba di puncak bukit. “Tepatnya tiga tahun yang lalu, seminggu sebelum mereka menikah.”
“Tak ada apa pun di sini?” Garsini terheran-heran mencermati suasana bangunan kuno, tepatnya puing-puing yang berserakan.
“Mereka telah menghancur-leburkannya,” dengus Charlotte geram.
Garsini tercenung. Namun, sungguh saat ini ia sama sekali tak ingin membayangkan bagaimana Pierre tewas mengenaskan.
“Raisha sedih sekali, langsung memutuskan kembali ke negerinya.”
“Ya, sangat menyedihkan bila ditinggal kekasih hati,” Garsini mengiakan.
“Kau pernah patah hati, ya?” tebak Charlotte.
Garsini terdiam. Ia melayangkan pandangannya ke sekitarnya. Ia tahu dari peta, beberapa mil di tenggara Rennes-le-Château, tampaklah puncak gunung yang dikenal dengan nama Bézu. Sungguh pemandangannya sangat indah, siapa pun tak kan bisa menyangkalnya.
Dan ini musim semi yang sempurna!
Sejauh mata memandang, hanya warna hijau, ya, hijau di mana-mana. Pepohonan dengan batang-batang yang diselimuti lumut, kanopi, di antara cabang-cabangnya. Tanah yang dipijaknya hampir seluruhnya tertutupi daun berguguran. Dan udaranya, hawanya yang segar, adalah hasil penyaringan yang sempurna. Hmm, ini terlalu sempurna, sehingga bagaikan berada di planet asing!
Ia pernah keliling bumi Parahyangan, demikian pula kawasan Indonesia Timur yang terkenal dengan sebutan mutiara dari selatan. Atau kawasan Sumatra Barat dengan pemandangannya dan ngarai-ngarainya yang luar biasa permai. Namun, keindahan di sini jelas dahsyat!
“Ada apa kira-kira di puncak gunung itu, ya, Dik?” Garsini menunjuk puncak gunung di seberang mereka. “Apakah kau pernah ke sana?”
“Tidak, belum pernah, tapi ayahku dan Pierre acap kali pergi berdua ke sana. Katanya, di sana banyak berserakan puing-puing benteng abad pertengahan.”
“Oya?”                                                            
“Tahukah kau, Kakak,” papar Charlotte kemudian tanpa diminta. “Di sana pernah berdiri salah satu kuil Ksatria Templar yang menyelamatkan diri dari kejaran pasukan Phillipe le Bel dan Paus Clement V. Satu mil ke timur laut, lihatlah, itu di puncak sana ada sisa-sisa Puri Blanchefort, sebuah rumah leluhur Bertrand de Blanchefort, Grand Master Ke-4 Ksatria Templar. Sejak dahulu, daerah itu sudah menjadi rute perjalanan para peziarah yang terbentang dari Eropa Timur hingga Santiago de Compastela di Spanyol.”
Garsini hanya terdiam, merasakan aroma mistis, legenda, mitos, dan kemungkinan sekali berbau darah. Mungkin yang dimaksud Charlotte, tempat di kawasan Prancis selatan ini, seperti menapak tilas jejak Rasulullah di sekitar Makkah dan Madinah bagi orang Islam.
“Para peziarah Eropa Utara dan Timur sejak dulu selalu melalui wilayah ini sebelum mereka berlayar menuju Jaffa, kota pelabuhan di tanah Palestina, setelah melintasi Laut Tengah melewati perairan utara Tunisia, Pulau Sardinia dan Sisilia di selatan Italia, Malta, dan Jerusalem....”
“Begitu, ya?”
“Ini tahun euforia Da Vinci Code, Sister.”
“Aha, novel itu lagi!”
“Iya, kau membacanya?”
Garsini menggeleng membuat Charlotte tersenyum paham.
“Tapi aku sudah menonton filmnya.”
“Begitu?” Charlotte meliriknya tak percaya.
“Percayalah, kami sudah menontonnya di Youtube. Hehe,” Garsini tertawa mengenang kenakalan rekan-rekannya.
Apabila ada waktu luang, mereka akan menonton ramai-ramai di kamar atau aula.  Ada banyak film laris yang bisa ditonton secara gratis melalui internet.
“Sejak itu banyak travel yang menjadwalkan tur ke kawasan Rennes-le-Château....”
Garsini tak tahan lagi untuk menanggapinya. Diraihnya kedua telapak tangan gadis cantik itu, kemudian digenggamnya erat-erat seraya menatap matanya lekat-lekat.
“Dengarlah, Adikku sayang,” ujarnya serius. “Sudah saatnya kau melanjutkan hidupmu sebagai ahli sejarah. Ayahmu dan mendiang ibumu tentu merasa bangga mengetahui hal ini.”
Wajah Charlotte seketika tampak berseri-seri. Garsini merasa tak keliru. Ada pendar-pendar cahaya membersit dari sepasang mata yang bersemu hijau itu. Ia sungguh lega dibuatnya. Setidaknya ia telah berhasil melaksanakan amanah mendiang Marie Jane sebelum menghembuskan napasnya yang terakhir; membuat Charlotte tegar.
Maka, demikianlah mereka berhasil menyingkirkan monster bernama kesunyian yang nyaris membuat putus asa itu.
Suatu kali Garsini hendak berlibur ke Belanda memenuhi undangan maminya Andre. Ia sempat bimbang karena Fatah ingin ikut bersamanya. Namun, ia merasa Tante Alisa akan keberatan jika dirinya membawa orang lain.
Terakhir kali mereka berjumpa, adik ibunya itu mengomel karena ia membawa serta Ayesha mampir ke rumahnya. Meskipun mereka hanya menginap semalam, tapi perasaan tak nyaman menjadi kendala untuk sekadar menguatkan tali silaturahmi mereka.
Saat itulah Charlotte yang sudah mengenal akrab Fatah muncul sebagai penyelamat. Gadis yang telah kembali ke kampus itu merasa senang sekali dimintai bantuan oleh Garsini.
“Bagus, aku suka anak-anak sekarang!” serunya dengan mata berbinar-binar. Semangat pengabdian yang tulus pun terpancar dari bola matanya.
“Sungguh? Tentu ada penyebabnya, bukan?” goda Garsini.
Gadis itu tertawa renyah. “Temanmu dari Malaysia itu yang telah membuatku sadar akan makna kedewasaan dan hakikat seorang perempuan. Yah, tak ada salahnya aku ingin menjadi seorang ibu, bukan?”
“Subhanallah...,” Garsini berdecak dengan perasaan bersyukur.       
Ia mengenal Charlotte sebagai anak manja, egois, dan tak peduli. Namun, sosoknya kini telah berubah menjadi seorang perempuan dewasa, bijak, dan sangat peduli. Adakah cinta telah mengubahnya secara total?
Charlotte membawa Fatah berlibur ke Spanyol, di mana sanak-saudara ayahnya bertebaran.
“Fatah senang punya kakak secantik Miss Charlotte. Sama baik hatinya dengan Sister Garsini,” lapor anak laki-laki itu dengan wajah berseri-seri membuat hati semua sister turut sukacita.
Ia membawa banyak buah tangan untuk anak-anak dan semua penghuni Ar-Rahman, demikian nama rumah tinggal itu dikenal masyarakat sekitarnya.
“Apa kau tidak merasa iri, Garsini?” tanya Ayesha.
Garsini tersenyum tulus. “Aku malah senang kalau banyak orang menyayangi Fatah dan anak-anak Palestina lainnya.”
Memasuki tahun ajaran baru, Garsini dapat melanjutkan program Ph.D. dengan dukungan sepenuhnya dari Charlotte.
Sedangkan Fatah secara resmi diadopsi oleh Charlotte setelah menikah dengan Ibra dari Malaysia. Perjumpaan mereka telah diatur oleh Garsini dibantu Ayesha di Prancis. Sebelumnya Charlotte menyatakan keinginan untuk memeluk Islam, dan memiliki seorang suami dari Asia. Mendapat dukungan sepenuhnya dari ayahnya, cinta kilat mereka berakhir di pelaminan saat mereka berdua melakukan umrah.
“Ini bukan cinta pelarian, Sister,” sanggah Ibra ketika digoda oleh Ayesha. “Cintaku kepada Garsini adalah cinta dan sayang seorang saudara. Sedangkan cintaku kepada Maryam Charlotte adalah cinta sejati, seperti soulmate, kira-kira begitulah.” Penjelasannya tentu saja mengundang tawa ceria, karena Ibra mengungkapkannya secara lugas di hadapan komunitas pengajian sang istri.
Wajah Charlotte merona, mencuri pandang ke arah suami tercinta sambil tersenyum malu-malu.
“Dari lubuk hatiku yang paling dalam,” berkata Garsini dengan tulus, “aku mendoakan kebahagiaan kalian, agar menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warahmah.”
Di negeri inilah ternyata Garsini menemukan banyak saudara. Ia bisa bersosialisasi dengan berbagai bangsa dunia, bahkan lintas agama, lebih kuat dan lebih intens. Di sinilah pula dirinya justru merasa telah menemukan kualitas keimanan dan ketakwaan terhadap Khaliknya.
Ia tak pernah mengira kalau dirinya di kemudian hari merasa sangat berat, dan nyaris terpaksa harus meninggalkan negeri Napoleon ini. Karena ia tak sempat untuk sekadar mengucapkan secara langsung: selamat tinggal, Prancis.


24 “Ya, Kakak…. Boleh aku menjadi adikmu?”
25 “Terima kasih, atas kesediaanmu menjadi kakakku.”

0 Komentar

Posting Komentar

Post a Comment (0)

Lebih baru Lebih lama