Lelaki Itu Meminangku
Pertama kali mengenalnya di sebuah pertemuan sastrawan se-Nusantara akhir tahun 1979. Lelaki itu, bertubuh tinggi tegap dengan dada bidang, ada sedikit cambang di dagu dan sederet gigi yang putih bersih. Sosoknya sangat menonjol karena tingginya di atas rata-rata pria bangsa kita.
Dia seolah mencuat dan menjulang di antara para penulis muda di Teater Besar Taman Ismail Marzuki. Dia berdiri tepat di hadapanku sambil menyodorkan tangannya mengajak bersalaman.
“Anda… Pipiet Senja, ya? Boleh kenalan?” suaranya yang berat terdengar menggeronggong di telingaku. Suara yang khas, belakangan kutahu itulah suara kebanyakan halak hita1.
“Oya… terima kasih,” kuterima ajakan pertemanan sesama seniman, sebagaimana telah kurasai aura pertemanan yang kental dari seluruh peserta event besar di penghujung tahun itu.
Kami tak sempat berbincang saat itu, karena ada banyak acara yang sangat memikat; monolog Putu Wijaya dan Renny Jayusman, pagelaran Teater Koma, parade penyair Nusantara, pentas tari daerah se-Nusantara, penampilan perdana seorang penyanyi yang ingin disebut penyair dari Yogyakarya, Ebiet G Ade dan lain-lain.
Sementara saat itu namaku sudah mulai populer juga di jagat kepenulisan agaknya. Terbukti cukup banyak yang mendatangi, dan menyalamiku, terutama para penulis muda berasal dari pelosok daerah di Tanah Air. Meskipun aku tak pernah membayangkan hal ini sebelumnya, disebabkan visi dan misiku hanyalah sekadar ingin menulis, mengekspresikan perasaan dan pikiranku, menjalin pertemanan.
“Nanti datang pada acara pembantaian karyaku, ya?” ujarku kepada lelaki itu dalam suatu kesempatan tatap muka kembali, usai mengikuti salah satu acara.
“Pembantaian apa?” tanyanya tak paham.
Bila kucemati di antara teman-teman penulis muda, lelaki yang mengaku muridnya Sutan Takdir Alisyahbana, mahasiswa Universitas Nasional, tampak lugas sekali. Bahkan terkesan serba ketinggalan zaman, maksudku dalam hal dunia kepenulisan. Aku malah belum pernah membaca karyanya!
“Istilah teman-teman saja. Ini semacam bengkel kepenulisan. Disponsori Dinas Kebudayaan DKI, tempatnya di Gelanggang Remaja Kuningan. Nah, setiap bulannya ada penulis yang harus tampil sebagai pembicara, dan lainnya mengomentari karyanya,” jelasku seraya menatapnya sekilas, kulihat kepalanya manggut-manggut.
Ada binar kekaguman yang tersirat di matanya diarahkan kepadaku. Weits, jantungku mendadak berdebur kencang!
Pada waktunya dia memang datang bersama teman-temannya dari Unas. Seperti sudah kusebut, posisiku di situ sebagai “terpidana”, maka tak pelak lagi ada banyak kritikan pedas diarahkan terhadap karyaku. Bahkan dia, lelaki yang mengaku bermarga Siregar itu, ikut pula mengkritisi karyaku. Ajaibnya dia mengaku belum pernah membaca karyaku, satu pun tidak!
Perasaanku biasa-biasa saja meghadapi serbuan kritikan begini. Sepertinya aku sudah mulai kebal, karena tahun-tahun sebelumnya pun aku telah menuai komentar tajam atas tulisan-tulisanku yang mburudul di berbagai media. Ada yang bilang karyaku kacanganlah, hanya karya yang lahir dari sudut kamar dan sebagainya.
Rasanya tak ada yang terkesan dan bisa tertinggal di hatiku ketika kami berpisah. Maksudku, aku kembali lebih banyak tinggal di sudut kamarku di Cimahi. Sementara dia tentu saja bergulat dengan dunia kampusnya yang dinamis, dan statusnya sebagai seorang pegawai negeri suatu departemen.
Tiba-tiba ada paket dari lelaki itu, beberapa buletin (yang baru dan lama) fakultasnya, di mana dia memegang jabatan sebagai Redaktur Pelaksana.
“Aku berharap sekali hubungan kita tak terputus begitu saja. Mau kan Anda menjadi teman korespondensiku?”
Demikian, kira-kira selarik inti tujuan kirimannya.
“Baiklah, kuterima uluran pertemanan Anda,” tulisku pada surat balasan.
Sejak itulah korespondensi kami termasuk gencar. Kadang dua kali seminggu suratnya yang diketik rapi (pakai mesin ketik kantor, katanya) mengunjungiku, mengisi hari-hariku sepanjang tahun berikutnya.
Tak ada kata-kata mesra, apalagi ungkapan cinta. Isinya berupa kritik sastra, opini, fenomena dunia kepenulisan saat itu. Pendeknya berbagai hal tentang dunia tulis-menulis!
Sampai suatu hari kulihat ada yang berbeda pada surat (mungkin ke-100), sebelum tanda tangan ada salam cinta di sana . Love!
Aha, mulailah jantungku dagdigdug tak karuan setiap kali membalas suratnya. Aku ingin menulis surat dengan lebih baik, lebih manis, lebih lembut. Ingin kuperlihatkan bagaimana kepribadianku yang sesungguhnya, seorang gadis dewasa yang mengerti tatakrama, adat-istiadat.
Aku harus mulai belajar budaya orang Batak!
“Bah! Ada apa ini tanya-tanya tentang adat halak hita?” selidik Bang Lubis, seniorku di Bandung .
“Apa itu halak hita?”
“Itu sebutan untuk orang Batak. Jangan-jangan kau kecantol orang Batak pula, bah?” selidik wartawan Antara itu, menatapku dengan penasaran.
“Kira-kira begitulah,” sahutku tersipu-sipu.
Saat itu aku telah lama sekali tak muncul di YPK, sebuah tempat para seniman Bandung kongkow-kongkow. Ada banyak perubahan kulihat. Para penulis dan penyair seangkatanku sudah berhilangan. Digantikan oleh generasi lapis berikutnya, lebih segar, lebih semangat, lebih petentengan bergaya seniman, walau belum pernah memiliki sebiji karya pun!
Demikianlah agaknya dunia seniman, pikirku agak resah, memikirkan situasi yang harus kuhadapi. Jelas, aku tak patut lagi bertahan di sini. Harus lebih berkembang supaya karya-karyaku; go national!
Dari Bang Lubislah aku banyak mendapatkan informasi tentang halak hita itu. Beberapa buku mengenai adat Batak pun segera menghiasi rak bukuku. Kurasa dalam sekejap aku telah begitu dekat mengenalinya, lelaki itu.
“Kutunggu kau nanti di sini,” berkata dia ketika mengantarku yang hendak pergi ke Bali bersama rombongan, Remaja Indonesian Club yang dikelola oleh koran Buana Minggu.
Lokasinya di stasiun Senen, di tengah hiruk-pikuk orang yang akan naik KA Biru Malam menuju Surabaya .
“Menunggu… bagaimana?” tanyaku terheran-heran.
“Iyalah, pokoknya kutunggu kau nanti di tempat ini,” ulangnya seperti ingin menegaskan.
“Memangnya ada apa Anda mau menungguku di tempat ini?” kumat lagi penyakit formal-formalanku.
“Ada surprise lah itu!”
Kami tak bisa banyak berkata-kata lagi, sebab kereta akan segera berangkat menuju Gubengan. Jadi, aku tak tahu apa yang ingin disampaikannya. Maka, tanganku melambai ke arahnya, kulihat dia membalas salam perpisahan dariku, dan masih berdiri mematung. Mungkin sampai lenyap gerbong terakhir.
“Andaikan kamu ada di sini bersamaku…”
Ah, kacooow, kacooow!
Aku bukan termasuk perempuan romantis. Walau sangat menyukai lagu-lagu romantis, baik populer maupun klasik tradisional dan Barat. Sepertinya itu pengaruh situasi gawat darurat yang sering harus kuhadapi seorang diri. Pasien ICU, memang boleh ditemani? Niscaya harus sorangan wae!
“Aku kepingin cepat pulang,” keluhku kepada teman sekamar, seorang dosen cantik (mengaku dosen Inggris dari IPB) yang masih lajang dalam usia lebih tigapuluh.
“Sudah ditunggu someone special?” selidiknya ingin tahu.
Aku hanya tersenyum samar. Pulangnya, kutahu dia tidak ikut rombongan, melainkan bersama seorang lelaki tampan bergaya flamboyan yang semula berpasangan dengan wanita lain. Entahlah!
Kereta pun memasuki stasiun Senen menjelang pagi itu. Mataku seketika nyalang, melalui jendela kucari-cari sosok yang pernah menjanjikan suatu kejutan minggu lalu itu.
“Ya, itu dia, benar dia ada di sini,” bisikku jadi heboh sendiri dan mendadak gugup sekali.
Bawaanku tidak banyak, hanya sekeranjang salak Bali , pernak-pernik lainnya dan ransel gendong. Maka, laiknya gadis sehat, aku pun turun dengan gerak-gerik ringkas. Sebagaimana diwarisi oleh ayahku kepada kami, anak-anak gadisnya, lagak seorang prajurit.
“Selamat kembali di Jakarta , ya. Bagaimana banyak senang-senang kau di Bali ?” sapanya begitu kami berhadapan.
Aku tertegun, kurasa ada nada sinis di sana . Seperti curiga, sepasang mata elangnya dilayangkan ke mana-mana, terutama ke arah rombonganku, sosok-sosok remaja yang berloncatan riang-gembira dari atas gerbong di belakang punggungku.
Namaku lumayan populer dalam rombongan wisata itu, sejak beberapa kali aku dimintai membacakan karya-karyaku dalam perjalanan. Beberapa puisiku yang segar dan sarat canda, agaknya mengena di hati para remaja itu.
“Sampai jumpa lagi, ya Pipiet Senja,” seorang ABG melintasiku, tiba-tiba menyentuh bahuku sekilas. Aku menangkapnya hanya sebagai keluguan seorang remaja belaka.
“Hei, sopanlah kau sedikit!” seru dia galak sekali.
Jantungku berdetak cepat. Untunglah, remaja itu, entah siapa namanya aku telah lupa, bergegas-gegas ingin segera bergabung dengan rombongannya, gegas menjauhi kami berdua.
“Ada apa dengan sikap Anda?” tegurku tak enak, kuangkat keranjang bawaan, setelah menggendong ransel milik ayahku.
Dia sigap sekali mengejarku dan menahan gerakanku.
“Biar nanti kubawakan barangmu. Sebentar…”
Karena terhalang sosoknya, terpaksa aku merandek.
“Ada apa sih?” tanyaku tak sabar, dan semakin tak enak karena mulai menjadi perhatian orang.
“Aku ingin menikahi kau!”
“Appaaa…?!”
Otakku seketika serasa bagai membeku. Bibirku niscaya terkatup rapat. Ini orang lagi mabuk apa sih? Namun, perlahan-lahan, beberapa detik kemudian aku berpikir, dan merenungkan semuanya itu.
Lihatlah, ajaib nian nasib diriku ini, ya Sodara? Dilamar seorang lelaki yang belum banyak kukenal, bagaimana keluarganya, bagaimana latar belakang kehidupannya? Selain setumpuk suratnya, apalagi yang kuketahui tentang dirinya? Tidak ada!
Dan di manakah gerangan ini? Sebuah stasiun yang hiruk-pikuk oleh manusia, kuli angkut, bunyi peluit, suara peringatan datang dan berangkatnya kereta… Gustiiii!
Tega sekali dia melakukan ini kepadaku, jeritku melolong dalam hati. Pinangan macam ini, jelas sama sekali tak pernah ada dalam novel-novel romantis (Barbara Cartland) yang kerap kubaca. Ya, tak pernah ada, tak pernah!
“Sinting barangkali manusia satu ini,” aku bersungut-sungut, masih dalam hati kemudian tanpa bicara lagi kuangkat bawaanku.
“Aku yang akan membawanya!” dia mempertahankan ranselku.
“Terserah,” tukasku melepaskan ransel kumal, lantas bergegas keluar dari stasiun yang mendadak kurasai semakin sumpek. Mulai diwarnai aura yang serasa ajaib!
“He, belum kau jawab!” kejarnya ketika aku berhasil mendapatkan bis jurusan Cililitan. Dari situ akan kusambung dengan metromini menuju Cibubur.
Di rumah adikku En saat itu tengah berkumpul keluargaku. Suami adikku hendak membuat selamatan 40 hari, akikahan, dan pencukuran rambut putra mereka. Aku tak ingin merusak suasana mereka dengan masalah pribadiku.
“Baiklah, kalau memang serius datanglah ke Cimahi. Nah, terima kasih, ya… sampai jumpa!” ujarku seraya menyuruhnya agar turun dari bis.
“Taklah itu!” dia bersikeras bertahan duduk di sebelahku.
“Apa maksud Anda… taklah itu?”
“Aku akan mengantar kau, berkenalan dengan keluarga kaulah. Boleh kan ?” suara Batak yang khas menerpa kupingku.
Aku tertegun. Tepatkah waktunya? Kurasa bukan ide yang bagus, tidak, jangan! Apalagi sikap suami En kurasai suka sinis terhadap teman-temanku.
“Seniman, kerjanya hanya mengkhayal, merenda mimpi, tak ada kerjaan… Mimpiii!” demikian komentarnya suatu kali, terasa pedas sekali di kupingku.
Membuatku sempat bersumpah dalam hati, suatu saat akan kubuktikan dengan karya-karyaku, lihat saja!
Seketika dadaku serasa mendidih. Lelaki itu, mantan bos adikku, siapapun namanya itu, harus segera mengetahui bukti nyata. Bahwa ada temanku, sesama penulis, sosok seniman yang bisa serius. Nah, dia inilah buktinya!
Maka, yang keluar dari bibirku adalah kalimat ini; “Baiklah. Ada bagusnya Anda mulai mengenal keluarga besar SM. Arief!”
***
sebutan untuk orang Batak
Posting Komentar